beritabernas.com – UII kembali mewisuda para lulusan program Doktor, Magister, Sarjana dan Diploma. Pada wisuda periode III tahun akademik 2024/2025 di Auditorium Abdulkahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII, Sabtu 25-26 Januari 2025, sebanyak 713 lulusan diwisuda.
Dari 713 lulusan UII yang diwisuda pada periode ini, terdiri dari dari 1 ahli madia, 20 sarjana terapan, 615 sarjana, 73 magister dan 4 doktor. Dengan demikian, sampai saat ini, UII telah menghasilkan 130.645 lulusan yang sudah menebar manfaat dengan beragam peran, baik di dalam negeri maupun manca negara. Ini adalah bagian dari sumbangsih UII untuk kemajuan bangsa dan kemanusiaan.
Seperti pada wisuda periode sebelumnya, Rektor UII Prof Fathul Wahid ST MSc PhD menyampaikan pesan-pesan penting kepada para wisudawan/wisudawati. Kali ini, Prof Fathul Wahid mengingatkan para wisudawan/wati bahwa perjalanan baru menunggu para wisudawan dan inilah saatnya untuk meneguhkan kiprah di tengah masyarakat.
“Selalu asah dan tambah kecakapan. Apa yang sudah dikuasai sampai hari ini, insyaallah akan menjadi modal awal untuk berkontribusi dengan beragam peran. Tapi ingat, lingkungan berubah, tuntutan bertambah,” kata Rektor UII.

Dikatakan, untuk menjamin relevansi keberadaan saudara dan untuk memastikan kontribusi terbaik, pilihannya tidak banyak. Salah satunya adalah dengan terus belajar dari beragam sumber, dengan berbagai cara.
Sangat mungkin, suatu saat di masa depan yang tidak terlalu jauh, kecakapan yang kita punya akan tidak relevan lagi. Ketika itu terjadi, kita dituntut berani melupakan apa yang sudah kita pelajari (unlearn) karena sudah tidak relevan dan menggantinya dengan kecakapan baru (relearn) yang dibutuhkan.
Meski demikian, jangan sampai mengganggap masa depan itu mengerikan. “Selama kita menjadi pembelajar sejati, kita harus menjemput masa depan dengan suka cita dan penuh keyakinan. Hidup pada dasarnya terdiri dari banyak transisi, dari satu tahap ke tahan lainnya,” kata Prof Fathul Wahid.
Karena itu, Rektor UII mengajak para wisudawan untuk melakukan refleksi terkait dengan kehidupan yang penuh dengan transisi. Buku yang ditulis oleh Bruce Feiler yang berjudul Life is in the Transitions (Feiler, 2021) dapat menjadi pemantik untuk dielaborasi. Transisi inilah yang membentuk identitas dan pengalaman kita.
Pertama, transisi bersifat universal alias bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Transisi terjadi pada setiap orang, baik dalam bentuk perubahan karier, hubungan, kesehatan atau bahkan identitas pribadi. Feiler menyebut masa-masa ini sebagai lifequakes-guncangan besar yang mengubah arah hidup kita.
BACA JUGA:
- Rektor UII Prof Fathul Wahid Tolak Kampus Ikut Mengelola Tambang
- Tema Milad ke-82: UII Mengerti Bumi, akan Diimplementasikan dalam Serangkaian Kegiatan
Hari ini juga bisa menjadi bagian transisi dari hidup Saudara, dari status menjadi mahasiswa bertransisi menjadi alumni. Tantangan bergeser, tannggung jawab berubah, dan strategi untuk menghadapinya pun berbeda. Pun demikian ketika Saudara nanti berkiprah di dunia berkarya, sebuah transisi lainnya.
“Meskipun semua mengalami transisi, pengalaman dan respons terhadapnya berbeda-beda. Cerita selama dan terkhusus di akhir masa studi sangat mungkin beragam, warna-warni. Karena itu, Feiler menekankan pentingnya memahami dan menghormati keunikan perjalanan pribadi masing-masing individu,” kata Fathul Wahid.
Kedua, setiap transisi mengandung makna yang berbeda-beda. Karena itu susunlah narasi atas transisi hidup membantu kita memahami pengalaman, dan menempatkannya menjadi bagian dari cerita yang lebih besar.
Kehidupan disusun dari cerita-cerita kecil yang saling terkait, yang perlu dibingkai dengan sebuah perspektif. Masa kini kita merupakan akibat dari pilihan-pilihan, baik besar maupun kecil-kecil, yang kita lakukan di masa lampau. Masa depan pun tak beda: merupakan akibat dari preferensi kita di masa kini, baik itu dalam bentuk urutan yang menguatkan atau yang reaktif (Mahoney, 2000).
Bisa jadi cerita masa lalu adalah tragedi yang kita tangisi. Tetapi cerita tersebut dapat berubah menjadi komedi yang akhirnya kita syukuri. Yang dibutuhkan hanyalah waktu untuk mengubah tragedi menjadi komedi (Double, 2017). Karenanya tak jarang, saat ini, kita dapat menceritakan kesulitan yang pernah dihadapi di masa lampau dengan penuh suka cita dan bahkan derai tawa.
Ketiga, transisi hidup sering kali mengandung ketidakpastian. Feiler menegaskan bahwa tidak apa-apa jika kita belum memiliki jawaban untuk ketidakpastian. Alih-alih menghindarinya, kita didorong untuk menerima ketidakpastian sebagai bagian dari proses eksplorasi atau menemukan jalan baru.
Kita juga disarankan untuk melihat transisi bukan sebagai ancaman, bukan sesuatu yang menakutkan, tetapi sebagai peluang untuk bertumbuh. Dengan merangkul perubahan, terbuka jalan menuju kemungkinan dan wawasan baru. Masa-masa sulit dapat menjadi momen refleksi dan penemuan kembali diri.

Tantangan selama transisi dapat menjadi pelajaran berharga. Refleksi kita atas tantangan yang sudah kita lewati dapat menumbuhkan ketangguhan dan juga pengembangan diri.
Keempat, transisi adalah sebuah perjalanan. Karena itu, kita disarankan untuk menghargai proses dalam transisi dan tidak hanya berfokus pada hasil akhir. Alih-alih terburu-buru menuju tujuan, ia mendorong kita untuk menemukan makna di setiap langkah perjalanan. Dengan kesadaran penuh (mindfulness), kita dapat lebih memahami emosi, kebutuhan, dan pelajaran yang hadir di tengah ketidakpastian.
Feiler juga mengingatkan kita bahwa keindahan hidup terletak pada momen-momen kecil yang sering kali diabaikan ketika kita terlalu fokus pada hasil. Ketidaksempurnaan dalam perjalanan adalah bagian alami dari proses, yang justru dapat memberikan pelajaran berharga. Peradaban manusia disusun dari berjuta ketidaksempurnaan yang ditoleransi untuk saling berinteraksi.
“Dengan menghargai perjalanan itu sendiri, kita tidak hanya mencapai tujuan, tetapi juga menemukan kepuasan dan pemahaman mendalam yang memperkaya pengalaman hidup kita,” kata Rektor UII. (lip)
There is no ads to display, Please add some