beritabernas.com – Guru Besar bidang Keamanan Global pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran Bandung Prof R Widya Setiabudi Sumadinata mengatakan, setiap negara, tidak terkecuali Indonesia, perlu memberikan respon yang tepat dalam menghadapi berbagai potensi ancaman baru terutama ekses dari perkembangan teknologi digital.
Hal ini mengingat dimensi keamanan global mengalami perluasan yang signifikan. Dalam hal ini, baik TNI, Polri maupun lembaga-lembaga terkait lainnya perlu memikirkan penyusunan model baru strategi keamanan negara.
“Penggunaan teknologi dan pelibatan elemen sipil baik individu maupun lembaga yang memiliki kompetensi yang relevan dengan tujuan ini menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan,” kata Prof R Widya Setiabudi Sumadinata dalam orasi ilmiah penerimaan jabatan Guru Besar bidang Keamanan Global pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran di Graha Sanusi Hardjadinata, Unpa, Jalan Dipati Ukur, Bandung, Selasa 24 Oktober 2023.
Prof Widya Sumadinata yang juga merupakan Dekan FISIP Unpad dalam bagian awal orasi ilmiah berjudul Perluasan Dimensi Keamanan Global: Keharusan Revisi Strategi Pertahanan Negara ini memaparkan perkembangan pemikiran terkait studi keamanan di seluruh dunia.
Dikatakan, international security atau keamanan internasional yang mengandaikan bahwa potensi ancaman yang dihadapi setiap negara berasal dari negara lain telah berkembang menjadi global security atau keamanan global. Perkembangan ini didasarkan pada kenyataan bahwa potensi ancaman tidak hanya berasal dari aktor negara (state-actors), tapi juga dari aktor non negara (non state-actors).
Prof Widya memberi contoh peristiwa serangan terhadap World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, pada 11 September 2001 silam, memperlihatkan betapa kelompok teroris yang merupakan aktor non-negara menjadi ancaman yang nyata. Begitu juga dengan aksi kelompok hacker yang belakangan kerap menjadi tema utama pemberitaan media.
Dengan kata lain, kata Prof Widya Sumadinata, telah terjadi pergesaran yang sangat signifikan dari pemahaman keamanan tradisional menjadi pemahaman keamanan non-tradisional.
Dalam kaitan dengan perkembangan baru ini, Prof Widya Sumadinata mengutip pakar studi keamanan dari kelompok pemikiran Conpahagen School, Barry Buzan, yang mengatakan bahwa ada lima hal yang mempengaruhi perkembangan studi keamanan itu. Kelima hal itu adalah great power politics, technology, event, institutionalization dan academic debate.
Dalam beberapa waktu belakangan ini, dunia tengah menyaksikan dan mengalami perkembangan teknologi siber yang luar biasa yang pada gilirannya ikut andil dalam ketegangan di arena politik global.
“Teknologi siber sangat menentukan dalam strategi peperangan masa kini,” ujarnya sambil mencontohkan pemberitaan mengenai keterlibatan hacker Rusia dalam perang yang tengah terjadi antara Israel dengan kelompok militer Palestina, Hamas.
Kelompok hacker Rusia disebutkan membantu Hamas memantau warga sipil dan petinggi militer Israel. Sementara sebaliknya, Israel juga melancarkan serangan terhadap Hamas dan institusi lain yang memiliki afiliasi dengannya.
Prof Widya Sumadinata mengutip laporan Amnesty International yang menyebutkan penggunaan teknologi oleh Israel yang diberi nama Red Wolf yang memiliki kemampuan untuk memindai dan menandai warga Palestina yang melintasi perbatasan.
Perkembangan teknologi siber lainnya juga telah diaplikasikan pada apa yang disebut sebagai deep fake, di mana suara dan gambar dapat direkayasa sehingga tampak seperti sungguhan.
BACA JUGA:
- AM Putut Prabantoro: Akademisi Perlu Melihat Ancaman dengan Paradigma Baru
- Taprof Bidang Ideologi Lemhannas RI: Siapa Pun Presidennya, Ancaman dan Tantangan Sama
“Bisa dibayangkan bagaimana jika teknologi ini disalahgunakan untuk menyebarkan berita bohong, fitnah, mengadu domba. Dalam kultur masyarakat kita yang haus berita, sementara literasi informasi kurang, teknologi deep fake akan sangat mudah dianggap sebagai sebuah realita objektif atau sebuah kebenaran,” kata Prof Widya seraya menambahkan deep fake juga dapat dikatakan mengancam demokrasi.
Secara khusus, Prof Widya Sumadinata menggarisbawahi gagasan yang baru-baru ini disampaikan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto tentang pembentukan matra keempat dalam tubuh TNI yang disebut sebagai “angkatan siber”. Usul ini merujuk pada praktik yang dilakukan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Singapura dan Republik Rakyat China.
Prof Widya Sumadinata mengatakan, melihat perkembangan teknologi siber yang sudah sedemikian rupa, dirinya sependapat dengan gagasan itu. Namun dia memberikan catatan bahwa sejumlah hal patut untuk dipertimbangkan dalam pembentukan lembaga tersebut. Misalnya, apakah di bawah TNI atau di bawah institusi sipil?
Selain itu, perlu dipikirkan dengan matang mengenai keterkaitan lembaga yang diusulkan itu dengan lembaga lain yang memiliki ide agak serupa, seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). (lip)
There is no ads to display, Please add some