Pemerintah yang Dihasilkan Pemilu

Oleh: Ben Senang Galus

beritabernas.com – Jika partai politik dianalogikan dengan sebuah rumah kediaman, maka yang utama dipastikan rumah itu harus kokoh. Sehingga penghuninya merasa nyaman dan damai tinggal di dalamnya. Kedamaian dan kenyamanan menjadi impian para penghuninya.

Kedamaian itu ditunjukkan dengan adanya sikap keterbukaan, kejujuran, egaliter, demokratis, tidak saling merendahkan, apalagi saling menyalahkan. Setiap penghuni diberi akses yang sama untuk mendapatkan peluang untuk menjadi pemimpin dan menjadi dirinya. Rumah tersebut sebagai tempat menggodok calon-calon pemimpin yang akan bertanggungjawab terhadap seluruh penghuninya.

Agar rumah itu dipercaya oleh rakyat, dipastikan pemimpinnya harus menciptakan ketertiban dan menjamin kehidupan politik bagi penghuninya. Penghuni rumah tersebut tidak lain adalah Indonesia yang berbeda latar belakang sosial, ekonomi dan budaya.

Pemimpin rumah tersebut harus mengetahui kesusahan penghuninya, memberi rasa aman, memberi harapan dan menuntun kepada keselamatan menuju kebahagiaan. Oleh karena itu ketika rakyat mempercayakan partai politik sebagai rumah penggodokan calon-calon pemimpin bangsa, maka partai politik tersebut harus menunjukkan kredibilitas dalam keberadabannya. 

Individu-individu dalam rumah itu harus saling percaya guna menjamin hak-haknya, kemauannya dan kepentingannya. Untuk menjamin hak-haknya setiap individu harus membuat kesepakatan-kesepakatan untuk ditaati. Kesepakatan ini menjadi hukum tertinggi  bagi penghuninya. Jika kesepakatan ini dilanggar, individu harus menyerahkan hak-haknya untuk mengatur dirinya kepada kekuasaan partai politik. Karena bila semua individu melakukannya secara bersamaan, akan tercipta kondisi kekuasaan politik yang efektif demi keamanan dan perdamaian dalam jangka panjang (lihat M Sastrapratedja, 2002).  

BACA JUGA:

Namun sebaliknya jika kekuasaan negara-yang dihasilkan pemilu-tidak akan memancar dan berwibawa serta tidak mampu memelihara budi pekerti  kemanusiaan yang berkeadaban bila rumah partai politik tersebut selalu gaduh. Dengan begitu tidak akan ada jaminan bagi penghuni rumah partai politik maupun pengikutnya jika pemerintahan yang dihasilkan oleh pemilu tidak dapat menjadi dinamisator dan katalisator bagi penghuni bumi pertiwi ini.

Kualitas Demokrasi

Namun demikian, Jemes Petras dalam Latin Amerika: Power of Democracy and the Democracy of Poverty, 1990, mengatakan, suatu pemerintahan yang dihasilkan oleh pemilu tidak ada jaminan yang pasti dapat menjadi dinamisator dan katalisator perubahan politik menuju suatu pemerintah lebih demokratis. Apa yang disimpulkan James Petras, tidak berarti pemilu tidak penting atau ditiadakan sama sekali. Bukankah dengan pemilu kekuasaan negara akan berwibawa dan demokratis serta mampu memelihara kesinambungan demokrasi itu sendiri.

Pakar politk Samuel P Huntington membantah kesimpulan Jame Petras, dengan mengatakan pada semua negara sangat dianjurkan untuk menyelenggarakan pemilu untuk mencapai pemerintah yang demokratis dan sekaligus mengukur partisipasi masyarakat. Sebab melalui pemilu akan terbangun peradaban bangsa. Melalui pemilu pula akan tercipta pemerintah yang beradab dan berwibawa serta mampu memelihara kesinambungan demokrasi itu sendiri.  

Lebih lanjut Huntington mengatakan untuk mengukur seberapa jauh tingkat partisipasi masyarakat, dilihat dari dua hal berikut ini. Pertama, tingkat pembangunan sosial ekonomi yang lebih tinggi di dalam suatu masyarakat mengakibatkan partisipasi politik yang lebih tinggi, dan secara implisit mengakibatkan suatu pergeseran dari suatu bentuk partisipasi yang dimobilisasi ke partisipasi yang lebih otonom.

