Nyekar Bareng, Ajakan bagi Warga untuk Memahami Posisi sebagai Warga se-Kampung

beritabernas.com – Warga Kampung Miliran, Muja-Muju, Umbulharjo, Kota Yogyakarta menggelar Festival Nyekar Bareng #5 dengan melakukan titir keliling kampung dan reresik sarean (membersihkan makam) Miliran pada Sabtu 31 Desember 2022 mulai pukul 15.30 WIB.

Start dari Pos Ronda RT 13 sampai Sarean Miliran. Acara tersebut terbuka bagi seluruh warga Miliran dan siapa pun yang ingin bergabung dengan membawa bunga tabur dan peralatan sendiri.

Menghormati leluhur adalah kewajiban. Jangan lupakan akarmu!. Setelah absen selama dua tahun karena pandemi, akhir 2022 ini menjadi kali ke-5 agenda reresik makam (Jawa: sarean) diselenggarakan oleh warga Miliran di Kelurahan Muja Muju, Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Penghujung tahun selalu digunakan sebagai ajang silaturahmi antar warga, sekaligus bersama-sama membersihkan makam kampung.

Nyekar atau ziarah bersama ke makam kampung menjadi ajakan bagi seluruh warga Miliran untuk memahami kembali posisi mereka sebagai warga se-kampung, yang selama puluhan tahun terkotak-kotak dalam administrasi RT dan RW. Perjalanan menuju makam akan diawali dengan jalan kaki keliling kampung dengan membunyikan kentongan, menyuarakan undangan untuk seluruh warga untuk bergabung.

Kentongan dengan irama titir dipilih sebagai penanda undangan bagi seluruh warga untuk keluar rumah. Padahal, umumnya, bunyi kentongan lima kali berturut-turut (titir) digunakan untuk tanda telah terjadi peristiwa negatif, seperti pencurian. Namun, irama itu yang disepakati dengan mengubah maknanya menjadi tanda yang bersifat positif, yakni mengembalikan kerukunan dan kebersamaan warga kampung.

“Warga Miliran telah memposisikan fungsi sosial komunikasi dengan media kentongan untuk memperkuat sistem sosial yang semula bercorak patembayan menjadi kembali memuat semangat paguyuban,” kata Dodok.

Komunikasi dalam ritual ini tidak terbatas untuk membangun komunitas, tetapi juga untuk melestarikan nilai dan norma yang sudah ada sejak lama. Reresik dan nyekar bersama di makam kampung tidak hanya diharapkan dapat memperkuat relasi sosial antar warga, tetapi juga menghidupkan kembali komunikasi antara warga dengan anggota keluarga yang telah pergi mendahului, serta dengan leluhur kampung. Para orangtua akan membantu anak-anak dan remaja yang terlibat menjelaskan sejarah dan garis silsilah keluarga. Semua akan belajar saling menghargai kehidupan, baik di kehidupan di dunia maupun kehidupan setelah mati. Penghormatan akan dilakukan dengan berdoa dan bersama-sama membersihkan lingkungan makam.

Ritual akhir tahun ini juga menjadi salah satu oasis kebersamaan warga kampung, yang kian hari makin sulit ditemukan di ruang publik kota Yogyakarta. Kampung mampu menghindarkan warga dari keruwetan, kemacetan, kebisingan, kekotoran, hingga kriminalitas di jalan-jalan kota. Deret masalah yang tidak kunjung mampu diatasi oleh pemerintah daerah di tingkat kota dan provinsi tersebut, justru bisa diantisipasi secara komunal di lingkungan kampung.

Ketika pejabat kota meminta warga tetap di rumah dan mengalah kepada wisatawan yang menyesaki kota, warga Miliran justru mengajak semua tanpa kecuali untuk keluar rumah reresik dan nyekar bersama. Ketika Gubernur DIY menyuruh warga jangan mengeluh saat Yogyakarta makin riuh, warga Miliran justru membuka ruang interaksi agar setiap masalah dapat saling terkomunikasikan dan terselesaikan.

Kota-kota kita dibentuk dari himpunan kampung-kampung yang dihidupi secara kolektif oleh warga. Kegagalan kota dan daerah menyediakan ruang dan kehidupan yang sehat dan adil bagi warga, semoga masih dapat terus dipenuhi melalui inisiatif-inisiatif kemandirian di lingkup kampung. Ketika setiap kampung mampu menguatkan pondasi yang sama, seperti yang berlangsung di Miliran, harapan perubahan yang dimimpikan untuk Yogyakarta semoga dapat segera terwujud nyata. (Dodok Jogja)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *