Oleh: Rahma Hairunnisa Regita Putri
beritabernas.com – Korupsi dan politik ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan dalam sejarah pemerintahan di banyak negara, termasuk Indonesia. Skandal korupsi yang melibatkan elite politik tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi dan pemerintahan.
Di tengah upaya global memberantas korupsi, kasus-kasus baru terus bermunculan, memperlihatkan betapa akar masalah ini masih dalam dan sistemik. Pada tahun 2024, Indonesia kembali dihebohkan dengan penangkapan seorang menteri kabinet terkait kasus korupsi proyek infrastruktur senilai Rp 400 miliar. Kasus ini bukan hanya menggambarkan praktik korupsi yang masif, tetapi juga menyingkap jaringan politisi, pengusaha dan birokrat yang saling berkongkalikong. Di tingkat global, laporan Transparency International (2023) mencatat bahwa 68% populasi dunia percaya bahwa korupsi masih merajalela di pemerintahan mereka.
Korupsi sebagai bagian dari politik uang
Korupsi di ranah politik sering kali bersifat struktural dan terinstitusionalisasi. Di Indonesia, misalnya, biaya politik yang tinggi dalam pemilihan umum (pemilu) mendorong calon pejabat untuk mencari pendanaan ilegal, termasuk melalui penggelapan anggaran negara atau menerima suap dari proyek-proyek pemerintah.
Menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI), 78% masyarakat Indonesia pada 2024 menyatakan tidak percaya pada partai politik karena dianggap sebagai sarang korupsi. Contoh nyata adalah kasus korupsi dana bansos COVID-19 pada 2020 yang melibatkan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara. Meski sudah diadili, kasus ini meninggalkan trauma kolektif, terutama karena dana tersebut seharusnya menyelamatkan masyarakat miskin di tengah pandemi. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa total kerugian negara akibat korupsi pada 2023 mencapai Rp 10,7 triliun, naik 15% dari tahun sebelumnya.
BACA JUGA:
- Korupsi, Penyakit Kronis yang Menghambat Kemajuan Bangsa
- Triliunan Rupiah Dana APBN untuk Buzzer, Bagaimana Pertanggungjawaban Jokowi
- Pemimpin Narsistik Penghambat Kemajuan Indonesia
Korupsi telah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga demokrasi, fondasi utama stabilitas sosial. Skandal korupsi yang berulang tidak hanya menciptakan krisis kepercayaan, tetapi juga memperdalam ketimpangan ekonomi. Survei Indikator Politik Indonesia (2024) mengungkapkan bahwa 65% masyarakat meyakini korupsi sebagai akar masalah ketidakadilan ekonomi.
Ketika pejabat yang seharusnya menjadi pelayan publik terbukti menyalahgunakan kekuasaan, legitimasi pemerintah di mata rakyat pun runtuh. Contoh nyata terjadi pada kasus korupsi di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2023, di mana mantan Menteri Edhy Prabowo mengalihkan dana bantuan alat tangkap untuk kepentingan pribadi, membuat nelayan kecil kehilangan harapan sekaligus keyakinan terhadap program pemerintah.
Dampak kekecewaan ini tidak berhenti di situ. Masyarakat yang frustrasi cenderung menarik diri dari partisipasi politik, seperti terlihat dalam survei Litbang Kompas (2024) yang menunjukkan 52% pemilih muda Indonesia enggan mencoblos partai politik karena menganggap mereka “tidak berbeda”. Fenomena ini mengancam sendi demokrasi, karena partisipasi publik adalah nadi dari sistem yang sehat.
Di tingkat ekonomi mikro, korupsi mengalihkan dana pembangunan ke kantong pribadi, memperparah kemiskinan dan ketimpangan. Di Afrika Selatan, skandal korupsi mantan Presiden Jacob Zuma senilai Rp500 miliar memicu kerusuhan sosial tahun 2021 akibat melonjaknya pengangguran dan kelaparan.
Pola serupa terlihat di Indonesia, seperti kasus korupsi proyek jalan tol Sumatra awal 2024 yang merugikan negara Rp 400 miliar-dana yang seharusnya bisa membangun 20 sekolah atau 4 puskesmas. Modusnya melibatkan markup anggaran, suap pengadaan alat berat, hingga pencucian uang melalui perusahaan fiktif. Dokumen KPK mengungkap seorang menteri kabinet menerima fee 10% dari setiap proyek, sementara kontraktor mengaku membayar Rp 50 miliar untuk memenangkan tender. Aset menteri tersebut, termasuk apartemen mewah di Singapura dan saham perusahaan teknologi, terbukti berasal dari dana haram.
Skandal ini memicu kemarahan publik, terutama karena terjadi di tengah inflasi tinggi dan kenaikan harga bahan pokok. Survei Charta Politica (2024) mencatat 82% masyarakat menuntut hukuman maksimal bagi koruptor, termasuk pencabutan kekebalan hukum pejabat. Respons pemerintah terhadap tekanan ini terlihat melalui beberapa upaya reformasi, seperti penguatan KPK dengan sistem pelaporan kekayaan pejabat (LHKPN) berbasis blockchain untuk mencegah manipulasi. Namun, revisi UU KPK tahun 2019 yang mencabut kewenangan penyadapan masih menjadi hambatan serius.
Kolaborasi internasional juga digalakkan, seperti kerja sama dengan Financial Action Task Force (FATF) untuk melacak aset koruptor di luar negeri. Pada 2023, Indonesia berhasil menyita Rp 1,2 triliun aset mantan pejabat yang disembunyikan di Swiss dan Singapura. Di sisi edukasi, program “Integritas Akademik” diperkenalkan di sekolah dan kampus, meski anggaran Rp 200 miliar dinilai tidak sebanding dengan kerugian akibat korupsi.
Negara seperti Georgia dan Estonia menjadi contoh sukses pemberantasan korupsi melalui inovasi. Estonia mengurangi 80% kasus korupsi dengan sistem e-governance yang meminimalkan interaksi manusia, sementara Georgia memberantas suap di kepolisian melalui reformasi radikal dan digitalisasi layanan. Namun, implikasi jangka panjang korupsi tetap mengkhawatirkan. Masyarakat yang frustrasi berpotensi beralih ke populisme atau pemimpin otoriter yang menjanjikan perubahan instan, seperti terjadi di Filipina di era Rodrigo Duterte. Di Indonesia, survei Alvara Research Center (2024) menemukan 34% pemuda lebih memilih pemimpin otoriter jika mampu memberantas korupsi-pertanda bahaya bagi masa depan demokrasi.
Pemulihan kepercayaan publik terhadap institusi negara tidak bisa diraih hanya melalui retorika atau janji kosong. Dibutuhkan aksi nyata yang sistematis, konsisten, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Pertama, penegakan hukum tanpa tebang pilih menjadi kunci utama. Koruptor dari level tertinggi hingga rendah harus diadili secara adil, tanpa perlindungan politik atau kekebalan hukum. Contoh nyata bisa diambil dari Singapura, di mana pejabat tinggi yang terbukti koruptor dihukum berat, bahkan dijatuhi sanksi finansial hingga pencabutan hak sipil.
BACA JUGA TULISAN LAINNYA:
- Aneh, Kasus Korupsi Lama Diproses dan Kasus Korupsi Baru Didiamkan
- Politisasi Hukum di Balik Pemeriksaan KPK Terhadap Hasto Kristiyanto
Di Indonesia, hal ini mensyaratkan independensi lembaga penegak hukum seperti KPK dan kejaksaan dari intervensi politik. Hukuman yang tegas-seperti pengembalian kerugian negara dilipatgandakan, pencabutan hak politik seumur hidup, atau penyitaan aset keluarga koruptor-dapat menjadi efek jera yang lebih kuat dibandingkan hukuman penjara yang sering kali dipersingkat melalui remisi.
Kedua, transparansi anggaran melalui teknologi real-time harus dioptimalkan. Penggunaan platform digital untuk memantau aliran dana publik secara langsung dapat meminimalisasi celah korupsi. Misalnya, sistem e-budgeting berbasis blockchain yang tidak bisa dimanipulasi atau diubah sepihak. Teknologi ini sudah diadopsi di beberapa daerah di Indonesia, seperti DKI Jakarta, melalui aplikasi JAKI yang memungkinkan warga melacak penggunaan APBD.
Di tingkat nasional, pemerintah perlu memperluas inisiatif seperti Open Budget Indonesia, di mana setiap rupiah dari proyek infrastruktur hingga bantuan sosial ditampilkan secara detail dan dapat diakses publik. Transparansi ini tidak hanya mencegah korupsi, tetapi juga membangun akuntabilitas. Masyarakat akan lebih percaya ketika mereka bisa melihat langsung bagaimana dana pajak mereka digunakan, seperti di Korea Selatan yang berhasil mengurangi korupsi melalui sistem e-procurement terbuka.
Ketiga, pendidikan politik yang membangun kesadaran kritis harus menjadi prioritas. Masyarakat perlu memahami bahwa korupsi bukan hanya kejahatan individu, tetapi sistemik dan merusak hak-hak dasar mereka. Kurikulum anti-korupsi di sekolah harus diperkuat dengan studi kasus realitas korupsi di Indonesia, bukan sekadar teori.
Di Denmark, misalnya, nilai integritas dan kejujuran ditanamkan sejak taman kanak-kanak melalui permainan peran dan diskusi etika. Di Indonesia, program seperti Saya Sudah Antikorupsi bisa diintegrasikan dengan kampanye kreatif di media sosial, podcast, atau kolaborasi dengan influencer untuk menjangkau generasi muda. Selain itu, pelatihan advokasi bagi masyarakat sipil untuk melaporkan korupsi melalui aplikasi seperti LAPOR! atau platform whistleblower perlu digencarkan.
Kolaborasi multisektoral adalah tulang punggung restorasi ini. Pemerintah harus membuka ruang dialog dengan lembaga antikorupsi seperti KPK dan Ombudsman untuk menyusun regulasi yang lebih efektif. Media berperan sebagai watch dog dengan investigasi mendalam dan pemberitaan yang objektif, bukan sekadar sensasi.
Masyarakat sipil, termasuk akademisi, aktivis, dan organisasi keagamaan, perlu dilibatkan dalam pengawasan kebijakan publik. Contoh konkret adalah gerakan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang aktif mengadvokasi kasus korupsi melalui riset dan tekanan publik. Di tingkat internasional, kolaborasi dengan lembaga seperti Interpol atau UNODC diperlukan untuk mengejar aset koruptor yang kabur ke luar negeri.
Pepatah Afrika, “Jika ingin berjalan jauh, berjalanlah bersama,” mengingatkan bahwa korupsi adalah masalah kolektif. Tanpa sinergi, upaya pemberantasan korupsi hanya akan menjadi lingkaran setan. Misalnya, jika KPK menangkap koruptor, tetapi pengadilan lemah dalam menghukum atau media tidak mengangkat kasusnya, publik akan tetap skeptis. Sebaliknya, ketika semua pihak bergerak bersama-pemerintah memperkuat regulasi, KPK menindak tegas, media mengawasi, dan masyarakat aktif mengkritik-maka korupsi bisa diputus dari akarnya.
Meski langkah-langkah di atas terdengar ideal, tantangan nyata seperti birokrasi yang lamban, budaya patriarki dalam pengambilan keputusan, dan oligarki politik masih menghantui. Namun, contoh keberhasilan seperti Georgia yang memberantas korupsi di kepolisian melalui reformasi radikal dan digitalisasi layanan publik membuktikan bahwa perubahan mungkin terjadi.
Di Indonesia, momentum seperti gerakan #ReformasiDikorupsi pada 2019 menunjukkan bahwa masyarakat, terutama generasi muda, memiliki kekuatan untuk mendorong perubahan. Pemulihan kepercayaan publik adalah proses panjang yang membutuhkan konsistensi. Namun, dengan komitmen bersama, korupsi bukan hanya bisa dikurangi, tetapi juga dijadikan momok yang ditakuti oleh setiap pejabat. Pada akhirnya, kepercayaan publik yang pulih akan menjadi fondasi bagi demokrasi yang sehat, ekonomi yang inklusif, dan keadilan sosial yang merata. (Rahma Hairunnisa Regita Putri, Mahasiswa Universitas Cendekia Mitra Indonesia)
There is no ads to display, Please add some