Oleh : John Patrick Buan, Pyar Nuras Lamanau, Andreas Chandra,Maria Veronika,Yohanes Kafisa, Mahasiswa asal Ketapang
beritabernas.com – Media sosial, sebuah istilah yang sudah sangat akrab di telinga kita,bukan lagi hal baru dalam dunia berbasis teknologi. Platform seperti TikTok, Instagram dan Facebook seolah telah menjadi “makanan harian” yang setidaknya kita konsumsi sekali sehari.
Penggunaan media sosial kini telah menjelma menjadi kebutuhan pokok, terutama untuk mengakses berbagai informasi yang tersedia dengan mudah dan cepat. Akses yang praktis inilah yang membuat masyarakat, termasuk di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, lebih memilih media sosial sebagai sumber utama informasi. Tanpa kita sadari, kehidupan kita pun semakin bergantung pada aliran informasi digital yang terus mengalir tanpa henti.
Namun, di balik segala kemudahan yang ditawarkan, terdapat kenyataan pahit yakin banjirnya informasi digital di media sosial tidak diiringi dengan peningkatan kemampuan literasi yang memadai. Tidak semua pengguna, termasuk di Kabupaten Ketapang, memiliki keterampilan literasi digital yang cukup. Berbagai media digital di Ketapang memang menawarkan beragam informasi menarik untuk dijadikan bahan diskusi di kolom komentar, tetapi sayangnya tidak semua informasi tersebut dipahami secara kritis.
Banyak pengguna menerima informasi secara mentah dan mempercayai apa pun yang tampak meyakinkan tanpa melakukan verifikasi. Akibatnya, opini-opini yang beredar lebih banyak bersandar pada persepsi dangkal ketimbang hasil analisis kritis, memperkuat polarisasi dan memperkeruh ruang diskusi publik.
BACA JUGA:
- Menjangkau yang Belum Sempat Terjangkau, Perlahan Mengejar Ketertinggalan
- Pendidikan di Pedalaman Ketapang Perlu Mendapat Perhatian Serius dari Pemerintah
- Generasi Rentan, Masa Depan Ketapang Hilang
Jika kondisi ini terus dibiarkan, lambat laun media sosial akan kehilangan fungsi idealnya sebagai ruang pertukaran gagasan yang sehat. Alih-alih menjadi medium berbagi ide dan memperluas perspektif, media sosial justru berpotensi menjadi arena perpecahan, dipenuhi opini-opini dangkal dan penuh prasangka. Opini yang seharusnya membangun kesadaran kritis, memperluas wawasan, dan mengasah kemampuan berpikir analitis, kini kerap berubah menjadi ajang saling serang tanpa dasar yang kuat.
Jika berkaca dari aktivitas di kolom komentar media digital di Ketapang, tampak jelas minimnya tingkat literasi digital. Dalam masyarakat yang minim literasi, kebenaran menjadi relatif; bukan lagi ditentukan berdasarkan fakta dan logika, melainkan oleh siapa yang paling lantang atau paling viral.
Fenomena ini jelas mengancam kualitas ruang publik. Tanpa fondasi literasi yang kokoh, masyarakat mudah terombang-ambing oleh opini liar dan narasi yang menyesatkan. Karena itu, membangun budaya literasi digital harus menjadi tugas bersama-bukan hanya tanggung jawab individu, melainkan juga lembaga pendidikan, komunitas, media, dan pemerintah, khususnya di Kabupaten Ketapang.
Semua pihak harus berperan aktif dalam menanamkan pentingnya berpikir kritis, memverifikasi informasi, serta menyampaikan opini yang berbobot. Literasi bukan sekadar keterampilan tambahan di era digital, melainkan kebutuhan mendasar untuk menjaga “kewarasan berpikir” masyarakat dan memastikan setiap opini yang lahir benar-benar memiliki nilai, kontribusi, serta makna yang berdampak positif, khususnya bagi masyarakat Kabupaten Ketapang. (*)
.
There is no ads to display, Please add some