Hadirkan Prof Sarwidi, BPBD Kabupaten Bantul Gelar Refleksi 18 Tahun Gempa Bumi 2006

beritabernas.com – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bantul akan mengadakan acara Refleksi 18 Tahun Gempa Bumi Tahun 2006 di Aula Kompleks Pemda II Manding, Bantul, DIY, Senin  27 Mei 2024.

Selain melibatkan unsur penta-helix, yaitu unsur-unsur dari pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi dan media massa, acara Refleksi 18 Tahun Bencana Gempa Bumi 27 Mei 2006 yang memakan korban jiwa 5.000 orang itu juga menghadirkan Prof Ir H Sarwidi MSCE PhD IP-U, guru besar/profesor senior ahli rekayasa kegempaan UII yang juga anggota aktif Simpul Pemberdayaan Masyarakat untuk Ketangguhan Bencana (SPMKB) UII dan sebagai Pengarah BNPB RI.

Dalam acara Refleksi 18 Tahun Bencana Gempa Bumi 27 Mei 2006, Prof Ir H Sarwidi MSCE PhD IP-U, akan menjadi salah satu narasumber dengan topik Rekayasa Struktural untuk Mitigasi Bencana Gempa Bumi. Prof Sarwidi merupakan salah satu pegiat penanggulangan bencana yang secara intensif melakukan kegiatan mitigasi bencana sejak antisipasi sebelum, saat dan setelah bencana gempa bumi 2006 tersebut bersama dengan kolega dari UII, universitas lain, dan para mitra pakar dari Jepang.

Prof Ir H Sarwidi MSCE PhD IP-U. Foto: Dok pribadi

Dengan menerapkan penanggulangan bencana secara sistemik dan integratif, Prof Sarwidi berharap bahwa risiko bencana gempabumi dan bencana lainnya mendatang akan semakin berkurang.

Menurut Prof Sarwidi, peristiwa bencana alam gempa bumi 2006 selain telah menimbulkan penderitaan yang dalam juga menjadi momentum istimewa karena meninggalkan banyak pelajaran yang berharga untuk mencegah atau mengurangi dampak peristiwa bencana gempa mendatang.

Dikatakan, dengan pemberitaan yang luas tentang bencana tersebut, banyak masyarakat menjadi sadar bahwa gempa tidak datang menunggu masyarakat siap, namun masyarakat yang harus mengantisipasi dan menyiapkan diri akan kedatangan gempa yang terjadi secara mendadak. Selain itu, masyarakat menjadi memahami bahwa gempa tidak membunuh, tetapi bangunanlah yang membunuh karena runtuh.

Menurut Prof Sarwidi, peristiwa tersebut menjadi salah salah satu pemicu percepatan lahirnya UU RI Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana di Indonesia. Selain itu, peristiwa tersebut juga tidak hanya menjadi perhatian nasional tetapi perhatian dunia. Hal ini terlihat dengan hadirnya lembaga-lembaga internasional yang berpartisipasi dalam penanganan bencana tersebut.

Model pemulihan pasca bencana gempa tersebut, menurut Prof Sarwidi, dinilai sangat berhasil dengan proses yang cukup cepat oleh komunitas nasional maupun komunitas internasional. Salah satu sebabnya adalah keunikan budaya masyarakat yang sangat guyup rukun bergotong royong bersinergi dengan pemerintah dan unsur-unsur penta-helix lainnya.

Peristiwa tersebut juga mempercepat masyarakat peduli bencana dan pemerintah berinovasi melahirkan forum penanggulangan bencana (FPRB) di DIY. Model FPRB tersebut kemudian diikuti oleh wilayah-wilayah lain, sejak dari tingkatan dusun, kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota dan provinsi. Bahkan FPRB DIY dinilai sangat berperan dalam penanganan bencana erupsi Gunung Merapi dahsyat 2010, baik sebelum, saat, hingga pasca bencana.

BACA JUGA:

Menurut Prof Sarwidi, berbeda dengan bencana di wilayah manapun pada masa itu yang ditangani setelah kejadian bencana, bencana gempa 2006 sudah diantisipasi oleh sebagian masyarakat sejak sebelum kejadian karena sudah ada kegiatan cukup intensif pada masa pra bencana, yaitu sebagian masyarakat konstruksi sudah mempelajari cara membangun rumah yang tahan gempa dan telah menerapkan di lapangan.

Hasilnya adalah banyak bangunan rumah yang mereka dirikan yang berada di dekat pusat gempa hanya mengalami kerusakan kecil di antara bangunan rumah yang rusak berat atau roboh di sekelilingnya. Kelompok masyarakat konstruksi yang terlatih tersebut kemudian mendirikan Paman Bataga (Paguyuban Mandor Bangunan Tahan Gempa) dan bangunan rumah yang mereka bangun menggunakan konsep BARRATAGA (Bangunan Rumah Rakyat Tahan Gempa).

Untuk mendokumentasikan peristiwa tersebut, pemerintah telah membangun beberapa monumen atau tetenger untuk pengingatan akan pelajaran berharga yang telah diperoleh dari bencana tersebut. Selain itu, masyarakat telah bahu membahu mendirikan Museum Gempa Prof Dr Sarwidi sebagai wadah pendokumentasian pelajaran berharga yang diperoleh tersebut dan sekaligus menjadi ajang wisata edukasi kegempaan dan kebencanaan (WEGB) bagi semua lapisan masyarakat, sejak dari pengunjung PAUD, SD, SMP, SMU, mahasiswa, maupun masyarakat umum.

Seperti diketahui, pada hari Sabtu 27 Mei 2006 pukul 05.53 WIB pagi, terjadi gempa bumi berukuran 5,9 yang bersumber dari dinamika tektonik Sesar Opak. Guncangan gempa utama yang berlangsung kurang dari satu menit ini telah menyebabkan bencana yang besar.

Bencana ini telah mengakibatkan lebih dari 5.000 korban jiwa dan puluhan ribu lainnya luka-luka serta lebih dari 240 ribu bangunan rusak dan roboh di wilayah DIY dan Jateng dengan kerugian materiil diperkirakan lebih dari Rp 29 triliun. Kabupaten Bantul merupakan wilayah yang menderita paling parah akibat bencana tersebut. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *