Kandhange Rica, Resto di Yogyakarta yang Tumbuh Saat Pandemi Covid-19

beritabernas.com – Sri Hartini, staf keuangan di Universitas Respati Yogyakarta (Unriyo) berhasil menjalankan usaha kuliner Kandhange Rica dengan menu andalan Entok Rica. Restoran ini dibuka saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia, termasuk Yogyakarta.

Boleh dibilang restoran Kandange Rica ini dibuka karena kepepet. Betapa tidak, saat pandemi Covid-19 melanda Yogyakarta hampir semua aktivitas terhenti, termasuk usaha rumah makan. Mobilitas masyarakat terbatas sehingga banyak usaha yang macet.

Dalam keadaan normal biasanya kita menjalani hidup dengan santai dan tidak merasakan apa-apa. Begitu mengalir bahkan rutinitas belaka. Namun, saat kepepet atau dalam keadaan genting, otak kita justru bekerja lebih baik dan kreatif, termasuk membuka usaha. 

Berangkat dari kondisi yang kepepet itu, Sri Hartini atau Bu Tin membuka dan menjalankan usaha kuliner dengan nama Kandhange Rica dengan menu andalan Entok Rica. Usaha ini berawal dari kebingungan tingkat tinggi saat pandemi Covid-19 tahun 2020. Ketika itu, kampus tempat Bu Tin bekerja memberlakukan lockdown selama tiga minggu.  

“Setelah dua minggu di rumah tidak ada yang bisa dilakukan, saya merasa jenuh. Akhirnya saya berinisiatif berjualan kuliner,” kata Bu Tin, pada Rabu 25 Oktober 2023.

Rumah makan Kandhange Rica. Foto: Istimewa

Ide membuka usaha kuliner ini berasal dari salah satu keponakan Bu Tin yang lulusan S2 dari Korea Selatan. Menurut Bu Tin, mantan TKI di Korea memiliki komunitas di Yogyakarta dan kebanyakan kemudian beralih menjadi pengusaha. 

Saat pandemi Covid-19, mereka yang berusaha di bidang peternakan ayam broiler mengalami kesulitan untuk menyalurkan produksi ayam karena restoran yang biasa menerima pasokan ayam tutup. 

“Keponakan saya bilang, bulik kan banyak grup WA (whatsapp) minta bantuan dong jual atau tawarkan ayam ke grup-grup yang ada, cukup balik modal aja. Ketika itu seekor ayam hanya Rp 9 ribu. Saya pun membantu menjual ayam tersebut. Saya posting gambar ingkung atau daging ayam mentah utuh dan ternyata sambutannya bagus,” kata Bu Tin.

Karena jualan lewat grup WA lancar, Bu Tin pun merambah masuk ke perumahan-perumahan di sekitar tempat tinggalnya. Lagi- lagi dagangan daging ayamnya laris manis. 

Bu Tin pun mengembangkan usaha dengan menjual rica-rica. “Suatu saat salah satu pelanggan saya bilang, bu mbok jual yang matang juga to. Waktu itu daging ayam saya olah tongseng. Dua hari kemudian ada yang minta buat lagi tapi lebih pedas. Kalau gitu saya masak bumbu rica-rica ya,” kata Bu Tin kepada pemesan.

Ternyata cocok. Permintaan pelanggan pun terus berubah yang mengantarkan Bu Tin menemukan menu andalan yang akhirnya menjadi trade mark usaha kulinernya yakni Entok Rica-Rica. Bahkan jadi nama kedai makannya hingga kini: Kandhange Rica.

“Setelah puas beberapa kali rica-rica ayam broiler, ibu itu, pelanggan yang sama, minta dimasakan pake ayam kampung, ibu itu pula yang kemudian mengusulkan pakai entok. Setelah 2 minggu, ibu itu bilang bahwa dari semua bahan, entok adalah yang paling pas dimasak rica-rica,” kata Bu Tin.

Akhirnya, selain melayani pemesanan daging ayam, Bu Tin juga melayani pemesanan masakan rica-rica dengan tiga pilihan yakni ayam broiler, ayam kampung atau entok. 

Setelah kampus buka offline, Bu Tin mulai memposting masakan rica-rica kepada teman-teman dosen, maupun karyawan. Sambutan mereka pun cukup menggembirakan. “Kalau para dosen pesan per ekor, staf atau karyawan minta per pak sekali makan. Di situ saya harus berpikir ulang lagi untuk bisa menentukan harga satu paket nasi rica-rica. Kalau per ekor kan gampang, tinggal berapa kilo ketemu harganya,” katanya.

Dalam 2 tahun pandemi, Bu Tin menjalani usaha kuliner entok rica-rica secara online. Melihat perkembangan usaha kuliner cukup menjanjikan, ia pun memutuskan untuk membuka kedai makan. Lagi-lagi ide datang dari sang keponakan.

BACA JUGA:

Bulik mbok buka tempat tongkrongan yang jual per porsi. Jadi ini bukan usaha yang terencana, semuanya mengalir begitu saja sejak Covid-19 merebak tahun 2020 hingga Januari 2022 saya buka warung ini,” kata Bu Tin. 

Awal buka warung atau resto, Bu Tin lebih banyak menerima pesanan untuk acara seperti arisan, pertemuan di kantor, rapat dan sebagainya. “Waktu itu pas omicron lagi marak saya buka warung. Karena saya memasak berdasarkan pesanan, tidak ada risiko sedikit pun. Tinggal memberikan pilihan tingkat kepedasan saja. Tidak pedas, agak pedas dan pedas,” jela Bu Tin.

Kandhange Rica buka mulai pukul 09.00 pagi hingga pukul 20.00 malam. “Tapi kalau ada tetangga datang meski dalam proses tutup saya layani,” ujar Bu Tin seraya tersenyum. 

Untuk orderan makan sebuah acara berapapun anggarannya ia tetap menerima, tinggal disesuaikan paket per orang. “Semua dilayani meski anggarannya minim, bisa disesuaikan, misalnya ayamnya broiler, kalau ayam kampung atau entok yang tentu lebih besar anggarannya,” ucapnya. 

“Kadang 20 ribu per pak sudah dapat minum, snack dan nasi rica (ayam broiler), karena rombongan jadi dapat lah,” katanya.

Setelah membuka warung, Bu Tin mengaku pelanggan online berkurang. Karena mereka kemudian memilih datang langsung ke warung. “Pelanggan online masih ada ya cuma berkurang, masih jualan lewat  medsos seperti Instagram tapi memang belum digarap serius. Ke depan saya akan cari orang yang khusus garap medsos,” ujarnya.  

Memimpin tim masak

Mengenai keahlian memasak, Bu Tin mengaku awalnya suka mencermati orang memasak. “Kalau ada saudara punya hajat kan memasak banyak untuk tamu. Biasanya saya amati dari mulai belanja, terus menakar bumbu untuk masak banyak itu kan perlu rumus. Kalau tidak, masakan bisa hambar atau terlalu asin misalnya,” paparnya.

Nah, biasanya orang-orang yang memasak saat hajatan tidak memiliki kemampuan untuk itu. “Mereka perlu dipimpin dan diarahkan, sayalah yang biasanya memimpin tim tukang masak. Karena sering mengamati, saya akhirnya paham dan punya rumus atau formulanya,” ujarnya.

“Biasanya formulanya untuk kiloan. Misalnya satu kilo daging perlu bumbu sekian siung bawang merah, bawang putih atau pun cabe. Sudah ada takaran baru sehingga rasa tetap terjaga,” ucap Bu Tin.

Untuk menjaga rasa rica-rica, Bu Tin mempertahankan pengolahan bumbu tetap dilakukan manual, tidak menggunakan alat bantu. “Semua bumbu tetap saya ulek pakai tangan bukan diblender. Diblender memang meringankan tugas, tapi menghilangkan cita rasa otentik dan justru boros. Untuk satu kilo daging kalau diulek cukup 10 bawang merah, misalnya, dengan diblender perlu 20 bawang. Memang bumbu jadi halus teksturnya, tapi rasanya berkurang dan boros,” imbuhnya.

Tempat kuliner Kandhange Rica. Foto: Istimewa

Meski lebih berat, namun Bu Tin tetap bertahan untuk mengulek bumbu dengan cobek. “Ya memang harus saya lakukan, karena rasanya beda banget., Justru dengan diulek itu tidak terlalu lembut jadi ada sensasi tersendiri saat makan kadang ketemu cabe, bawang atau merica yang belum tergerus itu taste-nya rica-rica itu kena banget, gitu,”  katanya.

Bungsu dari 7 bersaudara

Sri Hartini atau Bu Tin merupakan putri bungsu dari 7 bersaudara dari ayah Suwaji dan Ibu Suminem. “Saya paling kecil, paling disayang,” katanya.

Seperti lazimnya orang Jawa zaman dulu, begitu menikah pasangan Suwaji dan Suminem memiliki nama sepuh Martopujono, yang kemudian akrab disapa Mbah Pujo. Sebagian besar saudara Sri Hartini tinggal di Samarinda.

Sri Hartini mempunyai 3 anak yakni perempuan, laki-laki dan perempuan. Yang pertama sudah menikah, nomor dua sedang kuliah S1 fisiotherapy dan nomor tiga lagi masuk semester I di Fakultas Psikologi UII. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *