beritabernas.com – Forum Coffee Morning Lecture (CML)) yang diadakan FTSP UII sudah memasuki episode yang ke-9 pada Jumat 28 November 2028. Dalam CML yang digelar di Selasar Hall FTSP UII, kali ini mengangkat tema Dari Desa Wunung untuk Indonesia: Merancang Rumah yang Mampu Bertahan di Tengah Perubahan Iklim.
Dekan FTSP UII Prof Ilya Fadjar Maharika mengatakan, forum CML yang diadakan secara rutin tiap bulan ini sebagai salah satu upaya FTSP untuk menghadirkan solusi nyata atas berbagai masalah bagi masyarakat.
“Ini bukan sekadar program akademik. Ini adalah wujud keberpihakan UII terhadap ketangguhan masyarakat. Rumah adaptif iklim menunjukkan bahwa ilmu arsitektur, teknik sipil dan teknik lingkungan dapat menyatu menjadi solusi yang membumi dan visioner,” kata Prof Ilya Fadjar Maharika ketika membuka acara CML edisi ke-9 di Selasar FTSP UII, Jumat 28 November 2025.
Tema ini diangkat dalam forum CML kali ini dilakukan karena setiap orang berhak tinggal di rumah yang aman, sehat dan mampu melindungi keluarga dari kondisi lingkungan yang terus berubah.
Karena itu, dalam Coffee Morning Lecture (CML) ke-9 dengan tema Kajian Rumah Adaptif Iklim ini, FTSP menghadirkan para akademisi, praktisi perumahan, pemangku kepentingan sektor konstruksi, mitra pembangunan dan masyarakat penerima manfaat dari Desa Wunung, Gunungkidul.
Karnen Dasen dari Yayasan Habitat Kemanusiaan Indonesia yang tampil sebagai salah satu narasumber dalam CML ke-9 tersebut mengatakan bahwa perubahan iklim bukan lagi sekadar isu ilmiah. Kita merasakannya dalam kehidupan sehari-hari seperti hujan ekstrem yang muncul tiba-tiba, kemarau yang semakin panjang dan suhu udara yang meningkat dari tahun ke tahun.

Rumah yang merupakan ruang paling dekat dengan kehidupan manusia menjadi lokasi pertama yang merasakan dampaknya. Oleh karena itu, perancangan hunian yang adaptif terhadap iklim menjadi kebutuhan mendesak.
Menurut Karnen Dasen, salah satu model implementasi adaptasi iklim hadir di Desa Wunung, Gunungkidul, di mana Yayasan Habitat Kemanusiaan Indonesia (Habitat for Humanity Indonesia) berkolaborasi dengan FTSP UII untuk merancang Rumah Habitat Adaptif Iklim, mengintegrasikan riset ilmiah, konteks ekologis karst dan kebutuhan nyata masyarakat.
Sementara itu, sebagai mitra strategis program rumah adaptif iklim melalui dukungan pendanaan perumahan berkelanjutan, perwakilan PT Prudential Life Assurance Indonesia menyampaikan komitmennya terhadap ketahanan masyarakat.
“Kami percaya bahwa investasi terbaik adalah memastikan setiap keluarga tinggal di rumah yang mampu melindungi mereka dari risiko iklim. Kolaborasi bersama FTSP UII dan Habitat for Humanity Indonesia adalah bentuk nyata kontribusi Prudential untuk ketahanan keluarga Indonesia,” kata Nuranisa Putri Matahari, Pimpinan PT Prudential Life Assurance Indonesia, dalam sambutan secara daring.
Yayasan Habitat Indonesia juga berperan penting dalam implementasi di lapangan, mulai dari asesmen kebutuhan hingga konstruksi rumah adaptif.
“Rumah bukan hanya bangunan; ia adalah ruang aman bagi keluarga. Di Wunung, kami belajar bahwa solusi teknis harus berjalan bersama budaya lokal dan partisipasi masyarakat. Itulah kekuatan rumah adaptif iklim,” kata Rudi Nadapdap, Senior Manager of Field Operations Habitat for Humanity Indonesia.
Karnen Dasen yang mengawali CML menguraikan perjalanan program, tantangan lapangan dan proses pendampingan penerima manfaat di Desa Wunung. Ia mengatakan, kunci keberhasilan di Wunung adalah kepemilikan bersama. Warga tidak hanya menerima rumah; mereka terlibat dalam merancang, membangun, dan merawat. Program ini bukan hanya menyediakan bangunan, tetapi membangun ketangguhan komunitas.
Baca juga:
- Dari Coffee Morning Lecture FTSP UII, 5 Isu Utama Terkait Penyediaan Rumah di Indonesia
- Coffee Morning Lecture, Upaya FTSP UII Menepis Kesan Perguruan Tinggi sebagai Menara Gading
- Potensi Air Sungai sebagai Sumber Energi Listrik di Indonesia Sangat Besar
Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi teknis dengan kampus. “Kolaborasi dengan FTSP UII memperkaya desain dan memastikan rumah yang dibangun benar-benar responsif terhadap iklim dan konteks lokal,” kata Karnen Dasen.
Sementara sebagai peneliti utama, Prof Suparwoko sebagai panelis memaparkan hasil kajian arsitektur adaptif iklim yang dikembangkan berdasarkan kondisi karst Gunungkidul, pola hidup warga, dan teknologi konstruksi yang terjangkau.
“Rumah adaptif iklim bukan sekadar penyesuaian kecil pada desain. Ia merupakan pendekatan holistik yang menimbang orientasi matahari, ventilasi alami, konservasi air, material lokal, hingga kapasitas ekonomi warga,” kata Prof Suparwoko seraya menambahkan bawa Desa Wunung memberi kita pelajaran penting yakni inovasi terbaik adalah yang bisa diterapkan oleh masyarakat sendiri.
Sementara Ar Erlangga Winoto IAI AA, Ketua Ikatan Arsitek Indonesia DIY, mengatakan, apa yang dilakukan di Wunung adalah contoh nyata praktik arsitektur kontekstual yang jarang kita temui. Desain adaptif iklim bukan tren sesaat, tetapi kebutuhan masa depan Indonesia.
Sedangkan Ar Daud Tjondro Rahardja MBA IAI GP (Direktur GBCI) menyoroti pentingnya standar bangunan hijau dalam konteks rumah rakyat. Ia mengatakan bahwa rumah adaptif iklim adalah fondasi menuju bangunan hijau yang terjangkau. Kita harus memastikan prinsip keberlanjutan tidak hanya untuk gedung besar, tetapi juga untuk rumah sederhana yang dibutuhkan masyarakat.
Baik Prof Suparwoko maupun Daud Tjondro Raharda sepakat bahwa kajian di Wunung bisa menjadi model nasional.
Ikrom Mustofa selaku penanggung jawab kegiatan CM #9 mengatakan bahwa CML bukan hanya forum akademik, tetapi ruang kolaborasi. Dari Wunung kita belajar bahwa inovasi, empati, dan ilmu pengetahuan dapat berpadu menjadi solusi nyata bagi masyarakat.

Ia mengatakan bahwa hasil kegiatan ini akan diteruskan sebagai rekomendasi teknis dan kebijakan untuk pengembangan rumah adaptif iklim di wilayah lain.
CML edisi ke-9 ini dihadiri oleh lebih dari 50 peserta luring dan ratusan peserta daring, terdiri dari mahasiswa, dosen, organisasi profesi, media, lembaga pemerintah hingga warga Desa Wunung. Forum ini menjadi ruang berbagi pengalaman tentang bagaimana rumah baru mereka memberi rasa aman, kenyamanan, dan harapan.
Melalui kegiatan ini, FTSP UII menegaskan peran strategisnya sebagai institusi yang mendorong perubahan nyata. Rumusan rekomendasi dari forum ini akan menjadi bahan penyusunan pedoman rumah adaptif iklim, usulan kebijakan skala daerah dan nasional, replikasi program ke wilayah rentan lainnya serta penguatan kolaborasi dengan pemerintah, industri, dan organisasi masyarakat sipil.
“CML#9 menjadi pengingat bahwa membangun rumah berarti membangun masa depan. Rumah adaptif iklim dari Wunung membuktikan bahwa rumah yang baik bukan hanya bangunan yang berdiri, tetapi ruang yang menjaga kehidupan di tengah ketidakpastian iklim,” kata Ikrom. (phj)
There is no ads to display, Please add some