beritabernas.com – Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII meminta KPU agar tidak perlu melaksakan putusan PN Jakarta Pusat untuk menunda Pemilu. Sebab, putusan itu cacat logika dan keliru.
Bahkan PSHK FH UII merekomendasikan Komisi Yudisial (KY) untuk memeriksa Majelis Hakim PN Jakarta Pusat yang memutus perkara Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst.
Selain itu, PSHK FH UII juga meminta Badan Pengawasan Mahkamah Agung agar mengawasi dan memperingatkan hakim-hakim di lingkungan Mahkamah Agung agar taat kompetensi absolut dan relatif. “Kami juga merekomendasikan Presiden agar mengawal Pemilu sesuai amanat konstitusi yakni dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Dan kepada masyarakat umum, agar memantau dan mengawal Pemilu sehingga tetap dilaksanakan pada tahun 2024 sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan,” kata Yuniar Riza Hakiki SH.MH, Kepala PSHK FH UII, dalam rilis yang dikirim kepada beritabernas.com, Jumat 3 Maret 2023.
Hal itu disampaikan Yuniar Riza Hakiki menanggapi putusan PN Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN. Jkt Pst atas gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) tentang perbuatan melawan hukum (PMH).
Dalam putusannya, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat mengabulkan permohonan Partai Prima sebagai pihak yang dirugikan, menyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan PMH dan menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilihan umum 2024 selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan atau mengulang tahapan dari awal.
BACA BERITA TERKAIT:
- PSHK FH UII: Putusan PN Jakarta Pusat Cacat Logika dan Keliru
- Mahfud MD: Vonis PN Jakarta Pusat Harus Dilawan Secara Hukum
Menurut Yuniar Riza Hakiki SH MH, putusan PN Jakarta Pusat itu cacat logika dan keliru dalam praktik penyelenggaraan hukum Indonesia. Sebab, sbstansi perkara ini pada hakikatnya bukan merupakan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) bidang keperdataan, melainkan perkara gugatan sengketa kepemiluan atas keputusan tata usaha negara yang telah dikeluarkan oleh KPU.
Dengan demikian, menurut Yuniar Riza Hakiki, secara kompetensi absolut, PN Jakpus seharusnya tidak berwenang mengadili substansi perkara yang berkaitan dengan sengketa Pemilu.
Selain itu, PN Jakpus tidak berwenang memutus penundaan tahapan Pemilu, karena tahapan Pemilu tidak hanya menyangkut kepentingan hukum para pihak yang berperkara dalam sengketa keperdataan, sehingga meskipun putusan PN Jakpus pada aspek tertentu dinilai memulihkan kerugian Partai Prima, tetapi dengan menghukum KPU untuk menunda tahapan Pemilu justru merugikan kepentingan hukum yang lebih luas.
BACA JUGA:
- PN Jakarta Pusat Kabulkan Gugatan, Ketua DPP PRIMA: Kebenaran Telah Menemukan Jalannya
- Ini Alasan DPP PRIMA Gugat KPU dan Menang di PN Jakarta Pusat
Misalnya, partai politik yang sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024 dan rakyat selaku pemilih akan kehilangan hak pilih pada Pemilu yang seharusnya diselenggarakan setiap 5 tahun.
“Tidak ada sama sekali mekanisme penundaan pemilu dalam konstitusi dan UU tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Menurut UU Pemilu, yang ada hanya penundaan pemungutan suara dan hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia atau secara nasional,” kata Yuniar Riza Hakiki.
Karena itu, Pemilu yang diadakan setiap 5 tahun harus tetap dilaksanakan sesuai dengan yang telah ditetapkan yakni pada Tthun 2024. Hal ini sejalan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (lip)
There is no ads to display, Please add some