100 Hari Pertama Pemerintahan Prabowo-Gibran, Langkah Awal yang Suram dalam Performa HAM

beritabernas.com – Pemerintahan Prabowo-Gibran genap berusia 100 hari pada 28 Januari 2025. Dalam periode tersebut, pemerintahan Prabowo-Gibran telah mengesahkan 155 peraturan perundang-undangan.

Namun, belum terlihat keseriusan Pemerintahan Prabowo-Gibran dalam mengurus bidang hak asasi
manusia (HAM). Hal ini menunjukkan langkah awal yang suram di bidang performa HAM.

Kenyataan ini menjadi dasar bagi PUSHAM UII untuk menilai dan mengevaluasi performa hak asasi manusia (HAM) dalam peraturan perundang-undangan pemerintahan Prabowo-Gibran.

Ini merupakan hasil kajian PUSHAM UII pada 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran. Kajian atau riset ini berkontribusi untuk mengisi kekosongan penjelasan terstruktur untuk konteks
peraturan perundang-undangan dan hak asasi manusia.

Dari hasil kajian PUSHAM UII menunjukkan bahwa skor indikator untuk performa hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan pemerintahan Prabowo-Gibran hanya berkisar 0,1 dari skala 0-1, menandakan orientasi hak asasi manusia yang sangat lemah dari peraturan perundang-undangan yang
disahkan dalam 100 hari pertama. Peraturan perundang-undangan pada 100 hari pertama juga ditemukan tertutup pada keberadaan hukum hak asasi manusia.

BACA JUGA:

Menurut Heronimus Heron, peneliti PUSHAM UII, ada dua alasan yang membuat kajian ini relevan. Pertama, Presiden Prabowo saat pelantikan pada 20 Oktober 2024 tidak menyebutkan satu kata pun tentang hak asasi manusia. Kedua, performa hak asasi manusia Indonesia dinilai menurun selama tiga tahun terakhir.

Sementara menurut Sahid Hadi, peneliti PUSHAM UII lainnya, peraturan perundang-undangan pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki orientasi hak asasi manusia yang sangat lemah. “Ddari segi performa hak asasi manusia, peraturan perundang-undangan pemerintahan Prabowo-Gibran memperlakukan hak asasi manusia sebagai elemen minoritas. Tentu saja, ini bukan merupakan langkah yang baik untuk masa depan hak asasi manusia di Indonesia,” kata Sahid Hadi.

Heronimus Heron menambahkan, pengakuan hak-hak masyarakat adat dalam undang-undang penetapan provinsi, kabupaten dan kota tidak berbasis pada kepemilikan hak masyarakat adat. Selanjutnya, penggunaan frasa ‘Melindungi Segenap Bangsa Indonesia dan Tumpah Daerah Indonesia dan Memajukan
Kesejahteraan Umum’ hanyalah sebuah klise.


Peneliti PUSHAM UII lainnya, Vania Lutfi Safira Erlangga, mengatakan, ada juga pernyataan eksplisit tentang pembangunan yang dilakukan secara berkelanjutan dalam undang-undang tentang penetapan kabupaten dan kota. Namun, istilah keberlanjutan seringkali digunakan oleh pemerintah untuk menguntungkan kepentingan sesaat yang seringkali mengorbankan keberlanjutan pemenuhan kebutuhan masa sekarang dan keberlanjutan lingkungan hidup di masa depan.

Sahid Hadi menambahkan, peraturan perundang-undangan pemerintahan Prabowo-Gibran juga memungkinkan terjadinya eksklusi bidang hak asasi manusia dari bidang-bidang lain seperti investasi dan bisnis, perdagangan, kehutanan, dan lain-lain. Padahal, hak asasi manusia seharusnya menjadi jiwa dan pemandu di segala bidang dalam urusan pemerintahan, termasuk pemerintahan Prabowo-Gibran.

Sahid Hadi melanjutkan, pemerintahan Prabowo-Gibran perlu memperbaiki cara memperlakukan hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan yang dihasilkan, yaitu dengan menginkorporasikan hak asasi manusia dan hukum hak asasi manusia secara formal dan eksplisit di setiap unsur peraturan perundang-undangan. (*/lip)




There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *