beritabernas.com – Kalimantan, pulau yang kaya akan hutan tropis, sungai-sungai yang mengalir deras dan keragaman hayati yang luar biasa, kini menyimpan kisah pilu di balik pesona alamnya. Pulau yang menjadi rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna serta masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan alam, kini sedang berjuang menghadapi ancaman yang datang bertubi-tubi. Alam yang dulunya penuh dengan kedamaian kini menangis dalam diam, tertindas oleh ketamakan yang semakin tak terkontrol.
Kalimantan, dengan hutan-hutan tropis yang luas, pernah menjadi paru-paru dunia. Hutan-hutannya yang lebat menjadi tempat hidup bagi orangutan, bekantan dan berbagai spesies endemik lainnya. Namun, seiring berjalannya waktu, hutan-hutan itu mulai tergerus, satu per satu, oleh kepentingan ekonomi yang lebih mendahulukan keuntungan sesaat ketimbang keberlanjutan alam itu sendiri.
Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, penebangan liar, dan pertambangan yang tidak terkendali telah merenggut sebagian besar kekayaan alam Kalimantan. Dalam hitungan tahun, apa yang dulunya merupakan hutan lebat kini hanya menyisakan lahan gersang dan kebakaran hutan yang tak kunjung padam.

Dalam setiap hembusan angin yang membawa debu dari kebakaran hutan, ada bisikan pilu dari alam yang tengah berjuang. Setiap tetes hujan yang turun ke tanah Kalimantan membawa dampak yang jauh lebih besar. Bukan lagi kesuburan tanah yang bisa dirasakan, melainkan tanah yang kering dan tandus akibat kebakaran hutan yang terus berulang. Sungai-sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan bagi penduduk Kalimantan kini tercemar oleh limbah-limbah pertambangan dan pembakaran. Air yang seharusnya memberi kehidupan justru mengancam dengan racun yang dibawanya.
Masyarakat Kalimantan, terutama mereka yang berasal dari suku Dayak dan komunitas adat lainnya, adalah saksi bisu dari kehancuran ini. Mereka yang telah hidup serasi dengan alam selama ratusan tahun kini terpaksa melihat tanah leluhur mereka dihancurkan. Mereka tak hanya kehilangan hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka, tetapi juga menghadapi ancaman terhadap budaya mereka. Tanah yang mereka kelola dengan kearifan lokal kini dirampas oleh perusahaan besar yang datang dengan janji palsu pembangunan.
Kehilangan yang mereka rasakan bukan hanya sekadar fisik-tanah, hutan dan sungai. Lebih dari itu, mereka kehilangan identitas sebagai bagian dari alam itu sendiri. Kalimantan adalah rumah mereka, bukan hanya tempat mereka tinggal, tetapi juga bagian dari jiwa mereka. Kini, rumah itu sedang dihancurkan oleh tangan-tangan yang tak tahu bagaimana cara menghargai alam dan warisan yang telah ada sejak ribuan tahun lalu.
Di antara kehancuran ini, ada satu nama yang selalu disebut dalam keheningan, orangutan Kalimantan. Mungkin kita tidak bisa mendengar tangisan mereka, tapi setiap kali habitat mereka dihancurkan, setiap kali mereka terjebak dalam jerat kebakaran hutan, ada sepotong hati alam yang turut hancur. Orangutan yang dulu bebas bermain di atas pohon kini terpaksa merangkak mencari tempat perlindungan yang semakin terbatas. Mereka adalah simbol dari kehancuran yang terjadi di Kalimantan, simbol dari ketidakpedulian kita terhadap nasib alam dan makhluk hidup lainnya.
BACA JUGA:
Kalimantan adalah pulau yang seharusnya kita jaga dan pelihara, bukan hanya karena kekayaan alamnya, tetapi karena kehidupan yang ada di dalamnya. Di sana, setiap pohon yang tumbuh, setiap sungai yang mengalir, dan setiap hewan yang hidup adalah bagian dari keseimbangan yang rapuh dan sangat berharga. Namun, kita sering kali lupa bahwa alam memiliki batas kesabaran. Ketika kita terus-menerus mengeksploitasi dan merusaknya, kita hanya akan menemui kehancuran yang tidak terelakkan.
Sudah saatnya kita berhenti menjadi penonton dalam tragedi ini. Sudah saatnya kita menghentikan kebijakan yang merusak dan mulai berpikir tentang masa depan Kalimantan yang lebih baik. Jika kita tidak segera bertindak, maka Kalimantan yang kita kenal hari ini akan menjadi cerita yang hanya bisa kita kenang. Sebuah pulau yang dulunya hijau, subur, dan kaya, kini berubah menjadi sisa-sisa kehancuran yang tak akan bisa diperbaiki lagi.
Pulauku Kalimantan, maafkan kami yang telah begitu banyak melupakanmu. Kami berjanji akan mulai mendengarkan jeritmu, dan berusaha untuk memperbaiki segala yang telah kami rusak. Semoga waktu masih memberi kesempatan bagi kami untuk menyelamatkanmu sebelum semuanya terlambat. (Andreas Chandra, Mahasiswa FH UAJY)