beritabernas.com – Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII Prof Rifqi Muhammad SE SH MSc PhD mengatakan, sebagai masalah yang telah ada selama puluhan tahun di berbagai negara, korupsi dapat dicermati dari berbagai perspektif seperti hukum, ekonomi, teknologi, sosiologi dan lain-lain.
Menurut Prof Rifqi Muhammad, banyak penelitian antikorupsi mengungkapkan bahwa korupsi mempunyai banyak penyebab terkait dengan berbagai faktor sosial di masyarakat (Seleim &
Bontis, 2009). Banyak pakar dari berbagai bidang studi sepakat bahwa beragam faktor budaya di masyarakat berdampak pada beragam fenomena sosial (House et al., 2002).
“Salah satu masalah perilaku utama yang terkait dengan korupsi adalah gaya hidup individu yang korup,” kata Prof Rifqi Muhammad dalam pidato Milad ke-81 UII di Auditorium Abdulkahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII, 12 Pebruari 2024.
Mengutip hasil riset global Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) yang menyebut hidup di luar kemampuan finansial merupakan indikator perilaku yang paling umum di kalangan pelaku fraud pekerjaan (termasuk mereka yang terlibat dalam korupsi) di seluruh dunia (Association of Certified
Fraud Examiners, 2022).
Dari perspektif Fraud Triangle (Cressey, 1950), keinginan untuk menjalani gaya hidup mewah dapat menjadi tekanan bagi banyak orang untuk melakukan tindak curangan seperti korupsi. Permasalahan yang terkait dengan konsumerisme merupakan salah satu permasalahan perilaku yang perlu dikaji lebih dalam untuk memahami akar penyebab korupsi.
Sementara menurut Burmakin et al. (2022), budaya konsumtif mendorong terciptanya norma yang membenarkan dan merasionalisasi perilaku korup sehingga menyumbuhkan budaya korupsi. Bagi sebagian orang, budaya konsumtif menjadi cara hidup dan dorongan untuk mengejar obsesi irasional dan tujuan pribadi mereka (Burmakin et al., 2022). Obsesi ini pada akhirnya dapat memotivasi individu untuk terlibat dalam aktivitas kriminal seperti penipuan dan korupsi.
“Korupsi sering kali dievaluasi di seluruh dunia melalui indikator, skor, penilaian dan pemeringkatan, yang juga dikenal sebagai praktik kuantifikasi. Praktik kuantifikasi telah lama menjadi fitur budaya dan masyarakat dan alat, tujuan serta cakupannya telah berevolusi dan berkembang seiring berjalannya waktu
untuk mencakup lebih banyak aspek kehidupan manusia, sehingga memunculkan apa yang disebut masyarakat metrik atau metric society (Mau, 2019).
Melawan korupsi
Menurut Prof Rifqi Muhammad, Indonesia telah berjuang melawan korupsi selama beberapa dekade seperti banyak negara berkembang lainnya. Selama bertahun-tahun, kasus-kasus korupsi besar yang diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terutama melibatkan suap dan pengadaan barang dan jasa. Kemunduran demokrasi selama beberapa dekade, menurut Mietzner (2020), menjadi penyebab
meluasnya korupsi di Indonesia.
BACA JUGA:
- Milad ke-81 Tahun, UII Semakin Diminati Mahasiswa Asing
- Persentase Guru Besar di UII Hampir Dua Kali Lipat Dibandingkan Rata-rata Nasional
Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan juga telah memberikan dampak terhadap dinamika korupsi di Indonesia. Berbagai ukuran telah digunakan untuk mengkarakterisasi tingkat korupsi di berbagai negara.
Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index – CPI) yang dirilis setiap tahun oleh Transparency
International adalah salah satu yang paling sering digunakan.
Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi 2023, skor IPK Indonesia mengalami stagnasi yakni 34 dan berada pada peringkat 115 dari 180 negara. Di sisi lain, peringkat Indonesia turun dari 110 menjadi 115 dari 180 negara. Penuruan ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain karena terjadinya politik biaya tinggi dan juga faktor integritas aparat penegak hukum.
Meskipun terdapat banyak manfaat dari praktik kuantifikasi (contoh: indikator, skor, peringkat dan
pemeringkatan) bagi masyarakat dan organisasi, terdapat pula dampak negatifnya jika digunakan secara berlebihan atau tidak tepat. Misalnya, Gray (1997) menggarisbawahi bahwa pengukuran atau penghitungan yang tepat atas sesuatu bisa saja bertentangan dengan interpretasi, signifikansi dan maknanya. Faktor yang paling penting adalah makna, bukan pengukuran itu sendiri (Gray, 1997).
Namun, tantangan utama dalam memahami makna adalah bahwa makna tersebut bisa jadi rumit dan orang sering kali lebih nyaman dengan penjelasan yang lugas, meskipun penjelasan tersebut tidak tepat dan menyesatkan (Gray, 1997). Salah satu dampak buruk dari praktik kuantifikasi adalah kuantifikasi berlebihan atau over-quantification, yang bermanifestasi dalam bentuk berbagai perilaku tidak pantas, termasuk keinginan berlebihan untuk memperoleh kekayaan dan harta benda.
Selain itu, pemujaan terhadap pangkat dan status yang diperoleh dari proses evaluasi kuantitatif telah
menyebabkan banyak orang memprioritaskan tujuan jangka pendek dibandingkan perbaikan jangka panjang. Pada akhirnya, hal ini akan menyebabkan organisasi dan individu kehilangan produktivitas serta rentan terhadap penipuan dan korupsi.
Banyak studi menunjukkan bahwa terdapat banyak permasalahan perilaku yang terabaikan yang
menyebabkan upaya pencegahan korupsi di Indonesia tidak efektif dalam menghambat regenerasi korupsi. Mendapatkan pemahaman yang memadai tentang bagaimana pandangan pelaku korupsi terhadap korupsi dibentuk oleh budaya dan masyarakat mereka adalah hal yang penting dalam memastikan apa yang perlu dilakukan untuk mencegah terulangnya korupsi di masa depan.
Untuk itu, pembelajaran transformatif perlu dilakukan secara sistematis untuk merekayasa ulang pola pikir
organisasi dan individu agar tidak toleran terhadap korupsi termasuk menghilangkan pengetahuan atau
knowledge yang tertanam tentang korupsi itu sendiri. Untuk mendukung pelaksanaan pelepasan pembelajaran atau unlearning organisasi, kearifan harus diterapkan agar pesan-pesan antikorupsi dapat tersosialisasi dengan baik ke berbagai elemen masyarakat.
“Sampai hari ini kita masih berkutat pada problem korupsi yang masih menjadi pekerjaan rumah serius ditandai dengan indeks korupsi yang tidak membaik dan justru memburuk akibat rendahnya komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi karena kepentingan politik praktis,” kata Prof Rifqi.
Berdasarkan pada informasi dan fakta yang telah dijabarkan, berikut beberapa hal yang dapat dilakukan
sebagai rekomendasi. Pertama, meningkatkan governansi pemerintah dan bisnis. Perlu diperkuat governansi pemerintah dan bisnis melalui penilaian risiko yang tepat, mendukung praktik governansi yang telah maju, dan memastikan bahwa sumber daya manusia dan alam Indonesia dimanfaatkan secara efektif.
Selain itu, memperbaiki governansi pada sektor bisnis keuangan dengan penekanan pada penilaian risiko yang akurat untuk menghindari dampak negatif terhadap sektor dan perekonomian nasional. Kemudian, peningkatan pendidikan antikorupsi.
“Mengatasi masalah korupsi dengan upaya konkret, termasuk pembelajaran transformatif untuk mengubah pola pikir individu dan organisasi, serta meningkatkan kearifan antikorupsi dalam masyarakat. Selain itu, gencarkan upaya penanggulangan korupsi dengan mengatasi faktor konsumerisme sebagai penyumbang eksistensi praktik korupsi, melibatkan masyarakat dalam penyuluhan, dan meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia untuk mencapai tujuan SDGs secara lebih efektif,” kata Prof Rifqi. (lip)
There is no ads to display, Please add some