Program Pertukaran Fesyen, Desainer Indonesia Berbagi Wawasan Batik di Melbourne

beritabernas.com – Kedutaan Besar Australia menggelar program pertukaran fesyen, Selasa 25 Pebruari 2025, denganmembawa tiga desainer terkemuka Indonesia ke Melbourne. Mereka akan berbagi pengetahuan tentang batik. Program ini merupakan bagian dari Melbourne Fashion Festival dan menjadi wujud kerja sama diplomasi fesyen antara Australia dan Indonesia.

Kuasa Usaha Australia untuk Indonesia, Gita Kamath, dalam acara jamuan malam di Jakarta pada Kamis 27 Pebruari 2025 mengungkapkan bahwa ketiga desainer tersebut akan bertolak ke Melbourne pada Minggu 2 Maret 2025. Mereka akan memperkenalkan budaya batik serta mengungkap peran penting fesyen dalam hubungan kedua negara.

“Kemitraan Australia dan Indonesia dalam bidang fesyen semakin kuat melalui kolaborasi yang menggabungkan kreativitas, bakat, dan semangat inovasi. Inisiatif ini merupakan peluang luar biasa untuk mendukung pertumbuhan desainer berbakat dari kedua negara,” ujar Kamath.

Program ini juga menjadi bagian dari perayaan 75 tahun hubungan diplomatik Australia-Indonesia. Sebelumnya, Australia telah mengirimkan tiga desainer dalam program Emerging Designers Bootcamp di Jogja Fashion Week 2024 sebagai bagian dari kunjungan timbal balik.

BACA JUGA:

Tiga desainer Indonesia yang berpartisipasi dalam program ini adalah Auguste Soesastro, Lia Mustafa, dan Nonita Respati. Mereka tidak hanya akan berbagi wawasan mengenai batik, tetapi juga menampilkan koleksi terbaru serta berinteraksi dengan desainer dan pelaku industri kreatif Australia. Diskusi seputar keberlanjutan dan hubungan budaya dalam industri fesyen menjadi salah satu fokus utama dalam kegiatan ini.

Lia Mustafa menyampaikan bahwa Yogyakarta merupakan sister city dari Victoria, sehingga ia berharap dapat bertukar ilmu dengan desainer Australia. Ia juga ingin membagikan cerita dan filosofi di balik batik, termasuk perkembangan batik klasik Yogyakarta serta bagaimana batik dapat dikombinasikan dengan motif dari daerah lain.

“Batik Mataraman awalnya hanya terbatas di lingkungan keraton. Namun, seiring waktu, batik berkembang dan memungkinkan banyak eksplorasi. Bahkan, batik Yogyakarta dapat dikolaborasikan dengan batik dari daerah lain,” ujar Lia.

Sementara itu, Nonita Respati menyoroti pengalamannya dalam menciptakan motif batik sendiri serta inovasi dalam produksi yang bertujuan menekan biaya tanpa mengurangi nilai estetika batik. Menurutnya, inovasi diperlukan agar batik tetap dapat diakses oleh berbagai kalangan.

“Sejak 2010, saya mulai mengembangkan motif batik sendiri dengan pendekatan kontemporer. Selain menciptakan sesuatu yang unik, saya juga mencari cara agar biaya produksi tetap terjangkau sehingga batik dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat,” jelas Nonita.

Selain menghadiri festival mode, para desainer Indonesia juga dijadwalkan mengikuti lokakarya dan diskusi panel mengenai industri fesyen berkelanjutan yang diadakan oleh lembaga mode setempat. Mereka akan berinteraksi dengan komunitas kreatif Australia dan mengeksplorasi peluang kerja sama di masa depan.

Kegiatan ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah Australia sebagai bagian dari inisiatif untuk memperkuat hubungan budaya dan ekonomi melalui fesyen. Dengan pertukaran ini, diharapkan semakin banyak kolaborasi lintas negara yang dapat membawa inovasi baru dalam industri mode.

Program pertukaran ini diharapkan dapat mempererat hubungan budaya antara Indonesia dan Australia melalui fesyen. Selain menjadi ajang promosi batik di kancah internasional, kegiatan ini juga membuka peluang kolaborasi lebih luas bagi desainer dari kedua negara. (Clementine Roesiani)




There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *