Seminar Nasional Dies Natalis ke-60 UAJY, Romo Magnis: Pembusukan Demokrasi, Salah Satu Tantangan Indonesia

beritabernas.com – Romo Prof Dr Franz Magnis Suseno SJ, Guru Besar STF Driyarkara, mengatakan, ada 5 tantangan besar dunia saat ini yakni bertambahnya perang, ancaman kelaparan, ideologi-ideologi ekstrem negara, keambrukan lingkungan hidup alami dan artificial intelligence (AI).

Sementara untuk Indonesia setidaknya ada 3 tantangan, yaitu ancaman dari ideologi-ideologi transnasional-ekstrimis-agamis, kesejahteraan umum gagal tercapai dan pembusukan demokrasi. 

Baca juga:

“Kita bisa berhasil menjadi diri kita sendiri bila sudah bertanggung jawab. Namun, bila kita lari dari tanggung jawab berarti kita gagal menemukan jati diri sendiri,” kata Romo Frans Magniz Suseno dalam Seminar Nasional bertajuk Menavigasi Perubahan: Bisnis-Ekonomi Berkelanjutan menuju Indonesia Maju yang diadakan oleh Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta (FBE UAJY) di Auditorium Kampus 3 UAJY Babarsari, Yogyakarta pada Selasa 16 September 2025, dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-60 Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY)

Suasana seminar nasional dalam rangka Dies Natalis ke-60 UAJY, Selasa 16 September 2025. Foto: Y Sri Susilo

Selain Romo Magnis, tampil sebagai narasumber dalam seminar nasional tersebut adalah Yustinus Prastowo MA M.Phil (mantan Staf Ahli Menteri Keuangan dan kini Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta), Prof Aloysius Gunadi Brata PhD (Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan FBE UAJY) dengan moderator Mahestu N Krisjanti PhD (Dekan FBE UAJY).

Dalam seminar nasional yang dihadir 150 peserta yang mewakili akademisidari PTN/PTS, pengusaha dan perbankan, pemerintah daerah, LSM, guru dan mahasiswa FBE UAJY itu, Romo Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa tantangan terbesar ke depan adalah bagaimana membawa Indonesia ke masa Emas 2045.

Sementara Yustinus Prastowo MA M.Phil, mantan Staf Ahli Menteri Keuangan saat dijabat Sri Mulyani Indrawati dan kini Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta, mengatakan, ekonomi Indonesia cukup stabil. Hal ini bisa dilihat ketika krisis, Indonesia tidak terlalu terpuruk. “Sayangnya pulihnya lambat,” kata Prastowo.

Para narasumber dan moderator seminar nasional. Foto: Y Sri Susilo

Menurut Prastowo, tantangan Indonesia adalah kemiskinan dan ketimpangan yang masih besar. Rata- rata tabungan di atas Rp 1 miliar dan rata-rata di bawah Rp 100 juta sangat timpang.  “Penyebab ketimpangan adalah kemajuan teknologi, globalisasi dan sistem pajak regresif yang menguntungkan orang kaya,” kata Prastowo.

Dikatakan, negara-negara dengan indeks kebahagiaan yang tinggi adalah negara dengan tingkat ketimpangan yang rendah. Krisis iklim dan transisi energi jadi permasalahan. Alih-alih mendukung ekonomi hijau, Indonesia masih di level survive. “Pertumbuhan kita belum inklusif. Tantangan yang mendesak adalah keberlanjutan, ketimpangan di daerah harus diatasi. Kita juga perlu arah baru yakni kolaborasi dan reformasi,” kata Prastowo.  

Sementara Aloysius Gunadi Brata mengatakan, global income inequality mengalami kenaikan. “Utang juga naik dan kita tumbuh dengan mengorbankan sisi lingkungan yang sangat besar,” kata Aloysius.

Menurut Aloysius, kepedulian kepada lingkungan baru sebatas wacana atau pura-pura peduli belum pada tingkatan aksi atau tindakan nyata. Ia pun berharap adanya perubahan fondasi ekonomi. Kebijakan dekarbonisasi, dekolonisasi dan diversifikasi perlu menjadi perhatian pengambil kebijakan baik pemerintah, swasta dan pemangku kepentingan lainnya.

Narasumber saat menyampaikan materi seminar nasional. Foto: Y Sri Susilo

“Di level pendidikan tinggi, perlu adanya inovasi pengajaran dan penilaian. Kurikulum tidak hanya ditentukan oleh dosen, namun juga dapat terbuka atas usul mahasiswa,” harap Guru Besar FBE UAJY ini.  

Sedangkan Nurdianto, alumnus Prodi Ekonomi Pembangunan FBE UAJY, mengatakan, aksi untuk peduli kepada lingkungan dapat dilakukan oleh siapa pun. Aksi tersebut dapat dimulai dari lingkungan sekitar. Pengalaman di lapangan menjadikan Nurdianto mengajak berbagai pihak terlibat, termasuk kepada petani.

“Dengan komunikasi yang berlanjut maka petani bersedia menggunakan pupuk kompos dengan mengurangi pupuk anorganik. Kondisi ini menjadikan kesadaran terhadap lingkungan meningkat,” kata Nurdianto. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *