Oleh: Ali Mansur Monesa
beritabernas.com – Kunci sukses generasi masa depan adalah guru. Tidak seorang pun yang bisa membuka kunci sukses itu, kecuali guru. Dalam proses belajar kita, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi, jarang guru atau dosen menghadirkan model perkuliahan dengan bahasa filsafat atau menyampaikan isi pelajaran dengan kebenaran atas realitas.
Dengan menghadirkan pembelajaran dengan metode cara berpikir filsafat membantu siswa atau mahasiswa berpikir kritis. Dalam terminologi umum, filsafat merupakan pencarian yang bersifat spekulatif atau perekaan terhadap pandangan tentang seluruh kebenaran atas realita. Dalam bahasa Plato kemudian dikenal dengan sebutan filsafat spekulatif.
Sistem pembelajaran dengan menggunakan cara berpikir filsafat membantu siswa untuk membangun argumentasi yang mendalam dan kritis. Dengan cara demikian siswa atau mahasiswa mungkin mudah secara pemahaman sebagai manusia (animal rational) untuk membangun paradigma kritis.
Seorang guru atau dosen harus memiliki pemikiran kritis sebagai dasar pembentukan pola pikir peserta didik. Sebab membangun paradigma secara kritis dan serius, tidak sekadar menyampaikan apa yang sejenak terpikirkan, akan tetapi harus memfokuskannya dalam suatu struktur pengetahuan, pemikiran yang sistematik untuk membangun suatu argumen yang filosofis.
Membangun paradigma berpikir kritis sejak dini pada anak didik, bukan sekadar desas desus omong kosong tanpa makna. Tujuan utamanya ialah membangun argumen pemikiran sistematik maupun radikal kepada peserta didik atau mahasiswa.
Dengan bahasa yang agak filosofis, menyampaikan rentetan suatu pikiran dengan metode sebagai kerangka untuk menjawab fenomena atas realitas problematis, maka dalam membangun sebuah paradigma dalam proses belajar mengajar di kelas, secara ketat dan disiplin sesuai hukum-hukum kebenaran, keputusan ilmiah sistematik dan terstruktur, dengan hukum -hukum logika untuk menjawab fakta dalam ketiadaan bukti materil (benda).
BACA JUGA:
- Perguruan Tinggi Bukan Tempat Ritual Mencari Ijasah
- Pendidikan Karakter Kosmopolitanisme, “Nipu Wintuk Kudut Uwa Gula Bok Leso”
- Kapitalisasi Pendidikan
Semua itu dapat kita peroleh jika filsafat dijadikan sebagai basis kritisisme dalam ruang kelas. Dengan kata lain menghadirkan filsafat sebagai metode kritis dalam ruang kelas. Selama ini, ruang kelas jarang disentuh dengan metode kritis. Alhasil, siswa atau mahasiswa kita mengalami apa yang disebut oleh Ben Senang Galus (2023) siswa kita telah mengalami krisis kemampuan berpikir.
Ben Senang Galus, dalam media beritabernas.com (2023), menanyakan, manfaat apakah yang kita peroleh dari belajar filsafat? Kalau pertanyaan ini kita sungguh sampaikan kepada orang yang pernah belajar filsafat, barangkali jawabannya tidak seperti yang kita harapkan.
Pertanyaan tentang manfaat filsafat, tidak sama dengan pertanyaan, apa manfaat bollpoint? Pertanyaan seperti ini meminta jawaban yang bersifat praktis dan konkret. Sedangkan manfaat filsafat mempertanyakan realitas, bertanya tentang apa atau singkatnya dua unsur yang paling penting dalam berfilsafat adalah “mempersoalkan” dan “realitas”. Mempersoalkan eksistensi.
Tentu dalam membangun argumen yang serius maupun menjelaskan suatu fenomena konkrit, baik fisik maupun non fisik, filsafat memiliki peran penting sebagai metode kritisisme, untuk menjawab problem-problem tersebut, sesuai dengan kedudukan filsafat sebagai induk dari seluruh ilmu pengetahuan.
Maka filsafat sangat dibutuhkan sebagai pisau pembedah sebuah fenomena dalam mengutarakan argumen, dialektis dalam mengajar. Ini berarti mengarahkan disiplin (discipulus) berpikir kepada siswa atau mahasiswa dengan cara menyesatkan mereka (berpikir kritis). Hanya dengan mengerti tentang kesalahan dalam sebuah argumen orang tentu berpikir mencari yang benar ( Ben Senang Galus, 2024).
Dalam pembelajaran atau perkuliahan di kelas siswa atau mahasiswa memancing berpikir ala filsafat. Berpikir ala filsafat seperti rasional, sistematis, universal, metodis, radikal dan koheren. Apa pentingnya mengajarkan cara berpikir filsafat di ruang kelas? Tidak lain agar siswa atau mahasiswa mampu untuk menjawab dan memecahkan sebuah fenomena serta membangun nalar kritis secara serius dengan kekuatan akademis dan keteladanan dalam berpikir.
Aristoteles berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran metafisika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Sebagai umpama, gelas akan berubah makna sebagai wadah untuk minum pada konteks tertentu bisa menjadi untuk minum, bisa juga tidak, ketika ada suatu kelompok berdiskusi lalu terjadi perkelahian, ketika gelas pukul pada anggota tubuh lalu menyebabkan luka pada tubuh seseorang, maka dalam ranah hukum gelas akan berubah makna menjadi senjata sebagai alat bukti hukum.
Adapun batu yang pada sifatnya adalah keras padat dan tenggelam dalam air, namun ada juga batu terapung. Jenis batu ini yang bisa terapung di atas air berbeda pada sifat dari pada awalnya. Begitu pun tak semua orang Timur, orang Batak itu keras dan semua orang Jawa itu halus atau lembek. Meminjam Socrates, kehidupan yang tidak teruji adalah kehidupan yang tidak bernilai.
Dengan mengajukan alegori-alegori seperti ini, mengantarkan kita pada suatu perkembangan pemahaman baru bahwasannya sebuah kebenaran itu tidak selamanya benar. Ada kebenaran yang bersifat dinamis, terkecuali kebenaran absolut (Tuhan).
Dengan mengoptimalkan cara berpikir filsafat sebagai suatu metode kritisisme, sebagai sebuah upaya untuk memverifikasi dan mempertanyakan setiap kejadian atas sebuah problem, maka akal kita mengalami konfrontasi untuk selalu mempertanyakan setiap eksistensi dari sesuatu (keberadaan).
Bila kesadaran untuk melibatkan filsafat sebagai kritisisme dalam membangun kesadaran intelektual dalam kelas, maka sebuah kesadaran pengetahuan akan semakin berkembang pesat serta melatih generasi serta para akademisi, untuk lebih mengoptimalkan akal budi ketat dalam metode pembelajaran di kelas, kelak siswa atau mahasiswa tidak mudah ditipu, karena mereka sejak dini sudah dipersiapkan berpikir kritis.
Franz Magnis Suseno mengatakan filsafat itu sebagai ilmu kritis. Oleh karena itu hendaknya ilmu kritis ini harus dihadirkan dalam ruang-ruang kelas. Sebab kegiatan belajar mengajar bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan akademis semata, melainkan transfer nilai kritis. Sebab lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai akademis, sebagai sebuah lembaga disiplin berpikir, kelak siswa atau mahasiswa tidak menghasilkan generasi dengan pola berpikir cengeng dan formal, sebagai efek korban doktrinasi sistem pembelajaran yang menekankan satu arah.
Memancing Berpikir Radikal
Filsafat sebagai metode kritis memiliki fungsi penting dalam pembangunan sains sebagai koridor akademis, maka dengan disiplin dan kemampuan mempertanyakan kebenaran, suatu eksistensi realitas, hendaknya pembelajaran mengajukan pertanyaan dan pernyataan yang memancing berpikir radikal sistematis dan universal untuk pengoptimalan disiplin berpikir dan ketat. Inilah pintu masuknya dengan mengkritik konsep, mempertanyakan konsep dan menghadirkan konsep tandingan dengan berbagai metode atau membangun paradigma secara serius (critical thinking).
Manusia harus menunjukkan perbedaan itu lewat pengoptimalan akal, pikirnya, sebagai pembeda (genus) dari mahluk hidup lainnya. Untuk menjawab persoalan ini maka pendidikan sebagai solusi secara umum, untuk menghasilkan manusia yang tinggi kadar intelektualnya, namun tidak melepaskan dirinya sebagai maklum sosial.
Sedikit bernostalgia pada zaman Yunani, kita bisa melihat pergeseran pendidikan pada toko raksasa filsafat Socrates Plato, Aristoteles, mereka ada murid dan guru yang memiliki masa yang berbeda. Pada masa Socrates pendidikan bermula di berbagai tempat sederhana. Namun dalam proses dialektika pendidikan selalu menghadirkan metode berdebat dengan mempertanyakan realitas dan berbagai macam fenomena dalam kehidupan realitas masyarakat.
Sementara Plato sebagai murid Scorates, yang dikenal sebagai pendiri sekolah pertama dengan nama Akademia Plato memiliki metode yang sama pada tempat yang berbeda yakni ada perkumpulan- pekumpulan (ruang) diskusi di luar maupun di dalam ruang kelas, simposium.
Begitu juga dengan Aristoteles yang mendirikan sekolah bernama Liceum (general education liceum ), metode dan tata cara mengajar mereka tidak menghilangkan subtansi, selalu mempertanyakan hakikat dari sesuatu realitas, dengan cara berpikir filsafat sangat ketat.
Apa yang dibahas di sini, mengingatkan kita para generasi muda dan para pendidik (dosen atau guru) bahwa konsep pembelajaran dengan model kuno, sekadar membagi (transmisi), sudah saatnya ditinggalkan.
Ruang kelas sebagai mengandaikan sebagai ruang simposium dealektis bukan tempat ibadah. Membangun cara berpikir kritis dialektis adalah perkelahian pikiran sebagai sarana ilmu pengetahuan yang secara radikal sesuai hukum-hukum ilmu pengetahuan guna menjaga kultur akademis serta sebagai upaya konsep humanisasi sebagai tujuan dari pada pendidikan, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Salah dan benar, baik dan buruk itu hasil, sebab belajar merupakan aktivitas manusia sebagai mahluk berkecenderungan, sedangkan belajar itu soal proses bukan soal tujuan. Sebab sebuah proses yang baik sudah pasti sampai pada tujuan, tetapi suatu tujuan yang di hasilkan belum tentu melalui proses yang baik.
Oleh karena itu, pendidikan kita ke depan, ruang kelas dijadikan sebagai ruang dialektis kritis. Sebab sudah terlalu lama bangsa kita menjadi bangsa bermental penumpang (passanger mentality). Agar tidak menjadi bangsa bermental penumpang terus menerus, sudah saatnya revitalisasi ruang kelas menjadi ruang filsafat kritis.
Pendidikan sebagai investasi masa depan bangsa hanya dapat dicapai melalui proses yang serius bukan sekedar formalitas saja. Sudah saatnya kembali pada kultur akademis yang sesungguhnya, membumikan literasi, hidupkan dialektika kritis di ruang kelas.
Dengan cara demikian kesadaran peradaban akademis secara kolektif kepada generasi muda akan tumbuh subur, dan tidak lagi memimjam Soekarno, jangan terus terus menjadi bangsa budak atau budak diantara bangsa-bangsa. Semoga! (Ali Mansur Monesa, Mahasiswa UPY Yogyakarta)
There is no ads to display, Please add some