beritabernas.com – Jika dilihat dari sisi perbankan, porsi kredit KPR terhadap total kredit cukup stabil pada kisaran 10% selama 4 tahun terakhir. Berdasarkan data Maret 2025, porsi kredit KPR terhadap total kredit nasional sebesar 10,16%.
Penyumbang kredit KPR terbesar adalah kredit pemilikan rumah tipe 22 sampai dengan 70 (porsi 60,27% dari total kredit KPR) dan kredit pemilikan rumah tipe di atas 70 (porsi 28,96% dari total kredit KPR), yang keduanya tumbuh cukup tinggi dan mendorong pertumbuhan KPR.
Sementara berdasarkan hasil survei properti Bank Indonesia (SHPR), KPR masih menjadi pilihan utama masyarakat untuk mengakses pembelian rumah di pasar primer.
Hal itu diungkapkan Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, sebagai jawab tertulis atas pertanyaan wartawan tentang seberapa besar porsi KPR terhadap total kredit nasional. Pertanyaan itu disampaikan wartawan dalam jumpa pers RDKB April 2025 dan dirilis pada Selasa 9 Mei 2025.
Dian Ediana Rae mengungkapkan, kredit KPR tumbuh melambat pada Maret 2025 sebesar 8,89% (yoy), dibandingkan pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 14,26% (yoy). SHPR Bank Indonesia juga mengindikasikan pertumbuhan harga dan penjualan properti residensial di pasar primer pada triwulan I 2025 yang masih tumbuh terbatas.
Hal ini sejalan dengan perlambatan pertumbuhan kredit secara umum, di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi dan kewaspadaan terhadap kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat.
Sementara jika melihat perkembangan setahun terakhir (selama April 2024-Mei 2025), jumlah rekening KPR baru sekitar 531 ribu dengan nilai realisasi hampir Rp 200 triliun, yang mana 85 persen dari rekening tersebut adalah kredit pemilikan rumah tipe 22 sampai dengan 70.
BACA JUGA:
- OJK Menciptakan Ekosistem Keuangan yang Sehat dan Aman dengan Pendekatan Holistik
- Pertumbuhan Aset Perbankan di DIY Mengalami Tren Perlambatan pada Triwulan Pertama 2025
OJK sendiri terus meminta perbankan guna mendukung program-program yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dan tata kelola yang baik.
Sementara itu, kualitas kredit KPR juga masih terjaga. Pada Maret 2025, NPL KPR sebesar 2,93%, masih di bawah threshold 5%, meskipun menunjukkan tren peningkatan dari tahun sebelumnya (Mar’24: 2,49%). Namun seiring masih berlanjutnya gelombang PHK dan indikasi pelemahan daya beli masyarakat, perlu peningkatan kewaspadaan terhadap potensi perburukan risiko kredit pada sektor KPR bagi debitur yang berada pada level middle-low income.
Menurut Ediana Rae, saat ini OJK telah memiliki regulasi atau ketentuan terkait perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan, salah satunya adalah POJK Nomor 22 tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan (POJK PKM SJK).
Peraturan ini diterbitkan sehubungan dengan penguatan fungsi OJK dalam melaksanakan Pelindungan Konsumen dan Masyarakat, pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) serta Literasi dan Inklusi Keuangan sebagai tindak lanjut amanat UU No 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Dalam POJK ini diatur berbagai aspek termasuk perlindungan data dan informasi konsumen, produk dan layanan, hingga mekanisme penyelesaian sengketa. Selain itu, konsumen dapat melakukan pengaduan ke OJK jika terjadi sengketa atau melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS).
Sesuai POJK Nomor 5/POJK.03/2016 tentang Rencana Bisnis Bank, OJK meminta Bank untuk menyusun strategi dan rencana, termasuk rencana bank dalam penyaluran kredit per sektor ekonomi (diantaranya KPR), untuk proyeksi tiga tahun mendatang di dalam dokumen Rencana Bisnis Bank (RBB) secara rutin setiap tahunnya.
Selanjutnya, pengawas masing-masing Bank di OJK bertanggung jawab untuk memantau laporan Realisasi RBB yang dilaporkan Bank secara triwulanan untuk mengevaluasi serta memastikan akurasi pengimplementasian dari strategi dan rencana Bank, termasuk jika Bank memiliki strategi/rencana dalam pembiayaan KPR.
Terkait transparansi suku bunga, menurut Ediana, OJK telah menerbitkan ketentuan berupa POJK Nomor 13 Tahun 2024 tentang Transparansi dan Publikasi Suku Bunga Dasar Kredit bagi Bank Umum Konvensional (POJK SBDK BUK). POJK dimaksud mengatur antara lain mengenai SBDK sebagai indikasi suku bunga efektif terendah yang mencerminkan Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK), overhead cost, dan margin, untuk selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam penetapan suku bunga kredit.
POJK ini juga mengatur agar BUK memperhatikan aspek perlindungan kepada konsumen. OJK mengatur bahwa dalam Surat Pemberitahuan Persetujuan Kredit (SPPK) atau offering letter bank kepada nasabah, harus memuat informasi yang lengkap dan dapat dipahami oleh nasabah, termasuk ruang lingkup yang berkaitan dengan bunga floating KPR.
Selanjutnya, jika terdapat perubahan suku bunga ke nasabah, bank harus memberitahukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berlakunya perubahan dimaksud sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 22 tahun 2023 tentang Pelindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. Selanjutnya sebagai bentuk transparansi informasi, bank harus mempublikasikan SBDK dan perubahannya melalui website masing-masing agar dapat diakses publik dengan cepat dan melaporkannya ke OJK setiap bulan.
OJK berharap sektor properti dapat terus tumbuh dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat umum, sehingga lebih banyak masyarakat yang mempunyai akses terhadap kepemilikan rumah yang sesuai dengan kebutuhannya. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan OJK untuk mendukung sektor ini, termasuk dukungan pendanaan kepada pengembang perumahan, dengan pencabutan larangan pemberian kredit untuk pengadaan dan pengolahan tanah sejak 1 Januari 2023 melalui POJK No. 27 tahun 2022 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (POJK KPMM).
Selain itu, penetapan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan bobot terendah sebesar 20%, yang dihitung secara granular dalam perhitungan aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit (ATMR Kredit).
Penilaian kualitas KPR yang dapat dilakukan berdasarkan ketepatan pembayaran, sesuai dengan POJK No.40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Dalam aturan ini, aset produktif untuk debitur dengan plafon hingga Rp 5 miliar dapat dinilai hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga (1 pilar), yang dapat dimanfaatkan oleh bank untuk KPR. (lip)
f. Harapan OJK pada sektor properti dan perbankan?
There is no ads to display, Please add some