Pendidikan Karakter Kosmopolitanisme, “Nipu Wintuk Kudut Uwa Gula Bok Leso”

Oleh: Konstantinus Hati

beritabernas.com – Setiap hari kita melihat gaya hidup setiap orang yang kita jumpai. Kita menjumpai mereka di mana saja, baik di rumah, di jalan, di kebun, di kantor, di tempat belanja, di sekolah, di rumah sakit, di rumah ibadah.

Semua yang kita lihat pasti menemui perbedaan baik dari cara berbusana, cara berdiri, cara melihat, cara berbicara, cara lewat di depan orang, cara menyapa, cara batuk, cara menyapa sampai kepada ketika seseorang menjadi pengambil keputusan akan kita lihat perbedaan dari satu terhadap yang lainnya. Semua perbedaan ini benar-benar dibentuk oleh karakter setiap orang.

Lalu apa sebenarnya karakter itu sendiri? Banyak orang yang belum paham apa itu karakter. Hampir semua orang bisa menyebut karakter dengan ketidakmengertiannya. Sering kita jumpai sebutan, ”dia itu tidak punya karakter”. Loh, masa ada manusia tidak punya karakter?

Inilah gambaran di permukaan sosial bahwa masih banyak orang berpendidikan sekalipun belum paham tentang karakter. Sesungguhnya setiap manusia, siapa pun dia, pasti memiliki karakter, namun setiap orang mempunyai spesifikasi karakter secara absolut. Karakter artinya budi pekerti, tabiat, watak, sifat kejiwaan. Nah, kalau begini pengertiannya berarti setiap orang pasti memilikinya.

Pada dasarnya budi pekerti setiap orang secara absolut telah diciptakan dengan kepadatan hal-hal mulia dari Allah. Namun, semua ini bisa dibentuk, dipengaruhi dan diarahkan menjadi sesuai keinginan pembentuknya oleh keinginan alam itu sendiri. Artinya, dimana manusia itu dilahirkan dan dibesarkan maka karakternya bisa dibentuk oleh lingkungannya.

Faktor pembentuk karakter

Faktor pembentuk karakter manusia adalah pendidikan, budaya, agama, latihan olahraga, kehidupan sosial dan alam itu sendiri. Semua faktor ini memiliki muatan dan ciri yang berbeda satu dengan yang lainnya. Hal inilah yang melahirkan karakter setiap orang: ada yang positif ada juga yang negatif. Yang positif pasti diterima oleh norma subyektif yang ada di tengah masyarakat dan yang negatif pasti ditolak atau harus dibentuk oleh norma itu sendiri.

Pendidikan yang baik tentu akan mereduksi muatan karaktek sesuai dengan kualitas pendidikannya. Jika kualitas pendidikan rendah maka karakter manusia pun ikut rendah menggambarkan kualitas sekolahnya. Padahal pendidikan itu sendiri menjadi variabel yang sangat penting dalam membentuk perilaku manusia.

Pendidikan yang baik harus dimulai dari tengah keluarga. Dalam keluarga ada ruang untuk menerapkan fungsinya dalam membentuk karakter manusia menjadi pribadi yang berintegritas yaitu mengajak anak untuk sama-sama bekerja, belajar bersama, makan bersama, berdoa bersama, rekreasi bersama. Berdiskusi dengan anak bagaimana menggapai masa depan melalui pendidikan yang berkualitas. Namun, pendidikan yang baik tidak cukup atau tidak berdiri sendiri untuk membentuk karakter manusia, tetapi manusia yang berintegritas lebih banyak berasal dari budaya yang mulia.

BACA JUGA:

Ben Senang Galus dan Ortisan Yumthe, dalam Kosmopolitanisme Satu Negeri Satu Jiwa (2018) menuliskan tentang kesejukan dunia ini sangat ditentukan oleh adanya perdamaian antara bangsa-bangsa di dunia. Untuk mencapai hal itu, diarahkan kepada seluruh umat manusia agar mengedepan budaya untuk menunjukkan rasa kecintaan terhadap negerinya. Artinya kosmopolitan budaya harus menjadi kebiasaan dan menjadi perilaku dalam hidup. Budaya yang baik akan membentuk cara berpikir yang baik, artinya dengan berbudaya akan menolak cara berpikir radikal, a habit of mind artinya budaya akan membentuk etos secara totalitas dalam diri manusia.  

Istilah kosmopolitanisme yang dikembangkan oleh Emanuel Kant ini memiliki makna bahwa semestinya dunia harus mengabaikan perbedaan dengan mengutamakan bahwa setiap yang ada di bawah kolong langit ini memiliki entitas yang sama, karena itu Adam Gannaway menekankan hidup lebih ke pada berpedoman pada tatanan kode etik dan politik global.  

Tidak Mengabaikan Budaya

Pendidikan yang bermartabat harus dijalankan dengan tidak mengabaikan budaya dengan nilai-nilainya yang sudah membentuk manusia menjadi manusia yang berkarakter positif sesuai budayanya. Kosmopolitanisme artinya mengajak kita agar hidup ke alam budaya yang telah membentuk kita sejak dalam kandungan.

Tokoh pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara dengan nama bangsawannya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang lahir 2 Mei 1889 dari Paku Alaman Yogyakarta, hidupnya syarat dengan aturan budaya Jawa.

Dari unsur budaya itu sendiri membentuk kosmos murni bangsawan yang berani, tegas dan daya juang tinggi. Nilai-nilai budaya keratin Yogyakarta menjadi norma kosmos dalam diri Ki Hadjar Dewantara untuk membentuk rasa kecintaan terhadap negeri Nusantara yang besar, guna melindungi rakyat yang banyak beliau mendirikan pendidikan bagi kaum bangsanya, Perguruan Nasional Tamansiswa, agar tidak tertinggal oleh kaum priyai Belanda.

Pendidikan tanpa nilai budaya akan membawa bencana bagi anak bangsa. Hal ini karena keegoisan diri akan membawa pikiran baik menjadi berpikir radikal, merusak norma, merusak kemanusiaan, merusak budaya dan berakibat pada lupa diri. Banyak bencana yang terjadi menimpa pribadi manusia sebagai akibat dari merendahkan budaya atau adat istiadat. Bencana terhanyut banjir, tenggelam saat berenang, ditabrak sampai mati di tempat, disambar petir atau menimpa dengan sakit berat.

Bencana ini pun tidak hanya terjadi pada orang yang tidak tekun berdoa, orang yang tekun berdoa pun akan mengalami bencana seperti ini jika dia lupa budaya, lupa adat istiadat atau tidak melaksanakan budaya sesuai pesan leluhurnya.

BACA TULISAN LAINNYA:

Wintuk toe nipu agu sake toe pande adalah istilah dalam budaya Manggarai, Flores, NTT yang artinya tidak menjalankan pesan adat sejak leluhur dengan mengabaikannya karena dianggap sudah kuno dan tidak memiliki kekuatan. Maka akibatnya harus dipikul menerima kutukan atau minimal peringatan.

Bahkan teguran melanggar budaya pun menyerang kaum beriman atau kaum klerus malalui banyak bencana seperti masuk dalam pencobaan. Cukup banyak berita kaum klerus jatuh dalam percobaan kaum hawa sampai menanggalkan jubah sebagai keputusan akhir dari pada terus menerus dinilai kaum klerus yang kotor. Peristiwa-peristiwa itu juga mungkin atau pasti sebelumnya sudah ada pelanggaran terhadap pesan-pesan orang leluhur Manggarai neka lage alu, neka lengga wakas, neka hembur le jaga tebur lau (karakter rendah hati atau tidak sombong mengandung prinsip kehati-hatian).

Dalam budaya Manggarai sudah memiliki pendidikan karakter. Sejak manusia menikah, orangtua sudah mengajarkan tentang bagaimana hidup berkeluarga mulai dari bertanggungjawab terhadap istri dan anak, hiang inang agu amang, tinu ata tu’a (karakter hormat), sampai pada ajaran kerja keras dempul wuku tela toni kawe hang mane cumang hang gula remong hang leso, wengko weki agu na’ang bara (karater kerja keras, bertanggungjawab, kejujuran).

Ajaran neka lage alu, neka lengga wakas, neka teing toni agu hae ata, neka bombong bora. Ajaran neka tako, neka ngonde oles neka mejeng hese, duat le gula wee le mane. Ajaran ca para le woleng wongka one.

Semua ini merupakan ajaran yang menuntun karakter manusia menjadi manusia yang beradab, beretika, dan bermoral. Melalui ajaran ini manusia Manggarai akan muncul kemanggaraiannya. Tidak berbeda di tempat lain, semua memiliki ajaran budaya yang sama membentuk manusia yang beradap sehingga terbentuklah kosmopolitanisme ke-Nusantaraan atau Ke-Indonesiaan.

Pendidikan karakter Manggarai secara umum namanya adalah Wintuk agu Sake. Wintuk artinya ajaran atau aturan sedangkan sake artinya adat istiadat sejak leluhur. Nipu wintuk kudut uwa gula bok leso artinya ingat dan laksanakan ajaran supaya selalu sukses dan umur panjang.

Setiap orang yang melanggar aturan pasti ditimpa hukuman. Kosmos budaya Manggarai memiliki kekuatan yang dahsyat. Informasi teguran atas pelanggaran terhadap budaya dalam adat istiadat Manggarai selalu diinformasikan oleh leluhur lewat tanda-tanda alam, mimpi atau dilihat oleh orang pintar.

Namun, dalam masa sekarang semua tanda-tanda alam selalu diterjemah ke dalam perjudian kupon putih, mimpi pun diterjemah ke dalam angka kupon putih, sehingga pada akhirnya miskin atau datanglah bencana karena tidak menghiraukan informasi leluhur. Ajaran budaya memiliki kearifan yang sangat mulia dengan mengabaikan pikiran radikal. Hal ini untuk mencegah terjadinya keegoisan yang berlebihan dalam diri manusia.

Manusia, menurut Freud, memiliki tingkat kepribadian Id Eego, dan Super Ego. Keakuan atau Id merupakan kehendak kuat yang menjadi pribadi sendiri tanpa orang lain dari manusia itu. Kelebihan mengikuti kehendak diri atau yang disebut Id maka manusia itu akan jauh dari kontrol norma.

Untuk itulah norma budaya itu hadir agar manusia itu dilindungi dari kefatalan keinginan yang bersifat binatang dalam dirinya. Siapa pun manusia itu, apa pun jabatannya, kaum klerus sekali pun jika naluri binatangnya atau id tadi muncul maka perbuatan tercela sekali pun dia bisa melakukannya. Di sinilah peran roh leluhur selalu hadir untuk bersama kita, namun perlindungan leluhur akan muncul dan selalu ada apabila kita nipu wintuk.

Dalam psikologi Gestalt menyampaikan bahwa tingkah laku ditentukan oleh medan psiko-fisis yang terdiri dari tekanan-tekanan yang terorganisasi yang sama dengan medan grafitasi. Jadi pendapat Gestalt ini banyak munculnya pada zaman digital sekarang.

Manusia saat ini dituntut harus mengikuti berbagai tekanan dalam hidup sehingga tekanan itu membentuk perilaku baru. Perilaku baru yang dimaksudkan adalah perilaku yang dipengaruhi oleh tekanan media digital seperti sambil jalan main hp, sambil masak main hp. Singkatnya, orang miskin sekali pun saat ini pasti harus mengikuti tekanan perkembangan zaman.

Medan magnetic atau gaya gravitasi dari kekuatan media digital sudah mengubah tingkah laku manusia. Maka ajaran budaya pun dilupakan sehingga muncul banyak bencana seperti amoral merambah kaum klerus, korupsi merambah para pejabat, serakah merambah pejabat, demokrasi dirubah menjadi monarki, siswa dan mahasiswa sudah tidak belajar lagi, guru-guru pun demikian merokok di depan siswa, berjudi di depan siswa, kaum dapur atau ibu-ibu pun ikut berjudi. Singkatnya kehadiran hp android atau teknologi digital bencana bagi manusia yang tidak beradat dan tidak beradab.

Pendidikan karakter kosmopolitanisme, nipu wintuk kudut uwa gula agu bok leso, merupakan pilihan terbaik bagi kita. Orang yang berbudaya akan mengikat dirinya agar tidak terombang ambing oleh pengaruh tekanan-tekanan lingkungan. Norma yang terinternalisasi melalui budaya dan adat istiadat akan menjadi kekuatan dasat dalam diri manusia sehingga ekologi kepribadiannya menjadi mulia dalam hidupnya. Dia tidak mudah goyah oleh siapa pun dan oleh apa pun dia tetap menjadi diri sendiri karena kekuatan Alam, Tuhan dan leluhur tetap abadi dalam dirinya.

Tinu merupakan salah unsur personefikasi entitas kejiwaan dari budaya Manggarai. Tinu artinya pelihara. Unsur utama dari tinu adalah memberikan kekuatan fisik dan kekuatan semangat jiwa dari anak manusia yang ada di dekapannya seperti istri, anak dan orang tua.

Ajaran tinu sudah diwariskan leluhur orang Manggarai agar istri sehat, kuat dan selalu damai. Anak bertumbuh subur sejak dalam kandungan, lahir dengan sehat, tumbuh dan berkembang dengan pesat. Unsur tinu ini sangat ditekankan sejak menikah, hamil, lahir, besar sampai tua. Suami yang tidak tinuistri, anak dan orangtuanya maka dia akan mendapat hukuman dari alam dan Tuhan.

Toing artinya nasihat, didik, ajar. Toing merupakan personifikasi dari salah satu nilai kejiwaan dari ajaran budaya Manggarai. Toing dilakukan untuk mencegah agar roh dari ajaran budaya itu tetap ada atau tetap eksis. Toing untuk melestarikan eksistensi ajaran budaya. Toing dilakukan secara tutur oleh orangtua kepada anak-anaknya sehingga anak-anaknya menjadi kuat dan tangguh menghadapi tantangan hidup.

Macam-macam toing seperti toing neka lage alu (jangan langgar batas), toing neka lengga wakas (jangan paksa melakukan jika itu dilarang), toing neka tako (jangan mencuri), toing neka ngonde (jangan malas), toing neka mese nai (jangan sombong), toing neka ngo one lo’ang data (jangan masuk kamar orang), toing rajin belajar, toing neka raha agu hae ata, toing neka judi, toing neka rongko, toing kudut hiang endem agu emam dan sebagainya.

Titong artinya dituntun, didamping, diberi contoh. Ajaran inilah yang paling banyak dilanggar oleh orang Manggarai. Memberi contoh memang susah tetapi jika kita melakukannya sebenarnya mudah. Namun, kerap kali kita hanya memberi contoh yang salah terhadap generasi atau anak-anak kita.

Merokok di depan siswa merupakan contoh titong yang salah terhadap anak-anak, berjudi di tengah masyarakat merupakan contoh mewariskan ajaran jahat bagi generasi kita. Apalagi bila berjudi ini dilakukan oleh tokoh penting seperti oknum polisi, guru, dosen, atau tokoh lainnya di depan generasi maka selanjutnya mereka menganggap bahwa berjudi ternyata perbuatan baik dan tidak dilarang di negeri kita.

Tatong artinya memberikan kepercayaan yang totalitas kepada generasi muda. Dalam budaya Manggarai ada istilah mata betong asa mose waken nipu tae artinya jika pemimpin tiada maka ada penerus yang bisa melanjutkannya. Namun, hal ini tidak akan bisa berlanjut jika tidak ada penggenerasian, karena itu perlu tatong atau melatih untuk diberikan kepercayaan penuh kepada generasi.

Titing artinya orang yang dijagokan arti lainnya adalah diperintah untuk menjalankan tugas mulia atau tugas penting. Titing artinya selalu menyuruh untuk menjadi bisa, menjadi mampu, menjadi mandiri. Pada akhirnya dia akan menjadi orang yang kekuatan terhebat dalam keluarga, dalam masyarakat bahkan di negeri ini.

Tatang artinya tatar, atur, distrukturisasi kembali. Inilah yang menjadi kekuatan tertinggi dalam dalam budaya Manggarai. Dalam unsur tatang inilah lahir para pemimpin yang syarat dengan kewibawaan, kehormatan dan disiplin tinggi.

Jadi dalam budaya Manggarai unsur entitas pendidikan itu ada enam melebihi unsur entitas pendidikan yang dikemukakan oleh tokoh pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantar 1923 yang lahir 2 Mei 1889. Beliau menyampaikan unsur pendidikan itu terdiri dari 3 semboyan yaitu Ing Ngarso
Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.

Dengan demikian tata kelola pendidikan di Indonesia tidak dapat tidak harus mendasarkan diri pada basis-basis etika atau basis kebudayaan (enculturation), sehingga pada akhirnya anak didik kita tidak tercerabut dari akar budayanya atau tidak saja pintar, akan tetapi memiliki emosi dan haus akan nilai human.

Semuanya itu tidak melupakan karakter Indonesia atau local genius sebagai pembentuk tata laku dan kepribadiannya. Untuk merangkum semua itu saya mengutip pepatah bahasa Latin Gloria Dei vivens homo irenius, Adversus Haereses (manusia yang hidup utuh secara manusiawi akan memancarkan cahaya kemulian Allah penciptanya).

Pepatah ini analog dengan kata-kata bijak berikut ini, When wealth is lost, nothing is lost; when health is lost, something is lost; when character is lost, all is lost (Jika kehilangan harta, sesungguhnya tidak ada yang hilang. Jika kehilangan kesehatan, ada sesuatu yang hilang. Namun, jika kehilangan karakter, kita kehilangan segalanya-Billy Graham)”.

Inilah tantangan aktual bangsa, terlebih pembangunan karakter kini maupun ke depan. Semoga! (Konstantinus Hati, Penulis buku Liturgis dan Tata Upacara Adat Manggarai dan Falsafahnya, tinggal di Ruteng, Kabupaten Manggarai)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *