Oleh: Andreas Chandra
beritabernas.com – Di tanah yang telah mereka pijak selama ratusan bahkan ribuan tahun, masyarakat adat kini dipaksa menjadi tamu. Mereka tidak lagi menjadi pemilik, tetapi dianggap penghalang bagi pembangunan yang katanya membawa kemajuan.
Ironi ini terus berulang terhadap orang-orang yang menjaga hutan, sunga, dan gunung. Mereka justru disingkirkan atas nama investasi, infrastruktur, kepentingan negara dan eksploitasi sumber daya alam yang sangat riskan dan membabi buta demi kekayaan dan kepentingan oknum.
Sejak dulu, masyarakat adat hidup berdampingan dengan alam. Mereka tidak mengenal konsep kepemilikan tanah seperti dalam sistem kapitalis modern. Bagi mereka, tanah adalah ibu yang memberikan kehidupan. Namun, bagi korporasi dan pemerintah yang berorientasi pada keuntungan, tanah hanyalah komoditas yang bisa dijual, dibeli, dan dirusak sesuka hati.
Dengan dalih pembangunan, masyarakat adat seringkali diusir dari wilayah mereka sendiri. Perusahaan tambang, perkebunan kelapa sawit hingga proyek-proyek infrastruktur raksasa menjadi dalih untuk menggusur mereka. Surat-surat izin diberikan kepada investor dengan mudah, sementara masyarakat adat yang telah turun-temurun menghuni tanah itu dianggap tidak memiliki hak legal. Hutan adat diklaim sebagai hutan negara, lalu dijual kepada pemodal asing atau konglomerat rakus yang hanya peduli pada pundi-pundi mereka.
Ketika masyarakat adat berjuang mempertahankan hak mereka, negara justru menjadi alat represi. Aparat keamanan kerap diterjunkan untuk mengawal proyek-proyek perampasan tanah. Mereka yang berani melawan akan berhadapan dengan intimidasi, kriminalisasi, dan bahkan kekerasan fisik.

Sudah banyak kasus di mana tokoh-tokoh adat dipenjarakan hanya karena menuntut hak mereka. Bahkan, tidak sedikit yang berujung pada kematian akibat bentrok dengan aparat atau preman bayaran perusahaan. Hukum yang seharusnya melindungi, justru digunakan sebagai senjata untuk menekan mereka. Sungguh sangat miris karena seharusnya hukum menjadi payung bagi masyarakat, khususnya masyarakat adat, malah menjadi senjata bagi oknum yang memiliki kepetingan pribadi.
Di sisi lain, pemerintah justru memberikan karpet merah bagi korporasi. Peraturan dan kebijakan dibuat untuk mempermudah investasi tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi masyarakat lokal. Hak Ulayat mereka dicabut, sementara kompensasi dan kesejahteraan yang dijanjikan jarang sekali terealisasi. Bahkan mereka menangis memikirkan hari esok bagaimana nasib anak cucu yang tidak bisa lagi menikmati dan melihat hutan yang di jaga dan diperjuangkan sampai harus mencucurkan darah demi menjaga tanah ulayat itu dari para penjajah agar anak cucu bisa merasakan alam yang alami serta kekayaan dan keindahan yang ada di situ hanyalah mimpi yang gelap.
Ekonomi eksploitasi dan pemiskinan struktural
Salah satu alasan utama di balik penggusuran masyarakat adat adalah eksploitasi sumber daya alam. Tanah yang mereka huni menyimpan kekayaan luar biasa, seperti emas, batu bara, minyak dan berbagai komoditas bernilai tinggi. Namun, keuntungan dari eksploitasi ini tidak pernah mereka rasakan.
Sebaliknya, mereka justru semakin terpinggirkan dan dimiskinkan. Seharusnya mereka adalah orang yang sangat berjasa dengan menjaga hutan alam dan seisinya mendapatkan penghargaan, akan tetapi mereka tidak memerlukan itu. Yang mereka mau hanya pemerintah memiliki cinta yang sama seperti mereka menjaga alam.
Pembangunan berbasis ekstraksi yang digembar-gemborkan pemerintah tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat adat. Mereka kehilangan tanah, kehilangan mata pencaharian dan akhirnya dipaksa menjadi buruh kasar di tanah mereka sendiri. Para investor datang, mengeruk keuntungan, lalu pergi meninggalkan kehancuran ekologis dan sosial. Mereka hanyalah korban dari penjajahan itu yang setiap hari merenung dan menangis meratapi apa yang sudah terjadi. Dimana keadilan bagi mereka?
Meskipun terus ditekan, masyarakat adat tidak tinggal diam. Mereka terus melawan dengan berbagai cara, dari aksi demonstrasi, advokasi hukum, hingga menggalang solidaritas dengan berbagai pihak. Di berbagai daerah, perjuangan masyarakat adat semakin mendapat dukungan dari kelompok-kelompok sipil, akademisi, dan bahkan masyarakat internasional.
Namun, perlawanan mereka seringkali dihadang dengan strategi licik: kooptasi. Beberapa pemimpin adat “dibeli” oleh kepentingan korporasi, sementara perpecahan sengaja diciptakan agar komunitas adat lemah dan mudah dikendalikan. Meski demikian, masih banyak yang tetap teguh mempertahankan tanah mereka, karena bagi mereka, ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal identitas, budaya dan keberlangsungan hidup generasi mendatang.
Keadilan bagi masyarakat adat tidak akan datang dengan sendirinya. Butuh keberanian politik untuk mengubah sistem yang timpang ini. Pemerintah harus berhenti menjadi kaki tangan investor dan mulai berpihak pada rakyatnya sendiri.
Beberapa langkah yang bisa diambil untuk membela hak masyarakat adat antara lain, pertama, pengakuan hak ulayat. Pemerintah harus segera mengesahkan dan memperkuat perlindungan terhadap tanah adat dan memastikan bahwa keputusan terkait lahan harus melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik sah.
BACA JUGA:
- Tata Kelola Dana Desa: Antara Kesejahteraan Rakyat dan Korupsi
- Negara Dikendalikan Mafia
- Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan terhadap Masyarakat Lokal yang Terdampak
Kedua, Moratorium Eksploitasi SDA di Wilayah Adat. Semua izin tambang, perkebunan, dan proyek infrastruktur di wilayah adat harus dievaluasi ulang dan dihentikan jika terbukti merugikan komunitas lokal. Ketiga, Penegakan Hukum yang Berpihak pada Rakyat. Kriminalisasi terhadap pejuang adat harus dihentikan, dan para pelaku perampasan tanah harus diadili.
Keempat, Model Pembangunan Berbasis Masyarakat Adat. Pembangunan ekonomi tidak harus selalu berbasis eksploitasi. Model ekonomi berbasis kearifan lokal harus menjadi prioritas, dengan memastikan masyarakat adat berdaulat atas sumber daya mereka sendiri. Kelima, Edukasi dan Penguatan Kapasitas. Masyarakat adat perlu didukung dengan akses pendidikan, pelatihan, dan teknologi agar dapat berdaya dalam mempertahankan hak mereka.
Masyarakat adat bukan hanya sekadar komunitas yang tinggal di pedalaman. Mereka adalah penjaga bumi, benteng terakhir yang melawan kehancuran ekologis akibat kerakusan manusia modern. Jika mereka terusir, jika hutan mereka ditebang, jika sungai mereka tercemar, maka bukan hanya mereka yang akan menderita, tetapi kita semua.
Sudah waktunya kita berhenti diam. Kita harus berdiri bersama mereka, menolak ketidakadilan, dan menuntut perubahan. Jika tidak, maka kita akan menjadi saksi dari kehancuran peradaban yang kita biarkan terjadi di depan mata kita sendiri. (Andreas Chandra, Mahasiswa FH UAJY)
There is no ads to display, Please add some