Pekan Dewantara 2023, Membangun Inklusivitas agar Tidak Terjadi Diskriminasi

beritabernas.com – Rangkaian kegiatan Pekan Dewantara 2023 telah dimulai yang diawali dengan kegiatan Banyu Segara di Pendopo Tamansiswa Yogyakarta pada 28 Oktober 2023. Kegiatan yang bekerja sama dengan Indorelawan berteman Peacebuilding dan Inklusivitas dengan talkshow ini untuk menciptakan ruang dialog dan ekspresi bagi teman-teman difabel.

Selain itu, Banyu Segara yang menghadirkan sejumlah narasumber ini untuk memberikan edukasi dan pemahaman kepada teman-teman non-difabel mengenai kebutuhan dan hak-hak para difabel.

“Banyu Segara untuk membangun inklusivitas di setiap lapisan masyarakat agar tidak terjadi diskriminasi. Selain itu untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan yang setara bagi semua kalangan, bahkan kalangan yang memiliki keterbatasan,” kata Endah Mutia, Humas Pekan Dewantar 2023, kepada beritabernas.com, Senin 30 Oktober 2023.

Pak Irawan (kiri) dan Bu Kiki (kanan). Foto: Dok Panitia

Listyo Hari Krisnarjo, Pendiri Lab Sariswara Tamansiswa, yang biasa disapa Cak Lis HK sebagai salah satu narasumber memaparkan tentang sistem pendidikan yang diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara di lingkungan Tamansiswa. Cak Lis memberi contoh metode yang digunakan di Tamansiswa, khususnya pada tingkat Taman Indria, dimana inklusivitas diterapkan melalui permainan anak. 

Pada kesempatan in, Cak Lis mengajak rekannya Bu Niken, seorang pelukis Braille, untuk memamerkan hasil karya lukisannya. 

Sementara Irwan Dwi Kustanto, seorang sastrawan yang difabel mengajak seluruh audiens untuk mensyukuri segala nikmat yang diberikan Tuhan dengan berakting memejamkan mata dan melakukan aktivitas mengambil makanan dengan meraba dan merasakan tanpa melihat. 

Menurut Irwan, masih banyak yang perlu diperjuangkan untuk kaum difabel. Ia memberi nilai 4 dari skala 10. Baginya masyarakat masih memandang disabilitas sebagai kutukan atau dosa tertentu. Karena itu, ia berharap fasilitas untuk para difabel lebih diperhatikan. Sebab, jika para difabel memiliki fasilitas yang menunjang aktivitasnya maka para difabel bisa disebut tidak lagi menjadi disabilitas. 

Menunjukkan hasil lukisan Bu Niken kepada Akbar dan Fauzi (difabel tunanetra). Foto: Dok Panitia

Sedangkan Sri Rejeki Ekasasi, Komite Disabilitas Kota Yogyakarta yang tergabung dalam POTADS (Persatuan Orang Tua Anak Down Syndrome) Yogyakarta, membagi informasi tentang pengalamannya sebagai komite down syndrome

Dalam keterlibatannya di Yayasan POTADS, ia merasakan perubahan pandangan masyarakat terhadap penyandang down syndrome yang semakin diperhatikan. Sudah mulai berkembang inklusivitas di masyarakat meski masih peringkat 6 dari skala 10.

Ia mengharapkan 5 pilar untuk penanganan down syndrome bisa berkembang secara maksimal dan saling berdampingan, yakni keluarga, medis, pendidikan, media dan pemerintah.

Willy, salah satu peserta yang mewakili komunitas Malam Museum mengatakan, kegiatan ini merupakan insight baru baginya yang jarang berinteraksi dengan temen-teman difabel. Apalagi ada lukisan untuk difabel yang sangat menarik.

BACA JUGA:

Sementara Irham, peserta lainnya, mengaku sangat antusias mengikuti acara tersebut karena jarang jarang ada komunitas kebudayaan yang mengangkat tema ini. Biasanya dari kampus-kampus dan komunitas tertentu. “Tapi tumben dari institusi sekolah & kebudayaan bisa membahas, berani membahas bahkan mengundang. Ini cukup menggugah sih buat saya,” katanya. 

“Bagi saya sendiri acara ini sangat inspiratif banget. Sering-sering ajalah ada acara kayak gini biar membuka pandangan orang-orang di sekitar kita yang selama ini dianggap kurang mampu atau dikesampingkan,” komentar I, peserta lainnya.

Acara tersebut dihubur dengan pembacaan puisi oleh Akbar Ariantono Putra (teman difabel) & Ahimsa W Swadeshi (dari komunitas Cakra Dewantara) dengan persembahan musik oleh Fauzi Muhammad Haidi (teman difabel). (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *