Putusan PN Jakarta Pusat Terkait Penundaan Pemilu, Dr Zaki Sierrad: Kudeta Tak Berdarah

beritabernas.com – Dr Zaki Sierrad SH CN MH dari Freedom 1987 Law Firm menilai putusan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat untuk menunda Pemilu 2024 merupakan kudeta tak berdarah.

Karena putusan PN Jakarta Pusat tersebut, menurut Dr Zaki Sierrad, telah menghancurkan Kekuasan Eksekutif dan Legislatif sekaligus.

“Lahirlah negara baru. Negara yang dikuasai oleh Tuhan. Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Pusat dalam putusan perkara nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst telah menghancurkan kekuasan eksekutif dan Legislatif sekaligus. Jika 14 hari dari waktu yang diatur dalam hukum Acara Perdata KPU tidak menyatakan banding secara resmi, maka Indonesia sudah beralih menjadi negara yang menganut kedaulatan Tuhan (Gods-souvereiniteit). Hal ini cocok sekali. Bukankah Hakim adalah wakil Tuhan di bumi ini,” kata Dr Zaki Sierrad SH CN MH dalam riis yang dikirim kepada beritabernas.com, Minggu 5 Maret 2023.

Hal itu disampaikan Dr Zaki Sierrad SH CN MH menanggapi putusan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat dengan amar putusan Menghukum KPU untuk menunda Pemilu sampai tahun 2025.

Menurut Dr Zaki Sierrad amar putusan tersebut akan menimbulkan akibat dahsyat di sektor kekuasaan eksekutif dan legislatif, yaitu akan terjadi kekosongan kekuasaan. Pemerintah daerah kosong, tidak ada kekuasaan yang mengaturnya.

BACA JUGA:

Demikian pula DPRD Kota, Kabupaten dan Provinsi tidak ada penghuninya karena masa jabatan telah berakhir. Di tingkat pusat, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sudah berakhir masa jabatannya. Begitu pula anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat harus mengakhiri karirnya akibat oleh suara Tuhan.

Walaupun suara rakyat sebagai suara Tuhan juga, namun sudah tidak diberikan ruang dan waktu dan telah dibungkam karena rutinitas Pemilu 5 tahunan digagalkan oleh Wakil Tuhan melalui putusannya. Jika kemudian Pemilu tidak dilaksanakan sesuai jadwal KPU, maka akan ada kekosongan jabatan eksekutif dan legislatif. Akibat logisnya dapat dikatakan, bahwa suara rakyat sudah mati, tinggallah sendirian kekuasaan yudikatif yang berisi wakil Tuhan.

Maka lahirlah kedaulatan Tuhan, kekuasaan negara dikendalikan oleh hakim-hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, sebagai wakil-wakil Tuhan. Hukum yang harus ditaati adalah hukum Tuhan. Wakil Tuhan sekarang adalah pemegang dan pelaksana kedaulatan di dunia. Putusan hakim sudah berubah menjadi kehendak Tuhan. Hakim tidak bertanggung jawab kepada siapa pun kecuali kepada Tuhan.

Kedaulatan rakyat dengan putusan itu  telah mati, jika putusan PN Jakarta Pusat itu final dan mengikat atau jika ada upaya hukum dan pertimbangan hukum Wakil Tuhan satu tingkat di atasnya yaitu Pengadikan Tinggi Jakarta atau bahkan Wakil Tuhan yang paling Agung, yaitu Mahkamah Agung bisa saja sama persis, maka hasilnya tentu akan melanggengkan kekuaasaan Tuhan itu. Menghancurkan kekuasaan negara berdasarkan konstitusi. Konstitusinya saja ditabrak.

BACA JUGA LAINNYA:

Aristoteles, Agustinus, Thomas Aquinas, Jean Bodin, Georg Jellinek, Leon Duguit, Krabbe, Thomas Hobbes, Rousseau, John Locke, Niccolo Machiavelli, Montesquieu dan para ahli kenegaraan dan hukum kembali saling berperang di alam kubur untuk saling mencerca para pengikutnya yang masih bertarung di dunia. Mereka berlomba-lomba memberikan nama terhadap negara Indonesia pasca putusan PN Jakarta Pusat.

Monarki bukan, Republik bukan. Jika dibiarkan berjalan memang menjadi lebih mirip ke Monarki yang dipimpin oleh Hakim yang agung. Mirip dengan apa yang disebut Jellinek sebagai WAHL-MONARCHI yaitu suatu negara yang kepala negaranya dipilih dan diangkat oleh organ atau badan khusus. Mirip pemilihan ketua dari para Hakim Agung.

Terus, siapa yang mengangkat Hakim Agung-Hakim Agung tersebut? Dalam sistem sebelum putusan PN Jakarta Pusat ini, Hakim Agung merupakan usulan dari Komisi Yudisial dan Presiden dan kemudian dipilih di DPR. Setelah putusan PN Jakarta Pusat, entah bagaimana karena dimungkinkan pejabat Presiden dan DPR  akan kosong.

Jangan-jangan muncul “kekuasaan yang men-Tuhan-kan uang” dalam diri pemutus putusan itu tanpa memikirkan kekuasaan Negara Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 dan Amandemennya. 

Atau apakah setelah putusan ini kemudian muncul Amandemen UUD 1945 dan Indonesia memasuki era baru lagi? Patut kita simak…sambil ngangkring di angkringan Omah Putih Jogja. (lip)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *