BKS PTIS Mendesak Pemerintah untuk Menempatkan Hukum sebagai Panglima

beritabernas.com – Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam se-Indonesia (BKSPTIS) mendesak pemerintah untuk menempatkan hukum sebagai panglima. Untuk itu, pemerintah wajib tunduk pada semangat negara hukum (rule of law/rechtsstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat).

Selain itu, BKS PTIS mendorong pemerintah untuk mengembalikan kedaulatan rakyat dengan mendasarkan setiap kebijakan pada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan dan kemauan kelompok elit atau oligarki tertentu.

Demikian antara lain seruan moral BKS PTIS untuk menyelamatkan demokrasi dan menegakkan daulat rakyat yang dikeluarkan pada Selasa 6 Pebruari 2024.

Dalam seruan moral yang ditandatangani Ketua Umum BKS PTIS Prof Fathul Wahid ST MSc PhD dan Sekretaris Umum Prof Dr H Syafrinaldi SH MCL, tertanggal 6 Pebruari 2024, BKS PTIS juga menuntut pemerintah untuk menegakkan etika kebangsaan dengan mewujudkan netralitas dalam pelaksanaan pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan mekanisme lima tahunan untuk menghormati kedaulatan rakyat. Kemudian, menyelenggarakannya dengan adil adalah tuntutan konstitusi dan demokrasi.

Prof Fathul Wahid terpilih sebagai Ketua Umum BKS PTIS. Foto: Humas UII

BKS PTIS juga menyeru penyelenggara pemilihan umum untuk bekerja secara profesional dan berintegritas, sehingga menghasilkan pemimpin yang absah dan dapat dipercaya. Kemudian, mengajak semua elemen bangsa untuk bersama-sama berjuang melawan segala upaya pendangkalan demokrasi, sebagai ikhtiar merawat cita-cita kemerdekaan.

“Kami juga megimbau semua anggota BKSPTIS untuk mendorong civitas academica menggunakan hak suaranya untuk memilih pemimpin yang terbaik, beretika, taat hukum, memiliki rekam jejak yang bersih, sesuai dengan nurani dan tanpa terpengaruh tekanan dari pihak manapun,” demikian poin terakhir seruan moral BKS PTIS yang diterima beritabernas.com, Selasa 6 Pebruari 2024.

Demokrasi mundur

Dalam seruan moral itu, BKS PTIS menilai demokratisasi yang telah berumur dua dekade seharusnya menjadi dewasa. Namun, dalam praktik justru sebaliknya, mundur dan mengarah pada otoritarianisme baru.

BACA JUGA:

Mekanisme check and balances yang berfungsi membatasi kekuasaan kini cenderung melemah dan terpusat pada kelompok tertentu. Lembaga legislatif tak berdaya melakukan pengawasan. Lembaga yudikatif, khususnya Mahkamah Konstitusi, menundukkan diri kepada penguasa dengan membuka ruang partisipasi calon presiden dan wakil presiden secara melawan hukum dan etika.

Puncaknya, lembaga eksekutif menjadi adidaya. Dampaknya, kedaulatan rakyat perlahan sirna. Demokrasi dibajak, hanya menjadi dekorasi dalam narasi, dan mulai kehilangan substansi. Oligarki semakin mewujud
nyata dan menghalalkan segala cara untuk mengangkangi kekuasaan negara.

Karena itu, menurut BKS PTIS, untuk merespons masalah tersebut para intelektual kampus mulai melantangkan suara untuk menyelamatkan demokrasi dan mengembalikan kedaulatan rakyat. Kaum intelektual menggunakan otoritas profetiknya, melakukan amar ma’ruf dan nahy mungkar serta berdiri menyuarakan kepentingan rakyat dan bangsanya. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *