Oleh: Ali Mansur Monesa
beritabernas.com – Bangsa Indonesia telah melahirkan banyak tokoh bangsa melalui pendidikan. Pendidikan diyakini sebagai sarana memajukan anak bangsa. Dengan kata lain, baik buruknya sebuah bangsa sangat tergantung kepada pendidikan bangsa tersebut terebut.
Banyak tokoh bangsa ini lahir dari pendidikan yang baik. Sebut saja beberapa nama, Soekarno, Hatta, Hamka, Moh. Natsir, Tan Malaka. Bahkan jauh sebelumnya seperti tokoh-tokoh Syarekat Islam, H Saman Hudi, AM Ssangaji, H Agus salim dan lalin-lain.
Mereka semua lahir dari sistem pendidikan yang baik sekaligus lahir dari sistem pendidikan kritis. Pikiran-pikiran mereka menjadi spirit kemajuan pendidikan di tanah air saat ini. Mereka hadir menunjukkan kesadaran bahwa negeri ini mempunyai kemampuan yang sama dengan negara-negara maju lainnya.
Untuk menjiwai dan melanjutkan pikiran-pikiran para tokoh terdahulu sebagai pijakan mencinta bangsa melalui sistem pendidikan sebagai habitat penting untuk proses penyadaran secara kolektif. Karena itu pendidikanlah satu-satunya jalan untuk keberlangsungan penanaman spirit patriotik atau semangat nasionalisme.
Kritisisme dalam filsafat memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Imanuel Kant adalah filosof pertama yang mengusahakan penyelidikan problem pendidikan. Dari Kant pula kita bisa belajar untuk melihat perjalanan panjang bangsa dan menyelidiki keterbatasan serta melacak problem pendidikan saat ini dengan yang terjadi di masa lalu.
Menurut UU Nomor 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dan kreatif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia.
Pendidikan sebagai alat kritisisme. Oleh karenanya pendidikan tidak sekadar tranformasi ilmu pengetahuan, tapi lebih sebagai proses hominisasi dan humanisasi. Kedua istilah ini mengandung makna, memanusiakan manusia muda mengarahkan pada proses kesadaran untuk memanusiakan manusia.
Perbedaannya, Hominisasi adalah proses pemanusiaan yang pada umumnya, dengan pengertian luasnya penjadian manusia, terjadi dari lahir hingga akhir hidupnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia sejak lahir sudah menjadi manusia, namun dipandang secara biologis. Sementara Humanisasi adalah proses pemanusiawian manusia. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya, seperti binatang ataupun tumbuhan. Manusia tidak akan sampai pada fase ‘ke-manusiawi-an-nya’ tanpa pendidikan ( Ben Senang Galus, 2023).
Karena itu fungsi pendidikan ialah untuk mengembangkan kemampuan, membentuk watak, kepribadian, agar peserta didik menjadi pribadi yang bermartabat dan bertanggungjawab atas kemanusiannya.
BACA JUGA:
- Siswa Sebagai Subjek Filsafat Pendidikan Progresif
- Signifikansi Filsafat dalam Pendidikan
- Filsafat Sebagai Titik Tolak Mahasiswa Menjadi Cendekiawan Kritis
Merenangi lautan sejarah untuk menata masa depan negeri ini, tentunya bangsa ini memiliki sejarah yang kuat akan kritisisme dan jiwa-jiwa cendikiawan serta nasionalis tangguh hingga mampu bertahan merebut kemerdekaan, tentu hal ini memerlukan kesadaran bersama serta menjadi tanggunjawab kolektif terutama para petinggi negara dan para para cendekiawan kampus.
Kemewahan para pemikir bangsa meninggalkan memori budaya kritisisme lewat tulisan pada buku-buku, agar budaya kritisisme harus tetap hidup menjadi obat bagi pikiran, yang saat ini mulai pudar perlahan lembaga akademis serta orientasi pendidikan mulai kehilangan arah dalam metode maupun regulasi.
Dari sekian problematika di atas melalahirkan beberapa pertanyaan kritis, pertama, dari manakah kita memulainya? Menjawab pertanyaan ini tidak ada cara lain selain, meminjam Ben Senang Galus (beritabernas.com, 2019) kita memulai dengan revolution of mind. Revolution of mind hanya lahir dari kampus-kampus di mana sistem pendidikannya mendorong mahasiswa menjadi kaum intelektual organik, intelektual hibridisasi, intelektual kritis profetis.
Memang antagonistis, di satu pihak masih ada kampus yang menjalankan fungsinya tidak lebih sekadar student breeding (peternakan mahasiswa), panti asuhan, panti jompo. Karenanya out put-nya menjadi intelektual hidroponik. Intelektual hidroponik adalah intelektual yang pengetahuannya tidak mengakar, kultur akademik di kampus sengaja tidak dikembangkan, karena memang kampus kehilangan semangat, mahasiswa cenderung menjadi pemulung ilmu pengetahuan (Scientist Scalpers).
Kedua, siapakah yang bertanggun jawab? Menjawab pertanyaan ini, pemerintah yang bertugas dan terkhususnya Kementerian Pendidikan Riset dan Teknologi serta sivitias akademika, terutama dalam hal membangun kesadaran kolektif untuk menjawab tuntutan peradaban serta menjalankan amanat konstitusi.
Sebagaiama disebut dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, fungsi Pendidikan Tinggi, antar lain disebutkan: menjamin berkembangnya civitas akademika yang inovatif, responsif, kreatif, berbudi luhur berdaya saing, serta kooperatif sesuai pelaksanaan Tridharma PT serta mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan menerapkan nilai humaniora.
Sementara tujuan Pendidikan Tinggi adalah mengenbangkan potensi mahasiswa agar menjadi manusia merdeka yang beriman dan bertagwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi dan berakhlak mulia, berilmu, kreatif, kompoten, serta mencintai budaya untuk kepentingan bangsa serta menjamin tamatannya menjiwai Pancasila, menguasai Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa.
Ketiga, bagaimanakah kita memulainya? Gerald Holton dalam Dick Hartoko (1981) secara tegas menyatakan, kebesaran sebuah perguruan tinggi (PT) tidaklah ditentukan oleh lancar dan tertibnya seluruh peraturan akademis dan proses perkuliahan, akan tetapi sejauhmana seluruh warga kampus itu, menegakkan dan menjunjung tinggi kultur akademis, yang ditandai oleh semangat ilmiah.
Ketidakberdayaan PT dalam mengembangkan kultur akademik sama artinya PT sedang melakukan suatu proses pauperisasi atau proses pemiskinan intelektual. Proses pauperisasi ini pada akhirnya akan melahirkan sarjana-sarjana serba tanggung, yaitu sarjana-sarjana serba terbatas kapasitas keilmuan dan keterampilannya (Ben Senang Galus, 2020).
Hal ini bisa disebabkan oleh sejumah hal berikut. Pertama, budaya ketergantungan intelektual yang tinggi. Kedua, inner dynamic yang lemah. Ketiga, belajar dengan moral minimalis. Keempat, kebiasaan melecehkan waktu, Kelima, minat baca dan tulis masih rendah. Keenam, sosialisasi diri masih rendah.
Sangat Tumpul
Untuk mengembalikan budaya ketergantungan tersebut di atas, para pendidik, mengembangkan pathos dan ethos. Perlunya sikap keseriusan dalam mendidik menjunjung tinggi nilai-nilai akademik sesuai amanat konstitusi, bukan sekadar rutinitas pragmatis.
Ben Senang Galus dengan nada cukup keras mengatakan, banyak mahasiswa ataupun dosen di PT saat ini sedang menjauhi kehidupan kampus yang dicita-citakannya dan dicita-citakan oleh sebuah PT pada umumnya.
Kampus atau PT yang semestinya menampilkan etos dan semangat ilmiah, justru begitu tumpul di PT. Kultur akademik yang semestinya bertumbuh subur, namun justru tertimpa kemarau panjang atau dalam ungkapan lain mahasiswa kita sedang mengalami krisis kemampuan berpikir. Ditambah kurangnya toleransi pikiran sebagai kewajiban kultur akademik sehingga pembelajaran secara instan ini adalah salah satu gerakan ilmu-ilmu pengetahuan.
Itulah sebabnya, perlunya pendekatan kritisisme dalam filsafat pendidikan atau pengajaran, untuk merekonstruksi praktek regulasi dan pola pembelajaran yang elalau menekankan trasfer of knowledge. Dengan sentuhan filsafat dalam proses pendidikan atau pengajaran lebih mengakar.
Kesadaran Mendidik
Keutamaan pendidikan ialah proses humanisasi melalui penanaman melalui kegiatan interaksi subjek dengan subjek, komunikasi dua arah atau disebut dialektika, menjadi hukum transfomasi edukasi sesuai motode tanpa meniadakan kultur akademik yakni proses belajar mengajar, manusia bisa menjadi guru untuk dirinya sendiri dan menjadi guri untuk ornang lain (KH Ahmad Dahlam).
Bangsa majemuk, berbudaya harus menjaga keteladanan dan toleransi dalam kehidupan masyarakat sebagai warga negara, maka pendidikan sebagai sarana urgen untuk menanamkan budi pekerti, malahirkan generasi kompoten kreatif inovatif sesuai amanat konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.
Pendidikan melahirkan individu merdeka, cinta budaya, berjiwa nasionalis hanya bisa tercapai melalu mutu pendidikan serta pelayanan yang baik. Oleh sebab itu tata kelola pendidikan di Indonesia tidak dapat tidak harus mendasarkan diri pada basis-basis kebudayaan (enculturation), sehingga pada akhirnya anak didik kita tidak tercerabut dari akar budayanya atau tidak saja pintar, akan tetapi memiliki emosi dan haus akan nilai human.
Semua itu tidak melupakan karakter Indonesia sebagai pembentuk tata laku dan kepribadiannya sebagai generasi muda harus akrab dengan budaya dan untuk merangkum semua itu, dan tidak kehilangan karakter.
Pendidikan yang baik menghasilkan manusia berbudi luhur yang cerdas dan mulia serta bertanggung jawab, berkualitas, penalaran kritis, serta moralitas penuh ketulusan dan terpuji. Namun ironis jika proses pendidikan yang semestinya penuh dengan ajaran moral dan nilai sosial yang luhur harus dicederai dengan kebijakan ataupun implementasi program pendidikan yang kurang berkeadilan dan berkeadaban.
Sementara itu, mungkin masih ada tindakan ataupun sikap tidak terpuji oknum insan pendidikan dan pengajaran yang tidak mencerminkan keluhuran budi pekerti. Salah satunya adalah tindakan komersialisasi pendidikan secara berlebihan sebagai bisnis yang menjanjikan, sering meninggalkan atau mengabaikan tanggung jawab dan nilai moral.
Budaya akademis dan kesadaran kolektif hanya dapat terselenggararakan dengan baik, apabila sivitas akademik terkhususnya pendidik serius membumikan kultur akademis, dengan cara kebebesan argumentasi sebagai pikiran alternatif dan ruang kelas simposium, toleransi terhadap setiap pikiran kebebasan literasi sebagai wacana intelektual yang pegan teguh pada nilai-nilai Tridarma Perguruan Tinggi. Inilah sebagai conditio sine quanon,dalam mengkrtitis pendidikan di Tanah Air. (Ali Mansur Monesa, Mahasiswa UPY, Yogykarta)
There is no ads to display, Please add some