Pelecehan yang Terselubung dalam Sebuah Hubungan

Oleh: Faizah Nabilah, Mahasiswa Universitas Cendekia Mitra Indonesia

beritabernas.com – Kadang pelecehan itu tidak selalu datang dari orang asing atau dalam situasi yang tak diinginkan. Ada kalanya justru muncul dari orang yang kita sayangi, dari hubungan yang katanya saling suka. Banyak orang nggak sadar bahwa tekanan halus, permintaan yang dibungkus kemesraan ataupun kata “iya” yang diucapkan karena takut kehilangan, semuanya bisa termasuk pelecehan.

Bukan karena korbannya lemah, tapi karena cinta sering membutakan batas yang sebenarnya tak pantas dilampaui. Sering kali, seseorang bahkan merasa bersalah padahal bukan dia yang salah, hanya karena sudah terlalu larut dalam dinamika hubungan yang tidak sehat. Ketika rasa sayang berubah menjadi kewajiban untuk selalu menurut, hubungan itu sudah mengikis harga diri secara perlahan. Dan yang paling berbahaya, korban mulai percaya bahwa ketidaknyamanan itu wajar hanya karena pelakunya adalah orang yang dicintai.

Cinta membutakan batas

Ketika sedang jatuh cinta, manusia selogis apapun akalnya, tak lagi berfungsi dengan maksimal.batas-batas yang dulu sangat jelas tiba-tiba menjadi buram. Apa yang dulu kita anggap salah seketika dibuat seolah-olah benar, bahkan mencari pembenaran pada hal yang jelas-jelas salah dan merusak hanya karena kata cinta, hanya karena dilakukan oleh orang yang disayangi

.Banyak yang akhirnya menoleransi perlakuan yang tidak nyaman hanya karena mempertahankan hubungan yang jelas-jelas sudah tidak masuk logika hanya karena takut hubungan tersebut rusak? Padahal cinta yang sehat seharusnya saling menjaga, bukan menekan. Kalau rasa sayang membuat    seseorang lupa menjaga diri, menahan diri atau menyuarakan keberatanya, maka cinta itu bukan lagi cahaya melainkan asap yang membutakan batas dan lama-lama menumbuhkan rasa sakit yang tak terlihat bahkan dianggap tak pernah ada.

Dalam sebuah penelitian dari University College Landon, Inggris menemukan penyebab mengapa seseorang jatuh cinta cenderung terlihat bodoh dan melakukan hal-hal di luar batas. Peneliti melakukan pemindaian otak pada orang yang sedang jatuh cinta menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI).

Ketika diteliti, bagian yang bernama korteks frontal tidak aktif atau diistirahatkan oleh otak saat orang tersebut diberi foto orang yang mereka cintai. Konteks frontal di otak ini berfungsi membuat keputusan atau nilai suatu hal. Jika bagian otak tersebut tidak aktif, seseorang akan sulit menilai hal tertentu, termaksud aksi-aksi diluar batas yang ia lakukan saat jatuh cinta.

Semir Zeki, peneliti sekaligus dosen neuro-estetika di University College, London, Inggris, menyatakan kondisi tidak aktifnya bagian otak tersebut bertujuan untuk biologis, kemungkinan untuk mereproduksi. Alhasil, sulit bagi beberapa orang untuk melihat sifat minus atau kekurangan dari orang yang ia cintai.

Lalu ada pula penjelasan lain menurut Psikologi. Menurut Ikhsan Bella Persada MPsi, ada banyak penyebab orang bisa bertindak bodoh, termaksud melakukan apapun yang diminta pasangan. Menurut Ikhsan, salah satu penyebabnya karena orang tersebut selama ini tidak mendapatkan perhatian atau kasih sayang dari orangtuanya, sehingga kebutuhan afeksi itu besar banget. Saat ia menemukan pasangan yang juga sayang sama dia, dia akan melakukan apapun agar pasanganya itu terus memberikan kasih sayang.

Baca juga:

Psikolog Ikhsan juga menjelaskan, ada beberapa orang yang tak tahu batasan, “bisa juga karena individu itu tidak mengetahui batasan bagaimana ia harus bertindak ke pasangan,ya,akan memberikan apapun yang dibutuhkan selama pasangan itu merasa senang.”

“Ditambah kalo dari segi neuro, kalau kita jatuh cinta itu ada hormon endorfin. Nah ,ini bisa menurunkan stres, makanya kalau sama pasangan dia mau nempel terus dan mau ngapain aja bareng pasangan nggak masalah,” tambah Ikhsan melengkapi.

Selain itu, beberapa orang juga sulit menilai batasan dalam hubungan karena memiliki pengalaman traumatis di masa lalu. Trauma yang tidak pernah diproses dapat membuat seseorang bingung menilai mana perilaku yang wajar dan mana yang sebenarnya melukai. Banyak korban pelecehan masa kecil, kekerasan dalam relasi sebelumnya, atau pengalaman tidak menyenangkan yang dahulu dianggap “sepele”, akhirnya tumbuh dengan pola bahwa ketidaknyamanan adalah hal yang normal.

Akibatnya, ketika berada dalam hubungan baru, mereka cenderung ragu menyuarakan ketidaknyamanan karena takut diabaikan, dianggap berlebihan, atau hanya karena dulu tidak pernah diajarkan cara merespons pelanggaran dengan sehat. Kondisi ini membuat seseorang lebih mudah menoleransi tindakan yang sebenarnya melampaui batas hanya demi mempertahankan hubungan atau menghindari konflik.

Memangnya itu pelecehan?

Banyak orang ragu menyebut hal tersebut sebagai pelecehan hanya karena terjadinya dalam hubungan yang dianggap saling suka. Padahal, menurut UU TPKS Nomor 12 tahun 2022, pelecehan seksual mencakup tindakan fisik maupun non fisik yang merendahkan martabat seseorang, bahkan ketika dilakuukan oleh orang terdekat sekaligus. UU ini juga menegaskan bahwa persetujuan yang diberikan karena tekanan emosional atau takut kehilangan tidak dianggap persetujuan yang sehat.

Begitu pula Komnas Perempuan menjelaskan bahwa pelecehan seksual non fisik bisa berupa peryataan,gerak tubuh atau permintaan bernuansa seksual yang membuat tidak nyaman atau mempermalukan. Dalam hal ini, bisa di artikan bahwa ketika seseorang merasa tertekan untuk berkata “iya” bukan karena benar benar mau,melainkan karena alasan tertentu misalnya takut kehilangan, takut hubungan rusak atau pun sudah terlanjur dilakukan, hal tersebut sudah termaksud pelecehan yang samar.

Dalam sebuah hubungan, tekanan halus sering dibungkus dengan kata sayang ataupun kemesraan, sehingga korban tidak sadar bahwa dirinya telah melampaui batas yang mulanya telah di tandai. Padahal jika tindakan itu membuat seorang tidak nyaman, merasa bersalah, takut menolak, merasa malu atau tidak enak untuk menyuarakan keberatan itu maka hal tersebut bukan lagi cinta yang nyata namun cinta yang dibalut nafsu, dalam bentuk pelecehan yang tertutup oleh kedekatan.

Dan rasa terluka itu bukan cuma teori. Banyak orang merasa jijik pada dirinya sendiri setelah menuruti permintaan pasangannya hanya karena takut hubungan berakhir. Ia tidak dipaksa secara kasar, tidak ada ancaman, tapi ada tekanan halus yang membuatnya berkata “iya” ketika hatinya ingin menolak.

Setelah semuanya terjadi, ia menyalahkan dirinya habis-habisan, merasa kotor, merasa bodoh, seolah-olah ia sendiri penyebab dari rasa bersalah itu. Padahal, perasaan jijik dan penyesalan yang muncul setelah melampaui batas adalah tanda bahwa ada sesuatu yang tidak sehat dalam dinamika hubungan tersebut dan itu bukan salah korban.

Kadang yang paling menyakitkan dari sebuah pelecehan bukan hanya kejadiannya, tapi kebingungan setelahnya. Banyak orang tidak langsung marah, tidak langsung sadar, justru mulai bertanya, “Apa ini salahku?”, “Apa aku yang kelewatan?”, atau “Apa aku lebay?”

Perasaan ini muncul bukan karena korban lemah, tapi karena situasinya memang membingungkan apalagi jika dilakukan oleh orang yang disayangi. Ada yang merasa jijik terhadap dirinya sendiri, tapi tidak tahu harus menyalahkan siapa. Ada yang memilih diam karena takut dianggap drama. Ada yang sampai hari ini tetap memaksa dirinya percaya bahwa yang terjadi itu “hal kecil”, padahal jauh di dalam hati ia tahu ada yang dilanggar.

Dan ada juga yang sebenarnya punya luka lama trauma yang dulu tak pernah ia mengerti, tak pernah ia ceritakan sehingga saat kejadian serupa terjadi, ia makin bingung bagaimana menyikapinya.

Keraguan ini membuat banyak korban dilema ingin marah, tapi takut; ingin cerita, tapi malu; ingin menolak, tapi tak punya kata. Padahal, kebingungan itu sendiri adalah tanda bahwa ada batas yang sudah dilewati, meskipun sulit diakui. Tidak apa-apa merasa bingung. Tidak apa-apa merasa bertabrakan antara logika, rasa bersalah, dan rasa sayang. Yang penting, rasa itu tidak perlu kamu pikul sendirian karena setiap kebingungan korban selalu punya alasan, dan setiap alasan layak didengar.

Bukan kamu, tapi temanmu

Mungkin bukan kamu yang merasakan hal ini. Mungkin kamu hanya pernah mendengar keluh-kesah temanmu yang menurutmu terdengar lebay. Tapi setelah membaca ini, tolong, jangan mudah menghakimi temanmu. Jangan buru-buru bilang, “Salahmu sendiri kenapa mau?” atau “Kenapa nggak nolak dari awal?”.

Kamu mungkin nggak sadar, tapi kalimat seperti itu yang membuatmu sepele bisa menghancurkan seseorang yang sedang dilema sama perasaannya. Kata-kata itu justru membuat korban makin menyalahkan diri sendiri, menambah luka yang selama ini dia sembunyikan. Banyak orang sok bijak merasa paling tahu batasan, padahal mereka tidak berada di posisi yang sama. Tidak merasakan tekanan emosional. Tidak mengalami ketakutan kehilangan. Tidak hidup di dalam hubungan yang membuat batas-batas jadi blur.

Setiap orang punya latar belakang dan sisi gelap yang orang lain belum tentu tahu. Ada luka yang dibawa dari masa lalu, ada ketakutan yang ia tutupi, ada cerita yang nggak pernah berani dia ucapkan.

Maka yang temanmu butuhkan bukan penghakiman, tapi ruang aman. Bukan nasihat yang merendahkan, tapi telinga yang mau mendengar tanpa menggurui. Sebab tidak ada satu pun korban yang pantas disalahkan atas apa yang terjadi padanya.

Menghadapi pengalaman semacam ini tidak pernah mudah. Apalagi bagi seseorang yang pernah punya trauma masa kecil atau pengalaman pelecehan sebelumnya. Luka seperti itu sering membuat orang sulit membedakan mana “ketidaknyamanan kecil” dan mana tanda bahaya. Banyak yang jadi terbiasa meremehkan perasaan sendiri, karena sejak kecil dia diajarkan untuk diam, menahan, atau bahkan menyalahkan dirinya sendiri.

Dalam psikologi, respons seperti ini disebut trauma response di mana tubuh dan pikiran otomatis memilih aman versi dirinya, entah itu dengan memendam, menuruti, atau menghindari konflik. Bagi sebagian orang, berkata “tidak” bukan hanya sulit tapi menakutkan. Karena di masa lalu, keberanian untuk menolak justru pernah membuatnya terluka.

Menurut beberapa ahli psikologi, termasuk penjelasan dari dokter dan psikolog di Allodokter, orang yang punya trauma pelecehan masa kecil cenderung:

  • merasa bersalah atas hal yang bukan salahnya,
  • menoleransi perlakuan tidak pantas,
  • bingung menyikapi situasi yang mirip masa lalu,
  • dan sering menganggap pelecehan sebagai “hal kecil” karena sudah terlalu sering dinormalisasi. Makanya, proses menghadapi dan memulihkan diri tidak bisa instan.

Ada beberapa langkah kecil yang bisa mulai dilakukan: validasi perasaanmu sendiri. Berhenti meremehkan perasaanmu. Kalau kamu tidak nyaman, maka itu tidak nyaman. Titik. Akui bahwa apa yang terjadi bukan salahmu.

Menyadari ini adalah langkah besar buat seseorang yang pernah trauma. Tapi tanpa ini, penyembuhan tidak akan bergerak. Cerita pada orang yang aman. Entah itu teman yang tidak menghakimi, konselor kampus, atau profesional. Suara dari diri sendiri kadang perlu pantulan dari orang lain agar lebih jelas. Pelan-pelan belajar menetapkan batas.

Nggak harus langsung keras. Mulai dari kalimat sederhana: “Aku nggak nyaman.” “Bisa nanti dulu?” “Aku perlu waktu mikir.” Ini bentuk keberanian, bukan ego. Kalau perlu, cari bantuan profesional.

Trauma bukan sesuatu yang harus ditanggung sendirian. Psikolog bisa membantu mengenali pola, respon emosional, dan memulihkan luka yang sudah lama diam.

Karena pada akhirnya, menghadapi ini bukan soal seberapa kuat kamu bertahan, tapi seberapa besar kamu menghargai dirimu sendiri.Cinta atau apapun itu tidak layak membuatmu mengkhianati dirimu. Dan kalau kamu membaca ini sambil mengingat pengalamanmu yang dulu. Kamu layak pulih. Kamu layak merasa aman. Dan kamu layak dicintai tanpa tekanan. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *