beritabernas.com – Setelah Dosen ASN ISI Yogyakarta, kini giliran Serikat Pekerja Fisipol (SPF) UGM menuntut Kemendiktisaintek untuk segera mencairkan tunjangan kinerja (tukin) yang belum dibayarkan sampai sekarang.
Tuntutan itu disampaikan Serikat Pekerja Fisipol (SPF) UGM dalam aksi yang digelar di Balairung UGM, Rabu 12 Februari 2025. Sebelumnya, pada Senin 3 Pebruari 2025 Dosen ASN ISI Yogyakarta yang tergabung dalam Aliansi Dosen ASN Kemendiktisaintek (Adaksi) Wilayah Yogyakarta dengan koordinator Titis Setyono Adi Nugroho S.Sn M.Snmelakukan aksi dengan tuntutan yang sama depan Gedung Rektorat ISI Yogyakarta.
Dalam aksi yang diikuti ratusan peserta anggota Serikat Pekerja UGM itu, mereka menyebutkan bahwa UU Aparatur Sipil Negara (ASN) Nomor 5 tahun 2014 pasal 79 dan 80 mengamanatkan pembayaran tunjangan kinerja (Tukin) untuk ASN, termasuk dosen dan aturan teknis Permendikbud Nomor 49/2020 dan Kepmen 447/P2024. Tapi hak Tukin Dosen ASN tidak kunjung ditunaikan, padahal pendidikan adalah amanat konstitusi dan kunci kuatnya SDM negeri ini.

Dalam siaran pers yang diterima beritabernas.com, Penanggungjawab Aksi dari SP Fisipol UGM Amalinda Savirani, mengatakan, Dosen ASN pun telah bekerja dengan profesionalisme dan dedikasi tinggi untuk mencerdaskan anak bangsa. Mereka memiliki hak untuk sejahtera.
Dikatakan, kebijakan tunjangan kinerja (Tukin) tidak diberikan kepada dosen di ASN Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), sementara hanya dosen ASN di satuan kerja (Satker) dan Badan Layanan Umum (BLU) non-remunerasi yang mendapatkan Tukin. Dosen PTNBH dikecualikan dengan alasan PTNBH mampu membiayai Tukin dosen. “Kebijakan ini mencerminkan ketidakadilan bagi tenaga pendidik,” kata Amalinda Savirani dalam siaran pers yang dibenarkan Dosen Fisipol UGM Suci Lestari saat dikonfirmasi beritabernas.com, Rabu 12 Pebruari 2025.
Kebijakan yang bermasalah.
Menurut SP Fisipol UGM, kebijakan ini bermasalah karena beberapa hal. Pertama, sangat diskriminatif terhadap dosen PTNBH. Dosen PTNBH tetap memiliki kewajiban yang sama dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi, namun tidak mendapatkan hak yang setara dengan rekan-rekan mereka di Satker dan BLU. Meskipun Dosen PTNBH menerima IBK (Insentif Berbasis Kinerja), tiap PTNBH tidak memiliki kemampuan finansial yang sama untuk membayar remunerasi dosen, dan menghasilkan ketimpangan kesejahteraan antar-kampus.
“Pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin hak kesejahteraan seluruh tenaga pendidik tanpa diskriminasi,” tegas SP Fisipol UGM.

Kedua, kebijakan ini bersifat memecah belah. Adanya kategorisasi dosen remunerasi dan dosen non-remunerasi menjadi salah satu faktor yang membuat para dosen dan civitas akademika yang terdampak oleh kategorisasi ini sulit untuk berempati satu dengan yang lain, sehingga semakin sulit untuk bersolidaritas.
“Upaya-upaya memecah belah ini akan terus kami lawan dengan bentuk memberikan solidaritas kami kepada dosen-dosen non-remunerasi yang tengah menuntut haknya,” tulis SP Fisipol UGM.
Ketiga, pengalihan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah seharusnya bertanggung jawab atas kesejahteraan dosen, tetapi justru melepaskan tanggung jawabnya dengan membebankan pembayaran Tukin kepada kampus PTNBH. Akibatnya, kampus harus mencari cara untuk menutupi kebutuhan remunerasi dosen, termasuk kenaikan UKT, dan menghasilkan tingginya biaya kuliah di PTN.
Keempat, memperlihatkan ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah. Di satu sisi, pemerintah menuntut peningkatan kualitas pendidikan dan daya saing global, tetapi di sisi lain tidak memberikan dukungan finansial yang adil bagi dosen diPTNBH. Ketimpangan ini semakin memperburuk kondisi akademisi yang terus berjuangdi tengah berbagai tantangan struktural.
Karena itu, Serikat Pekerja Fisipol UGM (SPF UGM) yang terdiri dari berbagai elemen pekerja kampus
seperti Dosen ASN, Dosen Tetap Non-ASN, Tenaga Kependidikan maupun pekerja kampus yang berstatus kontrak dan honorer menyerukan civitas akademika untuk bersatu memperjuangkan kebijakan yang lebih adil.
BACA JUGA:
- Dosen ASN ISI Yogyakarta Gelar Aksi Menuntut Tukin yang Tak Dibayar Sejak 2020
- Tim Dosen UAJY dan ISI Yogyakarta Ciptakan Metaverse Gamelan
Serikat Pekerja Fisipol UGM menyampaikan tuntutan, pertama, menuntut pencarian Tukin untuk semua dosen ASN tanpa diskriminasi, termasuk dosen PTNBH. Kemudian, mendesak Kemdiktisaintek mencairkan Tukin kepada seluruh dosen ASN Kemdiktisaintek tanpa pengecualian kepada kelompok manapun. Hal ini sesuai dengan ketentuan Perpres Nomor 136 tahun 2018, Permendikbud No. 49 Tahun 2020 dan Kepmendikbudristek 447/P/2024. Pencairan Tukin bagi seluruh dosen ASN Kemdiktisaintek merupakan langkah konkret sebagai wujud penghormatan terhadap prinsip kesetaraan dan keadilan bagi seluruh ASN.
Kedua, menuntut pendidikan tinggi yang bebas dari komersialisasi. “Kami mendesak Kemendiktisaintek menerbitkan aturan yang menjamin akses masyarakat atas pendidikan tinggi dan pemenuhan hak pekerja di sektor tersebut sebagai bagian dari tanggung jawab pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Perguruan tinggi harus menjadi ruang yang terjangkau dan membebaskan, bukan menjadi ladang eksploitasi bagi tenaga pendidik atau semakinmahal bagi mahasiswa.”
Ketiga, mendorong solidaritas antara dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa untuk kampus yang adil dan inklusif.Kami mendorong menggalang solidaritas segenap civitas akademika dari berbagai institusi pendidikan di Indonesia dan berbagai jejaring organisasi masyarakat sipil lain, untuk terus melakukan aksi solidaritas bersama dan berkelanjutan dalam menuntut pencarian Tukin.
Keempat, menolak penyalahgunaan narasi pengabdian. Kami menuntut pemerintah dan para pejabatnya untuk membahas isu ini dalamkerangka republik dan kewarganegaraan, bukan feodalisme yang disamarkan. Ketika dosen menuntut haknya atas Tukin, salah satu pejabat kementerian justru meresponsdengan “narasi pengabdian”-seolah-olah meminta hak adalah bentuk ketidaksetiaan.

Ini bentuk penghayatan yang kurang mendalam terhadap nilai-nilai republik yangditegaskan dalam UUD 1945. Amanat konstitusi jelas bahwa dosen berperan mencerdaskankehidupan bangsa, dan dalam konstitusi yang sama, hak dosen sebagai warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan juga dijamin. Dosen memang mengabdi, tetapi mengabdi kepada republik, bukan kepada pejabat yang merasa dirinya “Ndoro”.
Narasi pengabdian yang digunakan untuk menutupi ketidakadilan ini harus dilawan! Republik bukan kerajaan, dan pejabat bukan raja yang bisa semena-mena terhadap warganya. Dengan ini, kami menuntut kepada negara, pemerintah, dan para pejabatnya: “Kembalikan Republik Kami!”
“Hak kesejahteraan kami adalah bagian tak terpisahkan dari martabat profesi kami. Ketidakadilan ini mencerminkan inkonsistensi pemerintah dalam menghargai kontribusi strategis dosen ASN Kemdiktisaintek terhadap pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Kami menuntut agar pemerintah segera menindaklanjuti persoalan ini dengan langkah konkret sebagai wujud penghormatan terhadap prinsip kesetaraan dan keadilan bagi seluruh ASN,” demikian antara lain tuntutan Serikat Pekerja Fisipol UGM. (*/lip)
There is no ads to display, Please add some