Kedua, semakin tinggi tingkat pemerataan sosio ekonomi suatu masyarakat mengakibatkan tingkat partisipasi politik masyarakat itu semakin tinggi pula. Dengan demikian ada korelasi signifikan antara teori pemerataan dan demokrasi yang berarti hipotesis yang dibangun Jame Petras tidak berlaku bagi negara yang memilih pemerintahan melalui pemilu secara demokratis.

Tujuan pemilu bukan sekadar memilih wakil rakyat atau pemimpin pemerintah, akan tetapi melanjutkan perjuangan, mempertahankan dan mengembangkan kemerdekaan NKRI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dengan demikian terbukti bahwa pemilu adalah sebagai sarana demokratis membentuk kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat demi mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.  Oleh sebab itu pula pemilu adalah suatu sarana yang penggunaannya tidak mengakibatkan kegaduhan sendi-sendi demokrasi, melainkan  harus menjamin suksesnya peradaban bangsa dan demokrasi itu sendiri.

Begitulah sebuah pemilu yang berlangsung di sebuah negara akan merupakan petunjuk pokok sejauh mana pembangunan politik berkembang kualitatif, lebih dari itu tolok ukur kualitas demokrasi masyarakat yang bersangkutan. Apapun label demokrasi yang dikenakan ia tidak boleh meniadakan nilai dasar yang lekat dalam demokrasi itu sendiri.  

Kesejahteraan rakyat dapat diukur dari penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Pemilu demokratis bila penyelenggaraan pemilu itu dijauhkan dari kepentingan pragmatis, yang hanya memikirkan jangka pendek dan sesaat saja.   

Keberhasilan sebuah pemilu bukan hanya diukur dari selesainya kita memilih pemimpin kita. Akan tetapi memberi partisipasi seluas-luasnya pada rakyat untuk mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan bernegara. Keputusan bernegara dengan melibatkan rakyat menjadi tolok ukur kuasa itu milik rakyat. Hal ini jelas kekuasaan itu akan dipergunakan demi kesejahteraan rakyat dan pelestarian hak milik rakyat. Kekuasaan ini, yang dimiliki oleh setiap orang akan menjamin pemilu sebagai lembaga demokrasi.

Demokrasi tidaklah cukup melalui bukti-bukti prosedural dan bahkan jika bernama pemilu apabila forum yang  disediakan dan dibangun di dalamnya tidak mampu menunjukkan gambaran substansial nilai demokrasi tersebut, maka pemilu tidak lebih dari sebuah ritual mekanistik dengan kehadiran begitu banyak manusia ke Tempat Pemungutan Suara.

John Locke mengatakan kekuasaan yang dihasilkan pemilu jika tujuan dan ukuran kekuasaan itu menjamin kesejahteraan seluruh masyarakatnya, yakni seluruh bangsa manusia pada umumnya. Maka, kekuasaan ini tidak mempunyai tujuan dan ukuran lain, ketika dipegang oleh penguasa (magistrat), kecuali untuk menjaga kelestarian para anggota masyarakat itu dalam hidup, kebebasan, dan barang milik mereka, dan dengan demikian tidak dapat menjadi kekuasaan mutlak, sewenang-wenang atas hidup dan  harta milik mereka, yang sedapat mungkin harus dijaga kelestariannya.

Sejauh ini partai politik belum menjadi instrumen politik untuk mengukur tinggi rendahnya kesadaran dan partisipasi politik masyarakat. Karena masih ada faktor lain nonpolitik yang terlibat, yakni institusi ekonomi belum mampu mengoptimalkan kinerjanya memenuhi kebutuhan masyarakat. Kita memiliki institusi perbankan yang kuat.  Pemerintah maupun swasta juga telah membangun KUD, KUT, KUR, BPR, BLT yang kesemuanya itu menjadi  instrumen pemerataan dan bekerja untuk kesejahteraan rakyat.

Jika pembangunan ekonomi tidak berbarengan dengan pembangunan politik, sulit bagi kita untuk mengukur korelasi teori pemerataan dengan demokrasi, sebab keduanya saling membutuhkan dan melengkapi. Oleh sebab itu kalau kita mau meningkatkan partisipasi politik masyarakat tidak ada cara lain selain instrument ekonomi harus bekerja secara maksimal. Demikian pula jika instrument ekonomi tidak berjalan, dapat diatasi dengan pembangunan yang lebih intensif di bidang politik. 

Namun sulit bagi negeri kita jika mengukur partisipasi politik masyarakat dengan cara  tidak wajar dengan membagi-bagikan uang pada masyarakat (vox populi vox argentum). Demikian pula sulit bagi partai politik mandiri jika untuk menghidupi partai hanya mengandalkan iuran anggota atau dengan merampok uang, dan inilah yang menjadi ancaman bagi demokrasi kita masa depan. Jika hal ini terbangun terus menerus maka  partai politik tersebut sebagai pengkianat demokrasi.

Bangsa Indonesia yang kini sedang berposes demokrasi, benar-benar sedang berada dalam situasi kritis. Karena kini kita tepat berada di persimpangan jalan keselamatan atau jalan kehancuran. Bila proses demokrasi ini tidak dapat kita lalui dengan baik, ancaman yang kita hadapi tidak saja proses disintegrasi bangsa. Tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah kemungkinan terjadinya proses disintegrasi sosial atau hancurnya  social bond (kerekatan sosial) dalam masyarakat. Bila social bond hancur, akan tumbuh social distrust (iklim tidak saling mempercayai) di antara kelompok-kelompok sosial.

Sehingga kelompok satu dengan yang lain dalam masyarakat akan saling curiga, saling bermusuhan atau bahkan saling berupaya meniadakan. Dalam situasi  ini, tawuran massal gaya Thomas Hobbes, war of all against all, bukan lagi menjadi khayalan.

Situasi yang penuh pertentangan diantara masyarakat itu dinamakan state of nature. Di mana manusia saling bersaing dan berkompetisi tanpa aturan dan ketiadaan hambatan atau restriksi untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Bahkan jika perlu membunuh dan penghalalan segala cara lainnya atau paling tidak menguasai orang lain.

Pada tataran abstraksi ini, manusia dipandang sebagai srigala yang saling berkelahi untuk mendapatkan kebebasan atau makanan bagi dirinya. Jadi aturan yang adapun hanya dipergunakan agar tidak terjadi tindakan yang mungkin menghancurkan diri sendiri atau dalam bahasa lain “…Suatu proses untuk memperoleh apa yang kita kehendaki ataupun mengelakkan apa yang tidak kita sukai”.

Indonesia saat ini sedang menghadapi pertarungan kekuasaan (pemilu legislatif dan pilpres), telah menyeret kehidupan berbangsa dan bernegara kedalam kekalutan, ketegangan dan krisis berkepanjangan (hoax). Indonesia sedang mengalami pembusukan (decaying), bukan hanya political decay tapi juga social-economic (democracy) decay.

Modal politik (political capital) rusak-rusakan akibat konflik para elite yang terkesan tidak tahu diri dan irasional. Akibatnya modal ekonomi, politik, demokrasi meleleh akibat ketidakberesan dan ketidakmampuan para pengambil keputusan dalam mengelola perekonomian, politik dan demokrasi, sedangkan modal sosial (social capital) tergerus habis akibat krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap para elit yang ada.

Indonesia yang dilanda krisis dewasa ini memerlukan kepemimpinan nasional yang ikhlas dan komit untuk berkorban dalam semangat Samurai untuk membangkitkan spirit, aktivisme dan intelektualisme beserta segenap sumber daya rakyat dalam menyelamatkan bangsa dan negara.

Oleh karena itu dalam rangka memajukan demokrasi kita berusaha memilih pemimpin yang –melalui pemilu 14 Februari 2024-betul-betul pro rakyat bukan janji tapi kepastian. Kepastian hukum, kepastian ekonomi, kepastian pendidikan, kepastian politik dan sebagainya. Itu hanya diperoleh kalau rakyat sungguh-sungguh menjadi demos, bukan sebagai obyek demokrasi. Kita pun berharap pemerintah yang dihasilkan pemilu betul-betul bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan partai atau golongan. (Ben Senang Galus, pemerhati masalah sosial, tinggal di Yogyakarta)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *