Kakistokrasi dan Mantalitas Priyayi

Oleh: Ben Senang Galus, Dosen, Penulis Buku, tinggal di Yogyakarta

beritabernas.com – Hampir setiap hari masyarakat sipil (civil society/CS) baik melalui media cetak, medsos maupun melalui diskusi publik di televisi, selalu mengumandangkan kredo pemerintahan yang bersih dan berwibawa dan bebas dari KKN. Nada dasar kredo mereka ialah agar pemerintah harus dipimpin oleh orang yang berkompeten atau punya moral yang baik. Kredo CS hampir pasti tidak pernah ditindaklanjuti oleh aparat birokrasi, baik di pusat maupun di daerah. Bahkan sudah semakin menggila dalam hal korupsi uang rakyat.  

Bagaimana pun hebatnya metode dan pendekatan yang dipergunakan mengkaji upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) dan berwibawa, adalah tak mungkin konkrit, karena selalu berhadapan dengan masalah mentalitas feodal atau priyayi, yang ingin dihormati, yang masih melekat dalam tubuh birokrasi sebagai warisan masa lalu.

Empat puluh dua tahun lalu MAW Brouwer OFM telah menulis buku Indonesia Negara Pegawai  (1983). Dalam buku tersebut, Brower menulis begini (p.75): Kalau dulu Prusia dianggap sebagai negara militer, Tiongkok Maois sebagai negara buruh, Amerika negara wiraswasta dan Iran sebagai negara ulama, maka Indonesia bisa dianggap sebagai negara pegawai.

Brouwer yang menulis pendapatnya itu, mengatakan keadaanlah yang menyebabkan hal itu terjadi, yaitu adanya warisan dari kolonial penjajahan. Pada saat itu memang penduduk pribumi diarahkan untuk menjadi pegawai, sementara kaum pendatang menjadi pedagang. Jadi jika banyak orang bercita-cita menjadi pegawai negeri saat ini, itu adalah impian dan cita-cita nenek moyang. Namun dalam perkembangannya, seorang pegawai yang dibayar oleh rakyat dan harus melayani rakyat, banyak terjadi penyimpangan.

Menurut Brouwer, seorang menteri tidak boleh lupa bahwa ia minister, artinya orang yang lebih rendah dari entitas utamanya, yakni rakyat. Seorang pegawai harus menciptakan rasa aman terhadap rakyatnya. Namun yang terjadi sekarang banyak pegawai yang lupa tugasnya.

Brouwer-pastor yang juga psikolog (almarhum)-mencatat bahwa banyak pegawai negeri yang tidak menciptakan rasa aman bagi rakyatnya, pemalas, tidak inovatif, gila hormat, konsumtif, sering melakukan pungli dan suka korupsi waktu. Ia juga mengatakan bahwa gaya hidup pegawai mendominasi kebudayaan Indonesia dan birokrasi negara kita. “Maling, rampok, pencuri uang rakyat,” kata Presiden Prabowo pada pidato Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2025. 

Meski sinyalemen Brower tersebut tidak berlandaskan suatu penelitian dengan memakai metodologi ilmiah dan hanya berdasarkan pengamatan terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungan sosialnya, namun sepertinya apa yang disebutkan itu banyak mengandung kebenaran.

Sampai saat ini, meski sudah sekian puluh tahun dari dilansirnya pendapat Brouwer, tidak dapat dipungkiri masih banyak kita jumpai aparat pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang datang ke kantor tidak bekerja apa pun, hanya duduk-duduk merokok, ngopi, main catur, bahkan ada yang main game, nonton tiktok, unggah film porno. Mentalitas pegawai yang sedemikian itu berakibat pada buruknya pelayanan publik di Tanah Air.

Beberapa penelitian yang membahas mentalitas pembangunan pernah dilakukan di beberapa negara yang sedang berkembang oleh para ahli sosiologi dan antropologi. Namun yang secara mendalami dan menganalisa mentalitas pegawai hanya dilakukan ahli pendidikan JF Guyot.

Dalam bukunya The Clerk Mentality in Burmese Education, mencatat: There are two groups of employees, namely employees whose work is of a general administrative nature and bureaucratic employees whose work requires regional expertise….”. According to Guyot, the first group of employees has the following characteristics: “…formalism, petty arrogance, routine, insecurity...” yang berarti ada dua golongan pegawai, yaitu pegawai yang pekerjaannya bersifat umum administratif dan pegawai birokrasi yang pekerjaannya memerlukan keahlian khusus. Golongan pegawai yang pertama menurut Guyot memiliki ciri-ciri yaitu “…formalisme, picik, arogansi, rutinitas, ketidakamanan…”

Pada bagian lain, Guyot mengatakan: aparat birokrasi terjebak dalam budaya formalisme, yang oleh Guyot mengartikan: formalism is that the employee not only implies acting appropriately as stated in the manual and rules, but also includes liking for the inauguration through ceremonies, liking for uniforms and uniformity. By petty arrogance he meant knowing, arrogant, praising, and demented. While routine is acting according to habits, and afraid to take the initiative. The last insecurity, Guyot said, is employees who are afraid to take the initiative, are afraid to take risks, and like to satisfy their superiors”, yang berarti formalism adalah pegawai tersebut tidak hanya berimplikasi bertindak tepat seperti yang tercantum dalam buku pedoman dan aturan, tetapi juga berarti suka pada peresmian melalui upacara, suka pada seragam dan kesegaraman. Petty arrogance yang dia maksud adalah sok tahu, sombong, suka dihormati, dan gila hormat.

BACA JUGA:

Sementara routine adalah bertindak menurut kebiasaan, dan takut mengambil inisiatif. Terakhir insecurity, kata Guyot, adalah pegawai yang takut mengambil inisiatif, takut menghadapi resiko, dan suka memuaskan atasan.

Sistem merit

Hebatnya, hasil penelitian dan analisa Guyo, ternyata tak jauh berbeda dengan apa yang ditulis Brouwer. Meski dilontarkan beberapa tahun yang lalu, Brouwer setidaknya telah mengingatkan kembali pemerintah agar dalam menata birokrasi, harap memperhatikan mulai dari pola rekrutmen sampai pada yang bersangkutan diangkat menjadi aparatur sipil negara, betul-betul berdasarkan sistem merit, mengutamakan kualifikasi, kompetensi dan kinerja, yang diberlakukan secara adil dan wajar dengan tanpa diskriminasi. 

Apa yang digambarkan Brouwer di atas selalu menimpa seluruh aparatur sipil negara kita, memandang bahwa kekayaan material dan sosial menjadi orientasi dasar dalam pencapaian makna hidup. Bagaimana kekayaan material dan sosial ini diperjuangkan. Tentu ada berbagai macam cara. Salah satu karakter mentalitas aparatur pemerintah berikutnya adalah berjuang dengan segala cara untuk memperoleh kekayaan material dan sosial ini dengan merampok uang rakyat.

Mentalitas ini terbentuk sejak zaman kolonial menancapkan cengkeram cakarnya di bumi pertiwi. Mentalitas priyayi yang diharapkan dan didambakan oleh aparatur pemerintah pada umumnya merupakan ekspresi luka-luka batin atas rasa inferior yang pernah dialami saat masa pendudukan imperialisme.

Mentalitas itu begitu dalam tertanam sehingga generasi-generasi berikutnya pun masih memiliki luka-luka batin ini. Entah sampai pada generasi keberapa kah aparatur  mampu melepaskan efek dari luka-luka batin ini.

Rendahnya disiplin aparatur sipil negara (ASN) terkait pula dengan masalah mentalilitas pegawai yang kebanyakan menganut mentalitas priyayi. Menurut pengamatan penulis mentalitas priyayi mendominasi karakter ASN/PNS.

Mentalitas priyayi telah membuat sebagian ASN kehilangan jatidiri, kehilangan karakter. Akibatnya bangsa kita menjadi ‘bangsa klien’ (bergantung pada patron atau petunjuk dari atasan).

Beberapa contoh mentalitas klien: tergantung pada printas atasan, tidak inovatif, tidak kreatif, tidak peka terhadap persoalan, tidak bangga dengan pekerjaannya, suka meniru, suka membuat pertanggungjawaban keuangan fiktif, wajib stor ke atasan.

Berkaitan dengan mentalitas klien ini Kuntowidjoyo (1994) menguraikan ada empat penyakit yang merusak mental bangsa Indonesia yakni: Pertama, komplex inferioritas, yakni sebagai bangsa klien kita tidak bangga bila belum mengkonsumsi barang-barang impor yang tampaknya buatan luar negeri atau setidak-tidaknya barang-barang produk franchise.

Kedua, Komplex selebritis. Dalam tayangan televisi kita suka meniru acara; ‘American Idol‘, gemerlap bintang hadiah ‘Oscar’, ‘Miss Amerika’, ‘Miss Universe’ (Termasuk acara bagi-bagi duit; cewek bahenol memperebutkan jutawan ganteng untuk memperoleh hadiah ‘Warisan’; Acara uji nyali makan ulat dan berenang sama buaya, serta menghadapi tantangan dan marabahaya lain (Fear Factor). Meski ada tayangan bermanfaat, tetapi ada pula yang menyakitkan hati, mengingat masih banyaknya kemiskinan di negeri ini.  

Ketiga, Komplex Mistifikasi. Yakni menganggap sesuatu sebagai misteri. Kebanyakan mistifikasi ini dilakukan oleh rakyat bawah. Pencapaian kemakmuran yang tidak dipahami secara rasional, akhirnya upaya penyelesaiannya ditempuh melalui perdukunan, pesugihan, penggAndaan uang, minta restu dan bertapa ke gunung.

Keempat, Komplex Xenomani. Yakni kegandrungan pada produk asing yang dialami oleh semua tingkatan. Kelas atas belanja, berobat, membeli rumah dan menyekolahkan anak keluar negeri. Kelas menengah makan di Pizza Hut, Mc. Donald, Dunkins Donat. Sementara, kelas bawah beli Jean Levi’s buatan Bandung, sepatu Gucci buatan Magetan, T-sirt ‘Man’ buatan Tangerang.

Kakistokrasi

Brokrasi Indonesia tidak mungkin profesional, karena pola rekrutmen yang tidak benar. Prinsipnya asal memenuh target. Sistem assesmentnya sangat buruk, asal memenuhi formasi. Pengangkatan ASN atau jabatan birokrasi atau pengangkatan menteri yang  diisi dengan kapasitas buruk tidak kompeten di sebut sebagai kakistokrasi.

Kakistokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana orang-orang yang paling buruk, paling tidak kompeten, atau paling tidak bermoral, memegang kekuasaan, mendominasi pemerintahan atau lembaga publik.  

Kakistokrasi berasal dari bahasa Yunani, “kakistos” (terburuk) dan “kratos” (pemerintahan). Menggambarkan sebuah sistem di mana orang yang paling tidak layak atau pantas memegang posisi kekuasaan. Konsekuensi, pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang buruk dapat mengakibatkan berbagai masalah, seperti korupsi, kebijakan buruk, dan ketidakadilan. Kakistokrasi menjadi perhatian karena dapat merusak sistem demokrasi dan menciptakan situasi yang merugikan masyarakat.

Metode untuk mengilangkan pemerintahah kakistokrasi walaupun tidak seampuh di negara maju ialah dengan: memperpendek prosedur pelayanan, mempercepat waktu penyelesaian, menurunkan biaya pelayanan, meningkatkan kualitas produk pelayanan, meningkatkan kompetensi petugas pemberi pelayanan, sistem merit yang sangat ketat, memperkuat penegakan hokum, meningkatkan transparansi, pendidikan anti korupsi, peningkatan kesejahteraan pegawai public. membangun sistem pengawasan yang kuat, penggunaan teknologi digital. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *