beritabernas.com – Penyelenggara event Tugu Jogja Expo (TJE) minta pengambil kebijakan agar arif dan bijaksana melihat bagaimana perjuangan rakyat jungkir balik dalam mengais rejeki. Karena itu, upaya menjaga dan melestarikan sumbu filosofi sebagai warisan budaya dunia tak harus diraih dengan mengorbankan kepentingan ekonomi masyarakat kecil.
Baca berita terkait:
- Perkokoh Sektor UMKM di DIY, Sekber Keistimewaan Gelar Tugu Jogja Expo 2022
- Pembukaan Tugu Joga Expo Diawali dengan Pawai Budaya
Hal ini disampaikan Widihasto Wasana Putra, Ketua Penyelenggara Tugu Jogja Expo (TJE), Kamis 15 Desember 2022, terkait tidak dikeluarkannya rekomendasi kegiatan TJE secara sepihak oleh BKSF (Balai Kawasan Sumbu Filosofis) DIY dengan sejumlah alasan. Yakni, menimbulkan kemacetan, minimnya lahan parkir dan berpotensi mengancam cagar budaya Hotel Tugu. Ketiga hal itu disebut BKSF DIY berpotensi menjadi preseden dalam proses pengusulan sumbu filosofi sebagai warisan budaya dunia ke UNESCO yang saat ini tengah memasuki tahap penentuan akhir.
Bahkan dengan alasan itu pula, menurut Widihasto Wasana Putra, pihak Pemkot Yogyakarta mengultimatum agar event TJE yang sudah berjalan sejak 8 Desember 2022 lalu itu harus dihentikan pada Jumat 16 Desember 2022 karena tidak mengantongi izin.

“Penghentian aktivitas ekonomi masyarakat sebanyak 182 penyewa stand dan 30 wahana permainan yang melibatkan ratusan orang, belum termasuk jasa kelistrikan, warga kewilayahan yang membuka jasa penitipan barang secara mendadak, tentu sangat rentan memicu konflik sosial. Kami berharap pengambil kebijakan dapat arif dan bijaksana melihat bagaimana perjuangan rakyatnya jungkir balik dalam mengais rejeki,” kata Widihasto Wasana Putra kepada beritabernas.com, Kamis 15 Desember 2022.
Menurut Widihasto, event Tugu Jogja Expo (TJE) adalah inisiatif Sekber Keistimewaan DIY bersama Republik Altar Ria, yang merupakan komponen masyarakat yang ikut dalam pengorganisiran rakyat dalam proses mendorong pengesahan UUK DIY.
TJE hadir secara konkrit tanpa dukungan pemerintah sepeser pun bisa melakukan pemanfaatan/ optimalisasi lahan yang sudah belasan tahun mangkrak di tengah kota. Tempat yang tadinya kotor, kumuh, gelap, penuh semak belukar kini bersih, terang benderang dan memiliki multiplayer effect sosial ekonomi budaya.
Selain itu, dengan puluhan pedagang kaki lima yang berjejal dapat dibersihkan tanpa ada gejolak. “Maka jika logika berpikirnya dibalik, dengan kondisi sebelum lahan itu kami sentuh, apakah tidak menggangu dan mencoreng citra Yogyakarta?” tanya Widihasto.

Menurut Widihasto, TJE dicreated senyampang dengan visi misi Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X tahun 2022-2027 yakni terwujudnya peningkatan kemuliaan martabat manusia Jogja melalui pancamulia, poin kedua yakni terwujudnya peningkatan kualitas dan keragaman kegiatan perekonomian masyarakat dan penguatan ekonomi yang berbasis pada sumberdaya lokal (keunikan teritori ekonomi) untuk pertumbuhan pendapatan masyarakat sekaligus pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan,
“Penghentian TJE dalam perspektif kajian studi pembangunan memperlihatkan contoh klasik masyarakat dalam posisi lemah dalam proses pengambilan kebijakan. Adanya kemungkinan ruang-ruang dialog untuk mencari titik temu demi tetap berlangsunnya keseimbangan sosial kerap terabaikan. Event TJE yang murni upaya pemberdayaan ekomomi masyarakat dengan memanfaatkan lahan terbengkalai di tengah isu kemiskinan semestinya dapat disinergikan tanpa harus merugikan kepentingan siapa pun,” kata Widihasto.

Dikatakan, kepentingan pemerintah untuk menjaga mulusnya pengajuan sumbu filosofi sebagai warisan budaya dunia ke UNESCO tentu tidak semestinya menegasikan upaya kemandirian masyarakat dalam menjaga dapurnya tetap mengepul. Hal-hal rekayasa teknis masih bisa ditempuh sejauh ada good will dari pemangku kebijakan. (lip)
There is no ads to display, Please add some