beritabernas.com – Rektor UII Prof Fathul Wahid ST MSc PhD mengajak para wisudawan lulusan UII untuk melakukan refleksi bersama terkait berbagai hal, termasuk adanya ancaman keterbelahan bangsa sebagai residu proses politik yang belum dewasa.
Menurut Rektor UII Prof Fathul Wahid, masih banyak pekerjaan rumah kolektif yang perlu mendapatkan perhatian, di antaranya terkait dengan ketimpangan di banyak sektor, korupsi yang seakan tak ada habisnya, kelestarian lingkungan yang semakin terancam, sampai dengan ancaman keterbelahan bangsa sebagai residu proses politik yang belum dewasa.
Baca berita terkait:
- UII Wisuda 706 Lulusan Program Doktor, Magister, Sarjana dan Diploma
- Kepemimpinan Tanpa Kepengikutan yang Efektif Tidak akan Berjalan dengan Baik
Dikatakan, untuk mengatasi semua itu tidak mungkin hanya menyerahkan kepada negara, namun kita pun secara kolektif bisa berkontribusi, meski di beberapa masalah negara harus hadir dengan nyata.
“Mari kita lihat, apa yang bisa kita kontribusikan untuk masalah-masalah tersebut. Namun, dalam waktu yang terbatas ini, saya hanya ingin berfokus pada satu saja: ancaman keterbelahan bangsa,” kata Rektor UII Prof Fathul Wahid pada acara wisuda 706 lulusan UII periode VI tahun akademik 2021/2022 di Auditorium KH Abdulkahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII, Sabtu 30 Juli 2022.
Menurut Prof Fathul Wahid, residu dari proses politik beberapa tahun terakhir telah menggiring banyak bangsa di dunia kepada keterbelahan atau polarisasi, tak terkecuali Indonesia. Bahkan bisa jadi kita menjadi bagian dari proses ini, meski kadang tidak menyadari atau dengan jemawa, bahkan justru membuat beragam dalih untuk membenarkan. Opini dan perasaan lebih dikedepankan dibandingkan fakta. Inilah era paskakeberanan.

Fenomena ini, menurut Prof Fathul Wahid, memantik kesadaran bersama, ternyata banyak dari kita belum siap berdemokrasi secara dewasa. Meski sebagian dipastikan langsung bersuara tinggi dan tidak rela jika dianggap demikian.
“Berdemokrasi secara dewasa membutuhkan beragam prasyarat, termasuk kemampuan berpikir mandiri dan tidak terjebak narasi publik serta siap berbeda pendapat dengan tetap menghargai pihak lain. Hanya dengan demikian, persatuan bangsa dapat dijaga dan energi bangsa tidak bocor karena sesuatu yang kurang bermakna,” kata Prof Fathul Wahid.
Menurut Rektor UII, kehadiran media sosial tidak bisa dipisahkan dari fenomena keterbelahan bangsa. Karena itu, ia mengajak para wisudawan untuk memikirkan beberapa isu berikut, yakni media sosial memungkinkan kepalsuan pengguna dan informasi.

“Siapa pun bisa membuat akun dan menyebarkan informasi, termasuk kita. Sebuah pesan bersirkulasi dengan cepat tanpa bisa dikendalikan setelah diunggah. Di waktu lampau, yang menantang adalah mendapatkan informasi. Saat ini, sebaliknya, informasi melimpah. Tantangan berubah, yaitu menyaring informasi. Karenanya, saya mengajak Saudara untuk peduli dengan masalah ini. Jadilah pengguna media sosial yang cerdas dan menjadikan etika sebagai pengendali. Bisa jadi, peran ini terkesan kecil, tetapi jika dilakukan secara kolektif, dampaknya bisa luar biasa,” kata Prof Fathul Wahid.
Menurut Rektor UII, gerakan kolektif bisa mengubah bagaimana algoritme media sosial bekerja yang salah satunya mengandalkan algoritme rekomendasi (recommendation algorithm). Suara yang lantang, seperti yang disimbolkan oleh trending topics atau trending hashtags, akan mempengaruhi yang lain.
Algoritme rekomendasi, melalui gelembung tapis (filter bubble) jugalah yang menjadikan kita terpapar informasi yang sudah terpilih berdasar perilaku daring lampau dan profil kita.
“Sangat heran, jika hari ini mengetikkan “sepatu kulit” di mesin pencarian sebuah platform media sosial, dalam beberapa hari ke depan, tawaran sepatu kulit akan membanjir. Gelembung tapis telah memilihkan informasi untuk kita. Hal ini bukan tanpa masalah dalam konteks berbangsa. Inilah juga yang menjadikan
jurang keterbelahan semakin menganga, karena kita hanya akan diberi informasi yang sesuai dengan prekonsepsi awal kita, dan paparan terhadap informasi dengan perspektif lain menjadi sangat terbatas,” kata Rektor UII.
Dikatakan, sebuah ruang gema (echo chamber) terbentuk. Kita hanya mendengarkan “suara kita” sendiri, atau suara yang sama dengan suara kita. Kita pun akhirnya terjebak pada bias konfirmasi yang menjadikan kita hanya percaya dengan informasi yang sesuai dengan yang kita yakini sebelumnya.
“Kesadaran seperti di atas perlu kita ingat terus untuk menjadi warga negara yang dewasa, pemikir mandiri yang berani bersikap, tidak menjadi buih yang terombang-ambing ombak narasi publik, dan sekaligus sanggup hidup dalam harmoni meski berbeda pilihan,” kata Rektor UII Prof Fathul Wahid. (lip)
There is no ads to display, Please add some