beritabernas.com – Sebagai Anggota DPR RI selama dua periode, yakni tahun 2009-2014 dan 2014-2019, Dr KRMT Roy Suryo tahu persis modus pencurian dan penggelembungan suara oleh caleg dan partai, baik caleg satu partai mapun beda partai serta dari partai yang satu ke partai yang lain.
Dengan pengalaman pribadi dimana suaranya dicuri oleh caleg lain dalam satu partai, Dr KRMT Roy Suryo yang kini menjadi Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB mengungkapkan secara rinci modus pencurian dan penggelembungan suara caleg maupun partai.
Berikut pengalaman empiris Dr KRMT Roy Suryo yang diungkapkan kepada beritabernas.com, Senin 4 Maret 2024.
Tulisan ini sedikit berbeda dengan tulisan-tulisan sebelumnya (yang biasanya erat dengan Ilmu Telematika, Multimedia, AI & OCB, sesuai kompetensi saya selama ini). Kali ini memang berdasarkan pengalaman empiris pribadi selaku nantan Anggota DPR-RI yang sempat menjabat selama dua periode atau 10 tahun (mulai 2009-2019). Jadi semua yang ditulis di sini adalah fakta yang tidak perlu diragukan kebenarannya.
Diawali tahun 2004, ketika status sama dengan sekarang (Pemerhati Telematika & Multimedia Independen, saat itu belum merambah AI & OCB), saya bersama 3 penggiat IT & media I Made Wiryana, Boediono Darsono & Heru Nugroho mendapat kepercayaan untuk merancang & membangun situs Web Kepresidenan pertama di Indonesia, yakni www.presidensby.info.
Karena situasi & kondisi saat itu mendorong perlunya mengawal UU ITE (Informasi & Transaksi Elektronik) Nomor 11/2008 yang ikut terlibat dalam perumusan & perancangannya, maka posisi di Komisi 1 DPR RI yang membidangi Kominfo, Pertahanan, Intelijen & Luar Negeri menjadi target profesi selanjutnya.
Proses standar pun diikuti, mulai dari menjadi Anggota Parpol tahun 2005, proses kaderisasi internal di Partai tersebut serta mendaftar jadiCaleg DPR RI untuk Pemilu 2009. Alhamdulillah situasi saat itu masih sangat obyektif, sangat jauh dari kondisi saat ini yang sangat pragmatis. Sejujurnya bahkan tidak perlu membeli suara dari rakyat sama sekali, karena mereka masih benar-benar melihat kapasitas dan kapabilitas calon-calonnya, bukan sekadar instan seperti sekarang.
Jadi biaya kampanye benar-benar hanya untuk publikasi luar ruang, itu pun dulu hanya dipilih Billboard / Baliho dan spanduk saja, tidak mencetak roundtag/ poster. Bahkan space tempat penempatan Billboard / Baliho tersebut banyak yag disumbangkan dari lokasi-lokasi milik iklan komersial, meski hanya dalam waktu terbatas (2 minggu sampai dengan maksimal sebulan), namun cara itu sudah cukup untuk proses sosialisasi nama, nomor urut dan tanda gambar Partai yang menjadi kendaraan politiknya.
Alhamdulillah, benar-benar tanpa money politics Rp 1 pun terpilih menjadi Caleg dengan suara terbanyak se Dapil DIY untuk semua Parpol dengan perolehan final 91.000 suara lebih. Angka 91.000 ini pun sebenarnya sudah dikurangi dari aslinya 140 ribu lebih di perhitungan awal, karena awalnya dihitung sudah mencapai angka 140 ribu, namun hari demi hari mengalami penyusutan hingga angka final 91.000, itu pun masih suara terbanyak.
Terus terang saat Pemilu 2009 tersebut saya tidak pernah ambil pusing soal kehilangan suara hampir 50.000 tersebut, namun saat Pemilu 2014 berlangsung, dimana posisi saya sempat digeser oleh Caleg lain, yang ironisnya yang bersangkuta dulu sempat menggantikan saya (selaku PAW/ Pergantian Antar Waktu) saat tahun 2013-2014 tugas dan jabatan lain harus saya emban yakni selaku Menteri Pemuda & Olahraga Di sinilah mulai concern bagaimana modus “pencurian” dan pemindahan suara ini mulai ditelaah.
Kerjasama antar oknum
Harus diakui pemindahan suara itu tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya kerjasama antara oknum Caleg, oknum Saksi (juga oknum Partai) yang bersangkutan dengan oknum penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPUD. Karena saat di TPS awal semua hasil masih murni berdasarkan surat suara, namun ketika dipindahkan/ ditulis dalam Form C1-Plano (sekarang C-Hasil) itulah, proses transaksional terjadi. Ketika oknum saksi sudah “dibeli” dan oknum KPUD sudah “dibayar”, maka fulus membuatnya semuanya mulus.
BACA JUGA:
- Menyoal Anomali Suara Partai Tertentu yang Mendadak Meroket
- Antara TSM dan Anomali Sirekap IT KPU 2024
Caleg dimungkinkan uuntuk memindahkan suara Caleg lain (bisa sesama Partai, dengan bantuan oknum saksi) atau lintas Partai dengan bantuan oknum KPUD tersebut. Pemindahannya pun bisa secara diam-diam alias mencuri atau memang transaksional (sepengetahuan Caleg lain yang bersedia dibeli suaranya), maka di sini dikenal istilah NPWP (Nomor Piro Wani Piro = Nomor Berapa Berani-bayar-Berapa).
Alhasil dengan cara-cara kotor dan curang tersebut saya sempat gagal langsung duduk di Senayan tahun 2014, karena secara curang perolehan suara telah “dipindahkan” ke Caleg lain yang ironisnya dulu yang bersangkutan dibantu masuk DPR melalui proses mekanisme PAW, meski ada Caleg lain yang sebenarnya lebih berhak. Karena yang bersangkutan sempat sudah mundur dari Partai, namun karena mendengar akan ada PAW kemudian “masuk” lagi diam-diam (mirip-mirip data di server KPU di Cloud Alibaba Singapore yang diam-diam juga dipindahkan kembali ke Indonesia).
Namun “Gusti Allah SWT memang Tidak Sare”, kalimat yang sering diucapkan saat itu benar-benar terjadi. Saya kembali bisa menjadi Anggota DPR RI kembali di tahun 2016 sampai selesai tahun 2019 setelah orang yang sempat mencuri suara saya dan berlaku curang sebelumnya, dipecat dari Partai karena terbukti Wanprestasi dan melanggar aturan di DPR.
Namun apa-apa yang pernah dilakukannya tersebut ternyata sekarang menjadi modus yang sering terjadi bahkan banyak diambil oleh Caleg sebagai “jalan pintas”. Daripada repot dan capai sosialisasi mereka hanya perlu kerjasama dengan oknum saksi dan KPUD tersebut untuk “nebas” (memotong) langkah di ujung saat perhitungan suara.
Oleh karenanya apa yang dilaporkan di Pemilu 2024 sekarang bahwa terjadi perpindahan suara Partai tertentu memang sangat dimungkinkan terjadi. Dalam pemberitaan di media mainstream (bukan abal-abal) tercatat setidaknya di TPS 004 Bulakan Cibeber, Cilegon Banten, misalnya, dari data Sirekap KPU, suara PSI tertulis punya 69 suara, sedangkan suara tidak sah 1. Namun jika dilihat dari foto C-Hasil yang diunggah di Sirekap KPUkondisi berbeda terlihat. Dalam foto C.Hasil suara PSI faktanya tertulis 1 suara, sedangkan suara tidak sah 69.
Fakta kedua terjadi di TPS 009, Bendoharjo, Gabus, Gerobogan, Jateng. Suara PSI dalam sistem Sirekap KPU tertulis 50 suara. Lalu, suara tidak sah 2. Namun setelah ditelusuri di foto C-Hasil, suara PSI faktanya tertera 2 suara, sedangkan suara tidak sah di foto C.Hasil mencapai 50 suara. Aneh? Tidak kalau melihat fakta empirik yang pernah dialami semenjak tahun 2009/2014 di atas. Waktu itu baru antar Caleg sesama Partai, kini modusnya sudah berkembang ke transaksional lintas Partai bahkan mengambil suara tidak sah yang sebelumnya tidak dimanfaatkan/ akan dimusnahkan.
Kesimpulannya, modus pencurian & penggelembungan suara sebagaimana yang banyak dilaporkan sekarang ini memang fakta dan sudah menjadi modus yang banyak dilakukan oleh oknum Caleg, oknum saksi, oknum Partai dan oknum penyelenggara Pemilu, bahkan semakin nekad, vulgar dan masif. Apalagi “didukung” oleh Sirekap IT KPU yang amburadul, dimana seharusnya bisa menjadi alat kontrol perhitungan namun malah menjadi salah satu faktor pembuat kekacauan Pemilu 2024 ini.
At last but not least, akankah masyarakat yang masih waras tetap tinggal diam melihat semua kecurangan ini? (Dr KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB, Anggota DPR-RI 2 periode, 2009-2019)
There is no ads to display, Please add some