Jebakan Kuasa Laki-laki

Oleh: Ben Senang Galus

beritabernas.com – Ketika kita mendiskusikan subyek perempuan, pertanyaan negatif selalu muncul, mengapa perempuan kian terpuruk di republik tercinta ini? Pertanyaan ini mengemuka, sebab banyak perempuan menjadi “korban”, sekurang-kurangnya karena kemungkinan 4 hal sebagai penyebabnya.

Pertama, faktor kebijakan.Kondisi perempuan masih cukup memperihatinkan. Artinya banyak kebijakan negara (pemerintah) yang tidak responsif perempuan. Misalnya dalam sektor pendidikan, perempuan juga terpinggirkan.

Menurut data BPS (2024), 54 persen perempuan Indonesia hanya tamatan SD ke bawah, 19 persen tamatan SLTP, 27 persen tamatan SLTA, 4,8 persen tamatan perguruan tinggi dari penduduk usia 10-45 tahun ke atas. Angka buta huruf perempuan lebih tinggi dari laki-laki, yakni 3.816.681 perempuan dan 2.138.781 laki-laki. Sementara angka partisipasi di SLTP, perempuan 87,07 persen, laki-laki 89 persen, dan SLTA, perempuan 61 persen, sedangkan laki-laki 68 persen. Di perguruan tinggi angka partisipasi perempuan 9,46 persen, laki-laki 11,32 persen

Kedua, faktor ekonomi. Perempuan menjadi korban dari setiap perubahan kebijakan ekonomi. Keterpurukan ekonomi telah membawa perempuan dalam perjuangan untuk terus menghidupi keluarga. Saat ini angka partisipasi angkatan kerja perempuan hanya 51 persen, jauh di bawah laki-laki yang mencapai 86 persen. Sebagian besar perempuan bekerja di sektor informal, sementara laki kebanyakan bekerja di sektor publik. Dalam pengupahan, laki-laki menerima upah 100 persen, sementara perempuan hanya 60 persen.

Ketiga, perdagangan perempuan. Indonesia justru mendapat stempel dunia internasional sebagai salah satu negara terburuk dalam menangani perdagangan perempuan. Betapa tidak, jumlah perempuan dan anak yang diperdagangkan mencapai 800 ribu hingga satu juta orang per tahun (Global Watch Against Child Labour, 2024).

BACA JUGA:

Kondisi di atas menunjukkan bahwa posisi perempuan kurang diperhatikan bahkan sering terpinggirkan. Kondisi ini tentu saja mendudukan posisi perempuan Indonesia demikian memprihatinkan. Padahal di masa krisis, perempuan telah memberikan kontribusi besar melalui usaha kecil, menengah dan sektor informal. Walau kontribusinya besar, perhatian untuk mereka tetap saja terbatas. Alhasil, wajah perempuan Indonesia dewasa ini masih suram.

Keempat, faktor budaya. Dalam hal ini budaya patriarki mempunyai andil yang besar dan memengaruhi pandangan masyarakat terhadap perempuan. Dalam sistem budaya patriarki-sistem budaya yang berkembang dalam budaya Ibrani, Yunani, Romawi, Hindu, dan China-di mana dalam keluarga patriarki semua orang yang ada hubungan darah berada di bawah kekuasaan laki-laki (bapak). Posisi superior ini mendominasi kehidupan sebagian keluarga kita di Tanah Air, bahkan sulit dihilangkan.

Di Indonesia budaya patriarki mendominasi aspek kehidupan kemanusiaan perempuan. Di sinilah muncul ketimpangan gender dalam seluruh kehidupan yang menampakkan wajah perempuan yang suram. Sebagai contoh, belis terutama masyarakat luar Jawa menghargai perempuan, ditafsirkan sebagai membeli perempuan, karena dengan tafsiran itu perempuan dipaksakan menerima posisi inferiornya dalam perkawinan. 

Budaya patriarki menempatkan pria sebagai kepala keluarga. Kemudian dalam konteks sosial yang lebih luas lagi, budaya patriarki dikaitkan dengan segala aspek yang menjadikan pria memiliki kekuasaan lebih besar dari wanita, baik dalam ekonomi maupun politik. Oleh karena itu hal utama yang dilakukan adalah merombak struktur patriarki menjadi struktur yang lebih egaliter (gender). Hal ini dianggap penting agar wanita mendapat kedudukan yang sejajar dengan laki-laki.

Jebakan kuasa laki-laki

Di tengah himpitan kultur patriarki yang menindas, gerakan feminisme bangkit dalam berbagai aliran memperjuangkan nasib perempuan, untuk melawan jebakan kuasa laki-laki, bisa kita klasifikasikan menjadi beberapa hal.

Pertama, aliran ekstrim revolusioner. Kelompok ini menerima  gerakan feminisme barat secara utuh dan radikal. Melihat laki-laki sebagai musuh yang harus ditaklukkan. Misi perjuangan kelompok ini penuh dengan muatan emosional, balas dendam dan bermaksud membalikkan semua tatanan kehidupan domestik rumah tangga sampai pada ruang publik secara revolusioner harus dikuasai perempuan. Kelompok ini menganut aliran bebas nilai termasuk bebas memilih aliran seksual sesama jenis, maupun beda jenis kelamin sesuai selera.

Karena itu, kemudian cenderung melakukan kekerasan terhadap laki-laki. Memperlakukan suami sebagai orang yang harus ditaklukkan, diatur, ditundukkan dalam posisi tidak berdaya, sementara si istri semena-mena terhadap suami. Kelompok ini biasanya anti poligami. Menganggap semua aturan moral adalah pemasung hak, meski menimbulkan kurang nyaman bagi orang lain.

Kedua, aliran moderat reformis. Kelompok ini menganut gerakan feminisme moderat. Melihat laki-laki bukan sebagai laki-laki yang harus ditaklukkan, melainkan mitra sejajar saling menguntungkan. Kelompok ini mengedepankan cara-cara persuasif. Pada tataran domestik rumah tangga, aliran ini memperjuangkan kesetaraan hak dan kewajiban. Dalam ruang publik lebih mengedepankan perjuangan setara  dengan laki laki tanpa membedakan identitas dan kepentingan.

Dalam soal moral, kelompok ini menganut memperjuangkan HAM yang setara. Mereka tidak menganut bebas nilai atau bebas memilih aliran seksual. Kelompok ini setuju dengan poligami. Dalam dunia publik lebih mengedepankan job description and profesionalisme tanpa mendiskreditkan bawahan atau karyawan laki-laki.

BACA JUGA TULISAN LAINNYA:

Munculnya berbagai gerakan perempuan dalam berbagai aliran tersebut, menegaskan bahwa  perempuan ingin memposisikan dirinya setara dengan laki-laki, baik dalam posisi sosial maupun politik, tetapi sekaligus juga sebuah tantangan baru bagi kaum perempuan untuk semakin maju, lebih berani dan terbuka terhadap dunia luar. 

Dari gambaran di atas, kita melihat beragamnya problematika yang dihadapi oleh perempuan. Jika kita tinjau lebih jauh, semua problematika perempuan tidak bisa kita lepaskan dari problematika manusia seluruhnya. Sebagai contoh, problem kemiskinan yang dihadapi, juga dihadapi oleh rumah tangga dengan kepala keluarga pria.

Iklim ekonomi global yang tak menentu, utang, program penyesuaian struktur serta kondisi politik yang tak stabil membuat negara kita hidup dalam kemiskinan, dan perempuan juga terkena beban kemiskinan ini. Kemiskinan dapat menciptakan disparitas yang makin lebar dalam pembangunan ekonomi, akses kepada pasar, teknologi dan sistem harga yang lebih adil dalam model pembangunan yang ditawarkan Bank Dunia dan IMF, telah membuat banyak Negara dan manusia terjungkal dalam kemiskinan.

Perempuan dan struktur patriarki

Feminisme sesungguhnya merindukan agar perempuan-perempuan Indonesia berada sebagai pribadi yang bebas dan otonom serta mampu mewujudkan diri sesuai dengan potensi dan basis pelbagai gerakan perempuan yang merebak akhir-akhir ini di Indonesia. Gerakan feminisme  menurut Anne Hommes (1992), dimaksudkan untuk mengeritik struktur patriarki yang ada dalam masyarakat dan menciptakan suatu struktur masyarakat yang lebih adil. 

