PMKRI Yogyakarta Minta Presiden Joko Widodo Cabut PP 25/2024 Tentang Usaha Tambang

beritabernas.com – PMKRI St Thomas Aquinas Yogyakarta kritik keras keputusan pemerintah yang membagi-bagi izin tambang untuk ormas keagamaan, termasuk PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia).

Sebab, keputusan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 tentang Perubahan atas PP 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara itu menyalahi aturan dan berbahaya bagi PMKRI.

Dalam PP itu, salah satu ormas yang mendapatkan jatah Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dari pemerintah adalah Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).

“PMKRI Yogyakarta St Thomas Aquinas meminta kebijakan tersebut dicabut karena menyalahi aturan dan berbahaya,” tegas Ketua Presidium PMKRI Cabang Yogyakarta Egidius Ronikung dalam siaran pers yang diterima beritabernas.com, Rabu 5 Juni 2024.

Menurut Roni-sapaan Egidius Ronikung- organisasi PMKRI hadir dengan tujuan dan visi misi yang mulia untuk mengawal dan menyuarakan segala aspirasi masyarakat yang tertindas dengan didasari nilai kekatolikan. Bahkan yang sering dikritisi PMRI hari ini adalah persoalan tambang yang masih menyisakan cerita pilu tentang keadilan yang tak kunjung tiba bagi masyarakat kecil di sekitar wilayah tambang.

Roni mengatakan, pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan adalah langkah yang tidak masuk akal. Pembagian wilayah izin usaha pertambangan khusus yang malah menyisihkan kesejahteraan masyarakat lokal adalah bukti nyata dari ketidakadilan ini. Di balik janji manis pemerintah, terhampar realitas pahit bagi rakyat yang semakin terpinggirkan.

BACA JUGA:

Menurut Roni, betapa memilukan kondisi masyarakat tambang saat ini. Apakah tidak lebih bijaksana jika pemerintah memberikan keadilan kepada pengusaha lokal dan masyarakat di wilayah pertambangan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat? Hingga saat ini, masyarakat di wilayah pertambangan hidup di bawah standar rata- rata.

Dikatakan, kebijakan ini seolah menutup mata terhadap jeritan hati mereka yang telah lama tercekik oleh dominasi perusahaan besar dan pihak asing. Masyarakat tambang menjerit di bawah pengelolaan tambang yang didominasi oleh perusahaan tertentu, sementara area pertambangan banyak dikuasai oleh pihak asing.

Kebijakan pemberian IUP kepada ormas diatur dalam Peraturan Pemerintah 25/2024 tentang Perubahan PP 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 83A dalam beleid tersebut mengatur ihwal wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) eks perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) dapat diberikan kepada badan usaha yang dimiliki ormas keagamaan.

Sementara itu, pasal 195B ayat 2 dalam peraturan yang sama menyebutkan, pemerintah dapat memberikan perpanjangan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) operasi produksi sebagai kelanjutan operasi kontrak atau perjanjian selama cadangan batu bara tersedia. Kegiatan tambang ini akan dievaluasi setiap 10 tahun.

Ketua Presidum PMKRI Cabang Yogyakrta Egidius Ronikung meminta Presiden Joko Widodo mencabut PP 25/2024. Alasannya, sejumlah pasal dalam peraturan ini bertentangan dengan Undang-Undang 3/2020 tentang Perubahan UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 83A dalam PP 25/2024, misalnya, disebut bertentangan dengan pasal 75 ayat 2 dan 3 dalam UU Minerba. Menurut UU Minerba, IUPK diberikan kepada BUMN dan BUMD. Sementara itu, pasal 74 ayat 1 dalam UU Minerba berbunyi, “Pemberian IUPK harus memperhatikan kepentingan daerah.”

“Tidak ada satu pun pasal dalam UU Minerba yang memberikan mandat kepada pemerintah untuk memberikan prioritas pemberian IUPK kepada ormas. Jadi, ini jelas-jelas pelanggaran terhadap UU Minerba secara terang benderang,” tegas Roni.

Pasal 195B ayat 2 dalam PP 25/2024 juga dianggap bertentangan dengan pasal 169A dalam UU Minerba. Menurut UU Minerba, kontrak karya dan PKP2B diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak atau perjanjian setelah memenuhi sejumlah persyaratan. Syarat yang pertama, kontrak atau perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai kelanjutan operasi perjanjian masing-masing. Jangka waktu paling lama adalah 10 tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya kontrak karya atau PKP2B.

Syarat berikutnya yakni kontrak atau perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dijamin untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai kelanjutan operasi perjanjian. Jangka waktu paling lama 10 tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama kontrak karya atau PKP2B.

Oleh sebab itu, Roni mengingatkan bahwa perpanjangan IUPK tidak boleh serampangan dan tergesa-gesa. Aturan yang berbunyi “memberikan izin usaha selama ketersediaan cadangan” disebut sebagai bentuk serampangan. Ketentuan ini dapat diartikan bahwa badan usaha dapat menambang sampai cadangannya habis.

“Janganlah menggunakan jargon nasionalisme untuk pembenaran terhadap pelanggaran UU Minerba,” tegas Roni.

Roni juga meminta pengusul pasal 83A dalam PP 25/2024 agar belajar kembali tentang filosofi pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara di Indonesia. Pembelajaran itu dapat dimulai dari memahami pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, sejarah berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 37/1960 tentang Pertambangan, UU 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, hingga UU Minerba.

Menurut Roni, UU Minerba hanya mengatur pemberian prioritas IUPK kepada BUMN, BUMD dan swasta melalui mekanisme lelang WIUPK secara bertahap. Prioritas IUPK bukan diberikan kepada ormas keagamaan.

Hal ini sebagai pengejawantahan pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Roni khawatir, pengusul pasal 83A tersebut tidak memahami konteks ini. Roni meyakini bahwa pemerintah tidak akan siap mengimplementasikan pasal tersebut. Peraturan ini disebut memiliki banyak risiko, dari risiko teknis dan mekanisme lelang WIUPK, risiko teknis pertambangan, risiko lingkungan, resiko terjadinya konflik horizontal, risiko konflik kepentingan hingga resiko korupsi. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *