Mantan Wartawan yang Menjadi Guru Besar UII Menyampaikan Pidato Pengukuhan

beritabernas.com – Mantan wartawan yang kini menjadi Guru Besar atau Profesor bidang Ilmu Media dan Jurnalisme, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII, Prof Dr.rer.soc Masduki SAg MSi menyampaikan pidato pengukuhan di Auditorium KH Abdul kahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII, Selasa 25 Juni 2024.

Pada waktu dan tempat yang sama Prof Dr Drs Tamyis Mukharrom MA Profesor Bidang Ilmu Ushul Fikih UII, juga menyampaikan pidato pengukuhan.

Prof Masduki merupakan orang kedua Dosen UII yang menjadi Guru Besar/Profesor yang berlatar belakang profesi wartawan. Sebelumnya, Dosen UII yang berlatar belakang profesi wartawan yang menjadi Guru Besar/Profesor bahkan menjadi Rektor UII dua periode adalah Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc yang kini menjadi Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta.

Dalam pidato pengukuhan berjudul Kebebasan Akademik dan Resiliensi Otoritarianisme di Indonesia, Prof Masduki yang pernah menjadi Reporter Radio Unisi, mengatakan, topik pidato pengukuhan ini dipilih dilatarbelakangi oleh keterlibatannya dalam berbagai keprihatinan terhadap krisis kebebasan akademik di perguruan tinggi sejak awal 2020 antara lain melalui Forum Cik Ditiro.

“Saya melihat perguruan tinggi sebagai bagian masyarakat sipil yang dilemahkan di Indonesia,” kata Prof Masduki pada bagian penutup pidatonya.

Sidang terbuka senat UII mendengarkan pidato pengukuhan Prof Dr.rer.soc Masduki SAg MSi dan Prof Dr Drs Tamyis Mukharrom MA di Auditorium KH Abdulkahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII, Selasa 25 Juni 2024. Foto: Philipus Jehamun/beritabernas.com

Dikatakan, dalam beberapa kesempatan bertemu para pegiat media publik dan perpustakaan, dengan membayangkan kondisi di negara-negara demokrasi maju Eropa, diskursus perguruan tinggi dan budaya akademik di Indonesia kerap kali ia padankan dengan kondisi dua lembaga publik lain di Indonesia yaitu museum dan media penyiaran publik.

Museum di Indonesia memiliki kecenderungan government centric, rumah dogmatisme ideologi otoriter, bukan ruang public-private centric, apalagi commercial entity. Privatisasi museum sudah terjadi, meskipun belum terpadu, masih sporadis.

Menurut Prof Masduki, museum sebagai public-private tertinggal dari gallery seni-biennale atau pengelolaan gedung bersejarah lain. Baik museum maupun media publik dan perguruan tinggi belum terintegrasi ke dalam kebijakan knowledge society. Lembaga tersebut masih ditempatkan sebagai heritage/ cultural preservation.

Sementara itu terdapat isu struktural terkait kepemilikan, pendanaan dan public engagement. Seperti
halnya perguruan tinggi, persoalan kepemimpinan, orientasi layanan koleksi dan keamanan artefak koleksi membuat museum di Indonesia tidak mandiri, masih dogmatic center, bukan public centre. Seperti juga di kampus, perlu diakhiri era politisasi museum, menuju ke era museum sebagai ruang publik: semua orang bisa memberi makna secara bebas.

Karena itu, menurut Masduki, sudah saatnya Indonesia kembali ke haluan yang telahdigariskan konstitusi UUD 1945 bahwa layanan pendidikan di perguruan tinggi bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. UUD 1945 pasal 31 ayat 3 berbunyi pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, menjadikan perguruan tinggi sebagai ruang pencerdasan warga negara yang otonom. Ini amanat konstitusi yang dirumuskan para pendiri bangsa, seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan sebagainya.

Konstitusi juga menegaskan bahwa layanan pendidikan tinggi adalah tugas pemerintah mewakili negara, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar atau tugas yang dibebankan kepada rakyat. Kini jelas, upaya penerjemahan amanat tersebut ke dalam berbagai regulasi yang lebih rendah jauh meninggalkan spirit konstitusi.

Neoliberalisasi pendidikan dan upaya pewarisan politik otoriter menyebabkan pendidikan tinggi kehilangan haluan. Kebutuhan jangka pendek menjaga stabilitas atau tertib sosial mengabaikan kepentingan jangka panjang membangun budaya akademik yang sehat dan berwibawa di kampus.

BACA JUGA:

Oleh karena itu, gerakan kembali ke haluan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, yang dikelola secara otonom mutlak berlaku. Ini tidak harus berarti, misalnya menempati posisi strategis di pemerintahan, tetapi advokasi untuk reformasi kebijakan pendidikan tinggi yang paripurna.

Menurut Prof Masduki, fenomena mutakhir yang terjadi di Indonesia dalam dua dekade terakhir mengarah kepada perilaku intellectual allegiance yakni para akademisi menjadi apparatus produsen angka pengetahuan, penyokong kebijakan pembangunan, terbenam dalam padatnya kerja mengajar,
riset, membuat laporan ini-itu, suntuk di dalam kampus.

Sebuah karikatur yang beredar di media sosial saat peringatan hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2024, menurut Masduki, menggambarkan dengan baik komplikasi tugas dosen yakni sejak mengajar, koreksi ujian mahasiswa, mengisi data Beban Kinerja Dosen (BKD), mengikuti konferensi, menginput data diri di SISTER, menjadi pejabat struktural hingga mengurus jabatan fungsional.

Dalam hal ini, upaya peninjauan ulang beban kerja dosen, mengurangi stress dan gejala psikologis lain termasuk memberi sanksi atas praktik pelanggaran etika akademik (seperti kasus guru besar yang menulis 160 artikel dalam tiga bulan) tidak cukup, sebab ini semua persoalan hilir, bukan hulu.

Jaga kewarasan

Prof Masduki mengingatkan para pimpinan perguruan tinggi dan akademisi agar perlu menjaga ‘kewarasan’ dan dalam jangka pendek perlu meninjau rumusan resmi tentang pedoman penyelenggaraan kebebasan akademik di kampus masing-masing.

Mengutip hasil riset Huda dkk (2020) pada 10 universitas yang mewakili Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua mengindikasikan pemahaman kebebasan akademik para akademisi yang masih berpola saintifik, sehingga represi struktural dari pemerintah tidak dianggap sebagai masalah. Penting menggeser perspektif saintifik ini dari makna kebebasan akademik yang dominan dan nyaris menjadi keyakinan tunggal, juga menggeser perspektif utilitarian-pragmatik ke arah perspektif kepublikan.

Upaya kecil ini akan menjadi bagian dari gerakan semesta menghindari jebakan ‘pengetahuan dan
institusi kampus sebagai-merujuk Christensen (2023) ketika membahas konsep pemikiran Foucault tentang disciplinary power and discourse sebagai alat kontrol dan pendisiplinan akademik oleh pihak eksternal dengan pola yang tidak selalu top-down.

Menurut Prof Masduki, akademisi perlu kembali memahami trilogi Hegelian (tesa, antitesa, sintesa), bahwa tugas akademikus sejatinya melingkupi tiga aspek, pertama, membuat tesa, memproduksi ilmu pengetahuan. Kedua, melakukan antitesa yakni analisis sosial kritis dan ketiga, sintesa yakni keterlibatan diri dalam gerakan sosial.

“Dalam situasi politik nasional yang tidak normal dan ketika demokrasi mengalami regresi (lihat: Thomas
Power & Eva Warburton, 2020), selain mempertebal analisis, akademisi perlu memperbanyak keterlibatan diri dengan masyarakat sipil. Senada dengan ini, sebagai orang beragama, trilogi Hegelian tersebut juga selaras dengan trilogi aktivisme sosial dalam perspektif Islam, yang berpusat pada konsep amar makruf nahi munkar dan dalam praktiknya mewujud pada tiga aksiologis: tindakan fisik, tindakan intelektual, tindakan subjektif oposisional,” kata Prof Masduki.

‘Perlawanan balik’ atau resistensi harus terus diupayakan, baik oleh individu dosen maupun perguruan
tinggi. Self-reflection bahwa universitas akan selalu berada dalam kondisi ‘rentan’ (vulnerable) dari kekuatan politik atau pasar yang cenderung ‘resilience’ (tangguh) harus menjadi modal sosial dan energi positif kerja advokasi perbaikan tata kelola kampus lewat penguatan regulasi internal (self-regulation) yang berlandaskan moral akademik.

Sidang terbuka senat UII mendengarkan pidato pengukuhan Prof Dr.rer.soc Masduki SAg MSi dan Prof Dr Drs Tamyis Mukharrom MA di Auditorium KH Abdulkahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII, Selasa 25 Juni 2024. Foto: Philipus Jehamun/beritabernas.com

Para akademisi perlu terus mengenali ‘kerentanannya’ dan pada saat yang sama mengidentifikasi
‘ketangguhan’ yang dimiliki, untuk kemudian merumuskan kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah
strategis dalam upaya menjaga marwahnya sebagai lembaga ‘pengetahuan’, dan pusat untuk ‘perubahan
sosial’. Dalam hal ini, diperlukan para pemimpin universitas yang berjiwa independen, tampil sebagai
aktivis sosial, bukan birokrat.

Arus balik perilaku anti-intellectualism (Sultana, 2018) dipastikan akan menghambat gerakan kebebasan
akademik. Fenomena semakin ‘brutalnya’ iklan-iklan penawaran menulis artikel ilmiah dengan cepat,
melibatkan artificial intelligence, bootcamp singkatbagaimana tips menjadi guru besar akan menjadi kerikil penghalang. Tawaran ‘jalan pintas’ mencapai pangkat akademis atau memenuhi laporan kinerja administratif ini kerap kali melibatkan akademisi bergelar doktor, menandai marketisasi total sumberdaya pengalaman akademis, melawan akal sehat bahwa menjadi guru besar adalah pencapaian intelektual yang sejatinya dipenuh oleh nilai etis, bukan semata perilaku instrumental.

“Menulis artikel adalah ekspresi etis-epistemologis, bukan semata kegiatan teknis-teknologis. Secara kolektif dan berskala global, gerakan perlawanan represi akademik perlu terus menggelora dalam bingkai kampanye healthy and sustainable academic life. Upaya ini harus bermakna perjuangan universal mengembalikan posisi dan nilai (values) luhur universitas yang sejatinya menjadi suluh kebangsaan
supaya berada di atas (tidak menjadi sub-sistem) dari nilai-nilai pragmatisme politik ekonomi yang dianut para pengelola negara,” kata Pro Masduki. (lip)



There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *