Oleh: Saiful Huda Ems
beritabernas.com – Perilaku penyidik KPK RPB ketika memeriksa Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan stafnya, Kusnadi, sangat menarik untuk dicermati. Sebab, apa yang dilakukan RPB adalah sebuah prilaku yang tidak profesional, tidak proporsional dan malah memperburuk citra Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Apa yang dilakukan RPB menguatkan dugaan bahwa ada kekuatan besar di belakangnya yang ingin mempolitisasi kasus hukum Harun Masiku (HM) dengan menyeret-nyeret nama Hasto Kristiyanto. Pesan yang disampaikan jelas: “Handphone disita beserta buku catatan penting partai telah disita. Jangan persoalkan lagi kecurangan Pemilu; jangan kritik lagi Presiden Jokowi atau isi buku dan HP dibocorkan.”
Sekadar untuk diketahui, RPB sebagai Penyidik KPK seharusnya hanya boleh memeriksa Hasto dan sama sekali tidak boleh memeriksa Kusnadi. RPB sendiri bertugas kembali di KPK sejak 14 Mei 2020, setelah ia ditarik ke Polri.
RPB kembali ke KPK berdasar keputusan dari Pimpinan KPK atas permintaan dari Polri. Sedangkan dari para analis politik dan dari gelombang protes para guru besar atau akademisi serta ribuan mahasiswa dari ratusan perguruan tinggi di berbagai kota besar dan pelosok negeri ini menjelang dan sesudah Pilpres 2024, kita tahu di Pilpres 2024, rezim nepotis telah terang-terangan menyeret-nyeret alat negara untuk memenangkan Capres-Cawapres yang didukungnya. Begitu banyak intimidasi yang dilakukan aparat penegak hukum tersebut.
BACA JUGA:
- Siapa Dalang di Balik Upaya Kriminalisasi Hasto Kristiyanto?
- Mengapa Wawancara Mas Hasto di Televisi Harus Dipolisikan?
- Rektor UII Ungkapkan “Kekesalan” Lewat Puisi Berjudul Terserah Kamu
Berdasarkan latar belakang politik seperti itu, kita akhirnya menjadi mengerti, kenapa perlakuan penyidik KPK RPB yang berlatar belakang Polri terhadap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan stafnya terasa menggelikan dan berpotensi melanggar hukum.
Tindakannya merampas barang melalui perbuatan bohong terhadap staf Hasto, yakni Kusnadi, yang mengatakan pada Kusnadi bahwa ia dipanggil Hasto di ruang pemeriksaan, kemudian merampas handphone, tas dan buku catatan rahasia PDI Perjuangan milik Hasto dengan menyamar memakai topi dan masker serta melakukan pemeriksaan pada Kusnadi selama 3 jam tanpa surat panggilan adalah pelanggaran etik yang sangat berat.
Institusi KPK sepertinya telah dikorbankan oleh RPB, yang entah atas perintah dari “orang kuat” siapa. Penguasa rezim nepotis di istanakah? Entahlah. Keputusan Mahkamah Konstitusi memang telah mengubah prosedur tindakan KPK yang berkaitan dengan upaya paksa, dari meminta izin menjadi sebatas pemberitahuan pada Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Namun jika penyidik KPK sudah memberitau pada Dewas KPK, mengapa RPB harus memakai topi dan masker serta berbohong pada Kusnadi untuk melakukan penyitaan pada barang-barang milik Hasto dan PDI Perjuangan yang dititipkan Hasto pada Kusnadi? Tidakkah ada cara lain yang lebih terhormat untuk meminta keterangan dari saksi apalagi pada orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan kasus yang sedang ditangani?
Dengan perampasan barang berupa buku dan handphone yang di dalamnya ada rahasia partai, maka itu menjadi bukti motif utama dari RPB. Lalu siapa orang yang berada di belakang RPB? Atas dasar hal itu, Kapolri seharusnya mengambil tindakan tegas terhadap perilaku anak buahnya yang melakukan penegakan hukum dengan melanggar hukum, berbuat bohong, mengelabui dan melakukan perampasan aset milik pihak lain serta menyembunyikan identitas dengan memakai masker dan topi.
Sekiranya tidak ada motif politik, seharusnya RPB secara baik-baik menemui penasehat hukum dan kemudian membahas pemeriksaan handphone dan secara bersama-sama dilihat keterkaitan dengan pokok perkara.
Apa yang terjadi pada peristiwa pemeriksaan Hasto itu, sepertinya sangat berkorelasi dengan sikap kritis Hasto yang mempersoalkan kecurangan Pemilu dan bagaimana yang bersangkutan mengungkapkan kerusakan demokrasi, hukum dan berbagai abuse of power presiden serta pengkhianatan Jokowi.
Saat itu sumber daya negara dan alat-alat negara, termasuk Polri telah disalahgunakan. Kini oleh oknum-oknum KPK melalui RPB cara-cara yang sama telah diterapkan. Tindakan intimidasi yang dilakukan terhadap Kusnadi dengan memeriksa selama 3 jam dengan berbagai prosedur, menggunakan diksi agama tentang surga dan neraka adalah pelanggaran etika berat yang seharusnya tak perlu dilakukan oleh seorang penyidik KPK. (Saiful Huda Ems (SHE), Lawyer and Journalist)
There is no ads to display, Please add some