beritabernas.com – Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII menilai putusan PN Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Prima dan memerintahkan Pemilu ditunda, cacat logika dan keliru dalam praktik penyelenggaraan hukum Indonesia.
Menurut Yuniar Riza Hakiki SH MH, Kepala PSHK FH UII, dalam siaran pers yang diterima beritabernas.com, Jumat 3 Maret 2023, ada 2 hal yang merupakan kekeliruan putusan PN Jakarta Pusat itu yakni substansi perkara ini pada hakikatnya bukan merupakan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) bidang keperdataan, melainkan perkara gugatan sengketa kepemiluan atas keputusan tata usaha negara yang telah dikeluarkan oleh KPU.
Sehingga secara kompetensi absolut, menurut PSHK FH UII, PN Jakarta Pusat seharusnya tidak berwenang mengadili substansi perkara yang berkaitan dengan sengketa Pemilu.
Selain itu, PN Jakarta Pusat tidak berwenang memutus penundaan tahapan Pemilu, karena tahapan Pemilu tidak hanya menyangkut kepentingan hukum para pihak yang berperkara dalam sengketa keperdataan, sehingga meskipun putusan PN Jakarta Pusat pada aspek tertentu dinilai memulihkan kerugian Partai Prima, tetapi dengan menghukum KPU untuk menunda tahapan Pemilu justru merugikan kepentingan hukum yang lebih luas.
Sebagai contoh, partai politik yang sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024 dan rakyat selaku pemilih akan kehilangan hak pilih pada Pemilu yang seharusnya diselenggarakan setiap 5 tahun.
Karena itu, menurut PSHK FH UII, KPU tidak perlu melaksanakan putusan PN Jakarta Pusat terkait penundaan tahapan Pemilu dan dapat mengupayakan upaya hukum banding agar putusan tersebut dikoreksi Pengadilan Tinggi.
BACA BERITA TERKAIT:
- PN Jakarta Pusat Kabulkan Gugatan, Ketua DPP PRIMA: Kebenaran Telah Menemukan Jalannya
- Mahfud MD: Vonis PN Jakarta Pusat Harus Dilawan Secara Hukum
- Ini Alasan DPP PRIMA Gugat KPU dan Menang di PN Jakarta Pusat
Selain itu, Komisi Yudisial perlu memeriksa majelis hakim yang memutus perkara Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst. PSHK FH UII juga meminta Badan Pengawasan Mahkamah Agung agar mengawasi dan memperingatkan hakim-hakim di lingkungan Mahkamah Agung agar taat kompetensi absolut dan relatif.
“Kepada Presiden agar mengawal Pemilu sesuai amanat konstitusi yakni dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Sementara kepada masyarakat umum terus memantau dan mengawal Pemilu agar tetap dilaksanakan pada tahun 2024 sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan,” kata Yuniar Riza Hakiki.
Seperti diberitakan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) membacakan Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst tentang perkara gugatan dari Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) yang intinya gugatan perbuatan melawan hukum (PMH).
Dalam putusan itu, PN Jakarta Pusat mengabulkan permohonan Partai Prima sebagai pihak yang dirugikan, menyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan PMH dan menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilihan umum 2024 selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan atau mengulang tahapan dari awal.
Menurut Yuniar Riza Hakiki, tidak ada sama sekali mekanisme penundaan pemilu dalam konstitusi dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Menurut UU Pemilu, yang ada hanya penundaan pemungutan suara dan hanya bisa dilakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia atau secara nasional.
Sehingga pelaksanaan Pemilu setiap 5 tahun harus tetap dilaksanakan sesuai dengan yang telah ditetapkan yakni pada tahun 2024. Hal ini sejalan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945: Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (lip)
There is no ads to display, Please add some