Hal ini mengandaikan ada perubahan cara pandang atas peran yang semestinya diemban oleh masing-masing pihak sesuai dengan kemampuan atau kualitas yang dimiliki. Feminisme menurut Anne Hommes, tidak hanya berarti pembebasan dari macam-macam stereotip peranan laki-laki dan perempuan, tetapi juga pembebasan untuk menjadi manusia yang utuh (sebagai laki-laki atau sebagai perempuan) melalui perubahan struktur masyarakat yang menindas maupun sikap individu.

Perjuangan, atau tepatnya pembebasan untuk menjadi manusia yang utuh ini telah mendapat signal yang positif ketika eksistensi perempuan diakui sebagai manusia bermartabat dan sederajad dengan laki-laki. Feminisme yang berarti membebaskan atau melepaskan, bertujuan mengangkat kaum perempuan yang dulunya terbelakang menjadi sederajad dengan laki-laki.

Namun kesadaran akan kesamaan derajad melawan struktur patriarki yang menindas belum sepenuhnya membuat seorang perempuan menjadi dirinya sendiri sebagai manusia yang utuh. Keutuhan menjadi signifikan ketika perempuan berani melepaskan kualitas-kualitas maskulin yang telah diadopsinya dan mengangkat serta mewujudkan feminitas sebagai miliknya yang natural, alami (kodrati) dalam tiap bidang kehidupan yang diemban, termasuk dalam sektor-sektor publik.

Karena itu, Francoise dEaubonne, seorang penulis kawakan Perancis, mengatakan secara tegas bahwa pada masa sekarang perempuan-perempuan perlu membangun gerakan ekofemisme (ecologi/alam dan feminisme). Sebuah gerakan reidentifikasi perempuan dengan nature, yang bertujuan membangkitkan kepedulian terhadap natura perempuan serta memberdayakan potensi-potensi atau kualitas-kualitas yang dimiliki perempuan agar eksis di tengah kebudayaan atau masyarakat tertentu.

Dalam batas ini, ekofemisme pada dasarnya mensinyalir eksistensi perempuan yang sesungguhnya, yang membawa dalam dirinya feminitas atau daya-daya kodrati (alami). Perempuan yang sesungguhnya, dalam perspektif  ekofeminisme, adalah perempuan yang tidak mengasingkan diri atau lari dari naturanya ketika terjun menjalankan perannya, sekalipun dalam sektor publik. Perempuan yang sesungguhnya adalah perempuan yang hidup dan berjuang dengan feminitas, dengan kualitas-kualitas feminisme yang dimilikinya.

Melalui gerakan ekofeminisme ini, perempuan dapat melestarikan kualitas-kualitas disatu pihak dan dilain pihak bisa mengimbangi dominasi sistem maskulin yang sudah demikian kuat dalam kebudayaan atau masyarakat.

Dengan pengimbangan itu perempuan dalam perannya baik di sektor domestik maupun publik tidak merasa terhimpit oleh kekuatan maskulin tertentu, melainkan memiliki kans dalam mengaktualisasikan pemeliharaan, cinta, sensivitas tertentu, perempuan mewujudkan eksistensinya, sekalipun dalam banyak hal harus berada  di dunia maskulin. Inilah sebuah jalan etis mengembalikan wajah perempuan dari wajah suram menuju wajah terang egaliter yang sederajad.

Perwujudan feminitas (bukan maskulinitas) di tengah perangkap atau masyarakat kita yang masih bercorak patriarki perlu menjadi suatu agenda reformasi bagi perempuan dewasa ini, tanpa harus takut dalam jebakan kultur patriarki.

Menguatnya budaya patriarki menunjukkan  sruktur sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kuasa tak hanya menindas perempuan dan menjadikannya sebagai objek, tapi juga menekan kesehatan mental laki-laki. Oleh karena itu sudah saatnya perempuan melakukan gerakkan masif melawan penindasan jebakan kuasa laki-laki melalui pendidikan. Dengan pendidikan membongkar segala bentuk penidasan terhadap perempuan. (Ben Senang Galus, penulis buku Pemikiran Ekonomi, dari Klasik sampai Era Revolusi Industri 4.0,  tinggal di Yogyakarta)


There is no ads to display, Please add some