beritabernas.com –Pelaku seni keprajuritan rakyat perlu terus mengolah dan mengasah ketrampilan seni keprajuritan rakyat sehingga menambah keragaman budaya di Yogyakarta. Namun, yang perlu diingat adalah seni keprajuritan tidak meniru sama persis bregada Kraton maupun Pakualaman. Silahkan melakukan kreasi dan inovasi yang selaras dengan marwah seni keprajuritan.
Hal itu disampaikan KRT Kusumonegoro dari Keraton Yogyakarta dalam Workshop Penguatan Wawasan Kebangsaan dan Tata Nilai Budaya Bagi Pelaku Seni Keprajuritan Rakyat DIY yang digelar Dinas Kebudayaan DIY bersama Sekber Keistimewaan DIY di Bangsal Kepatihan Pakualaman Jalan Masjid Nomor 5 Yogyakarta, pada hari Minggu 11 September 2022.
Selain KRT Kusumonegoro dan KRT Wiryaningrat (Kraton Yogyakarta), juga tampil sebagai narasumber KPH Indrokusumo dan BPH Kusumo Bimantara (Kadipaten Pakualaman), Anies Izdiha (Dinas Kebudayaan DIY), Widihasto Wasana Putra (Sekber Keistimewaan DIY) dan Letkol Inf Helmy (Komandan Batalyon Mekanis 403/Wirasada Pratista) serta Nur Sukiyo (Bregada Rakyat DIY) dengan moderator Agus Sunandar.
Dalam workshop yang diikuti 100 peserta perwakilan kelompok seni keprajuritan rakyat DIY seperti bregada Wirososro, Rekso Winongo, Suryatmaja, Puroloyo, Purbodiningrat, Sindurejan, Rangsang Manggala, Prawiroyuda, Nitimanggala, Argo Satriya, Kyai Soro, Pasembaja, Saekokapti, Wirabraja dan lainnya itu, KRT Kusumonegoro memaparkan pentingnya pelaku seni keprajuritan rakyat untuk terus mengolah dan mengasah ketrampilan seni keprajuritan rakyat sehingga menambah keragaman budaya di Yogyakarta.
Hanya saja ia mengingatkan agar seni keprajuritan tidak meniru sama persis bregada Kraton maupun Pakualaman. Dipersilahkan untuk melakukan kreasi dan inovasi yang selaras dengan marwah seni keprajuritan.
Dikatakan, baik Kraton maupun Kadipaten juga punya sejarah panjang yang meninggalkan warisan sejarah dan nilai budaya yang kiranya dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi masyarakat masa kini termasuk oleh para pelaku seni keprajuritan rakyat.
Sementara BPH Kusumo Bimantara mendorong para pelaku seni keprajuritan untuk berani mengolah potensi lokal untuk ditampilkan dalam penampilan seni keprajuritannya masing-masing. Seperti beberapa waktu lalu saat dirinya menjadi juri Festival Bregada ada penampilan kelompok peserta yang menggunakan topeng klono sebagai produk kerajinan khas daerahnya.
Hal semacam ini bisa dijadikan inspirasi oleh kelompok-kelompok seni keprajurutan lainnya sehingga ini menjadi ciri khas yang membedakan dengan keberadaan prajurit Kraton maupun Pakualaman.
Anies Izdiha menerangkan bahwa DIY memiliki Perda Nomor 4 tahun 2011 tentang Tata Nilai Budaya. Di dalamnya merangkum lima aspek dasar yakni musyawarah, gotong royong, tenggang rasam, toleransi dan solidaritas sosial.
Lima aspek ini kemudian diturunkan dalam 14 tata nilai budaya yakni nilai religio-spriritual, nilai moral, nilai kemasyarakatan, nilai adat dan tradisi, nilai pendidikan dan pengetahuan, nilai teknologi, nilai penataan ruang dan arsitektur, nilai mata pencaharian, nilai kesenian, nilai bahasa, nilai benda cagar budaya dan kawasan cagar budaya, nilai kepemimpinan dan pemerintahan, nilai kejuangan dan kebangsaan dan nilai semangat keyogyakartaan.
Anies menggarisbawahi bahwa tata nilai budaya DIY ini menjadi tugas bersama untuk diimplementasikan di tengah-tengah masyarakat. Salah satu contoh selama ini ada anggapan masyarakat Yogyakarta itu dikenal ramah. Predikat ini bisa jadi hal yang menjebak jika tidak pernah ada upaya mengimplementasikandalam kehidupan sehari-hari. “Ramah itu yang seperti apa? Apakah memang betul kita ini ramah? Ini salah satu hal yang mungkin perlu terus dielaborasi” katanya.
Widihasto Wasana Putra mengajak para pelaku seni keprajuritan rakyat DIY untuk juga mempelajari sejarah Kraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakulaman khususnya dalam masa revolusi kemerdekaan RI. Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII memberikan sumbangsih sangat besar di fase menentukan nasib NKRI kala itu. Sultan pernah menyumbang 6 juta gulden untuk biaya operasional pemerintah. Yogyakarta juga menyediakan diri menjadi Ibu Kota RI dari Januari 1946 hingga Desember 1949. Di Kadipaten Pakualaman ada bangunan bernama Parangkarsa yang pernah jadi tempat tinggal sementara Bung Karno dan Bung Hatta saat awal-awal ibukota pindah ke Yogya. Sultan HB IX menjadi inisiator peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Pengetahuan sejarah penting diketahui agar membentuk wawasan kebangsaan kita semua.
Widihasto mendorong para pelaku seni keprajuritan dapat meningkatkan kapasitasnya dari kelompok seni keprajuritan menjadi agen kebudayaan, agen persatuan dan agen perdamaian yang berbasis pada nilai-nilai budayaditengah kondisi sosial yang cenderung terpolarisasi oleh berbagai kepentingan.
Sementara Nur Sukiyo mengungkapkan keberadaan seni keprajuritan rakyat DIY dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir terus berkembang. Keberadaannya berbasis pedukuhan atau kalurahan. Kiprahnya semakin meluas bahkan terakhir diminta ikut mengiringi upacara penurunan bendera di Istana Gedung Agung pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 2022 lalu.
Sedangkan Letkol Inf Helmy menegaskan pentingnya terus merajut relasi harmonis antar komponen warga masyarakat dengan TNI Polri untuk menjaga keutuhan NKRI berlandaskan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Keberadaan komunitas pelestari seni keprajuritan menjadi salah satu komponen yang baik untuk memupuk kebersamaan.
Para narasumber sepakat bahwa keberadaan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakuakualaman merupakan cikal bakal kemunculan DIY bagian dari NKRI. Keduanya merupakan sumber sejarah dan sumber nilai yang menjadi rujukan keberlangsungan Yogyakarta masa kini dan pada era mendatang.
Sebagai sumber sejarah Kasultanan dan Kadipaten adalah entitas monarki pertama yang mendukung eksistensi republik. Dukungan Kasultanan dan Pakualaman terhadap NKRI merupakan visi dan komitmen kebangsaan yang ke depan harus terus dipelihara.
Sebagai sumber nilai Kasultanan dan Kadipaten kaya berbagai warisan budaya tak benda (intangible) berupa filosofi, arsitektural, karya-karya satra termasuk di dalamnya tata nilai budaya yang dapat dipakai sebagai acuan dalam menjawab tantangan zaman. (lip)
There is no ads to display, Please add some