Oleh: Ali Mansur Monesa
beritabernas.com – Pendidikan progresif berlandas pada aliran filsafat progresivisme. Filsafat progresivisme beranggapan bahwa pendidikan harus didasarkan pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang paling baik belajar apabila berada dalam situasi kehidupan nyata dengan orang lain sesuai dengan kelengkapan pengetahuannya.
Salah satu yang sering dewasa ini dibicarakan adalah pendidikan yang menyentuh aspek pengalaman atau realitas. Filsafat pendidikan berusaha menjawab pertanyaan ini dari sisi regulasi pendidikan, sumber daya manusia, teori kurikulum dan pembelajaran serta aspek-aspek pendidikan yang lain.
Selain kritisisme dan metode berpikir filasafat sebagai aktivitas berpikir dengan cirinya yang radikal, spekulatif, universal, manusia merupakan satu-satunya mahluk Tuhan yang memiliki akal dengan kecenderungannya. Maka manusia adalah mahluk filsafat, kemampuan bertanya dan mempertanyakan merupakan kodratnya. Maka lewat pendidikanlah proses pemurnian sebagai bentuk aktualisasi eksistensinya sebagai individu yang merdeka.
Pendidikan adalah sebuah proses penuh metode untuk menjawab kebutuhan manusia yang kemudian melalui perkembangan zaman munculah berbagai aliran pemikiran tentang pendidikan. Salah satunya yaitu progsivisme sebagai aliran pendidikan progresif.
Pendidikan progresif adalah pendidikan yang sebagai lawan dari pendidikan tradisional. Pendidikan progresif meletakkan siswa sebagai pusat pembelajaran dan diberi peran aktif untuk melaksanakan proses pendidikannya. Pendidikan progresif adalah pendidikan dimana guru bukan satu-satunya sumber belajar. Jika masih ada anggapan demikian, bisa dipastikan model pendidikan datang dari satu arah yakni guru atau dosen. Karena guru atau dosen dianggap lebih tahu dan banyak pngalamannya.
Konsep pendidikan progresif
Pendidikan adalah proses sosial, pertumbuhan. Oleh karenanya pendidikan bukanlah persiapan untuk bekerja tetapi persiapan menapaki kehidupan itu sendiri.
John Dewey, filsuf pendidikan yang mengusulkan konsep pendidikan progresif dalam bukunya yang berjudul Experience and Education (1938), mengatakan, pendidikan progresif merupakan jawaban alternatif dalam menghadapi pendidikan tradisional yang kian mendapat kritik, terutama karena sifat sentralistis.
BACA JUGA:
- Signifikansi Filsafat dalam Pendidikan
- Filsafat Sebagai Titik Tolak Mahasiswa Menjadi Cendekiawan Kritis
- Ruang Kelas sebagai Ruang Filsafat Kritis
Bagi Dewey pendidikan merupakan aktivitas manusia dalam merangsang kemampuan pribadinya. Kemampuan ini umumnya ditemukan dalam memahami atau melakukan suatu hal. Karenanya pendidikan perlu melibatkan tidak hanya pengetahuan parsial melainkan juga pengalaman langsung. Menjadi seorang peserta didik atau murid bukan berarti bahwa seseorang perlu memahami apa yang harus diketahui melainkan juga mengalami apa yang mungkin dialami.
Pendidikan ialah proses pembangunan kemampuan dasar manusia. Seseorang belajar untuk menirukan suara, mengenal warna atau memahami arti dari gambar-gambar tertentu melalui proses pendidikan. Secara fundamental kondisi intelektual dan emosional manusia dapat terarah karena sistem pendidikan yang ditempuh.
Pendidikan baik melalui transfer pengetahuan dari orangtua maupun dari tenaga pendidik mampu membuat seseorang memahami dirinya maupun alam di sekitarnya. Usaha pendidikan dengan kata lain merupakan upaya untuk mengentaskan manusia dari ketidaktahuan, ialah kondisi yang menyebabkan manusia dapat merusak diri atau sekitarnya.
Filsafat selanjutnya menjadi puncak dari pendidikan di mana seseorang bukan hanya belajar untuk mengetahui cara atau alasan atas hal-hal yang diperlukannya melainkan juga untuk melihat kondisi secara luas serta memahami dasar dari pengadaan kehidupan. Pendidikan juga membutuhkan filsafat, di mana tanpa filsafat pendidikan akan menjadi tanda landasan serta tujuan. Di sisi lain tanpa pendidikan, filsafat menjadi perihal yang sulit untuk diwariskan.
Ada sebuah konsep mengenai innate knowledge di mana manusia dipercaya memiliki pengetahuan semenjak ia lahir. Namun pengetahuan ini tidak dapat diproses sebagai sebuah pengertian tanpa adanya pengalaman dan proses pendidikan. Konsep inilah yang selanjutnya digunakan dalam pendidikan modern di mana tugas pengajar bukan lagi untuk menekankan pengetahuan sebagai yang harus diterima, melainkan menjadi teman belajar yang dapat merangsang innate knowledge seorang peserta didik.
Keaktifan peserta didik menjadi penting dalam pendidikan progresif karena pengalaman akan merangsang innate knowledge secara maksimal. Dewey mengandaikan pendidikan dalam proses transfer pengetahuan berskala anak-anak dan sosial. Dalam Children Centered, seseorang diajak untuk mengembangkan pengenalan atas diri dan sekitarnya.
Seluruh proses pengetahuan diarahkan pada pengembangan diri sehingga seseorang dapat memahami potensi dirinya. Sementara itu Social Centered masyarakat mengarahkan seseorang untuk memahami bahwa ia merupakan bagian dari sekumpulan individu lain sehingga ia perlu memahami dinamika komunikasi antar manusia-alam sehingga seseorang tersebut mampu memahami posisi dirinya di tengah entitas yang lain.
Maka pendidikan progresif mengarahkan serta memerdekakan manusia/individu agar mereka dapat berpikir berkehendak bebas dalam mengelola potensi diri untuk menuju masa depan menjadi manusia yang memiliki harapan di masa yang datang.
Menurut John Dewey, progresivisme merupakan sebuah aliran filsafat yang berorientasi ke depan yang memposisikan manusia (peserta didik) sebagai salah satu subjek pendidikan yang memiliki bekal dan potensi dalam pengembangan dirinya dan memiliki kemampuan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi.
Aliran pendidikan progresif
Sebagaimana uraian di atas pendidikan progresif menolak cara belajar pendidikan tradisioanl, dimana pendidik dianggap mengetahui segala bidang ilmu. Menurut paham progresif, pendidik dan peserta didik sama-sama manusia yang sama-sama memiliki potensi. Maka dari itu paham progresifisme ini menyarankan bahwa guru/dosen seperti dewan juri atau pendamping untuk mengontrol jalannya proses pembelajaran.
Pendidikan tidak sekadar tranformasi ilmu pengetahuan, tapi lebih sebagai proses hominisasi dan humanisasi. Kedua istilah ini mengandung makna, memanusiakan manusia muda mengarahkan pada proses kesadaran untuk memanusiakan manusia.
Perbedaannya, hominisasi adalah proses pemanusiaan yang pada umumnya, dengan pengertian luasnya penjadian manusia, terjadi dari lahir hingga akhir hidupnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia sejak lahir sudah menjadi manusia, namun dipandang secara biologis. Sementara humanisasi adalah proses pemanusiawian manusia. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya, seperti binatang ataupun tumbuhan. Manusia tidak akan sampai pada fase ‘ke-manusiawi-an-nya’ tanpa pendidikan (Ben Senang Galus, 2022)
Menjawab Promblem Moderen
Situasi pendidikan saat ini, jangan sampai lembaga pendidikan hanya menjadi lembaga pelaksana sekadar terlaksana. Pendidikan bukan hanya tentang administrasi kuantatif tetapi pendidikan tentang menjadikan manusia seorang pencipta sesuai kodratya melalu disiplinnya. Sehingga sarjana yang lulus bukan sarjana asal jadi. Pendidikan harusnya serius, disisplin sampai aspek substansi bukan sekadar antrian tiket mencari pekerjaan kerja alias mencari ijasah.
Dengan reinventing pendidikan progresif mengantarkan manusia peserta didik bukan saja menjadi manusia yang pintar dan bersyarat dengan ilmu pengetahuan, namun lebih dari itu menjadikan manusia peserta didik lebih humanis. Artinya pendidikan kita melahirkan kembali manusia peserta didik apa yang disebut “sinergi kemanusiaan”.
Hal ini dapat dijelaskan, meskipun pendidikan kita masih bersifat kodian, kurang memberi perhatian pada pengembangan individualitas yang mandiri. Orientasi baru pendidikan kita ke depan dijauhkan dari mentalitas jalan pintas dan lebih banyak usaha nyata untuk menimbulkan minat peserta didik untuk cinta kepada kerja keras dan kejujuran, menghargai kebudayaan sendiri, termasuk nilai-nilai lokal (Ben Senang Galus, 2014).
Mentalitas jalan pintas rupanya selaras dengan keengganan hingga kerja keras, budaya trobosan (nyontek, budaya fotokopi, malas berpikir) tetap saja hidup subur dalam budaya kampus/sekolah, yang pada akhirnya pendidikan kita hanya akan menghasilkan manusia Indonesia rasa segan dan enggan bertanggungjawab. Ia cenderung berorientasi ke atas, kepada otoritas, suatu sikap feodalisme dan paternalistik. Ia lebih suka diperintah.
Prinsip Pendidikan Progresif
Sekurangnya ada lima prinsip utama pendidikan progresif, yaitu: 1) kebebasan di berikan pada anak untuk berkembang secara alamiah, 2) Minat dan pengalaman langsung merupakan ransangan paling baik untuk belajar, 3) Guru memiliki peran sebagai narasumber dan pembimbing kegiatan motivator serta memberi arahan , 4) Mengembangkan kerja sama antara sekolah, 5) Siswa lebih baik belajar bersama berdiskusi dari pada belajar sendiri.
Siswa dan mahasiswa harusnya dibebaskan dalam pembelajaran serta diberikan kemandirian dalam berpikir melalui pengalaman serta realitas yang mereka rasakan agar mereka dapat mengolah potensi mereka sebagai manusia, refleksi terhadap keseharian, dan sebagai individu yang merdeka.
Maka dosen atau guru dengam kemampuannya memancing peserta didik dengan bahan ajar atau pertanyaan-pertanyaan yang dapat merangsang pikiran para peserta didik, belajar seperti kontraktor senior bersama karyawan, dia hanya melihat apa yang suda disiapkan dalam bahan ajar/materi, dan karyawan yang melaksanaksnya atau seperti memberi materi sekedar teks prosedur dan peserta didik yang bertanggung jawab.
Bisa juga dengan membuat kelompok diskusi mempersiapkan tema yang memancing kritisisme mereka bukan sekadar memberikan soal dengan model jawaban hitam putih. Pendekatan pembelajaran progresif menitikberatkan pada melibatkan peserta didik menjadi pemeran aktif dalam belajar yakni melalui pembelajaran dengan praktek langsung (learning by doing), pembelajaran yang aktif dan partisipatif ,kritis serta yang memberikan pengalaman pada peserta didik, baik di ruang kelas, lingkungan sekitar atau di komunitas lokal dan di luar.
Pendidikan progresif menjadi jalan pembebasan sebagai kemajuan kritis di kelas maupun di luar kelas, komunitas untuk merealisasikan potensi dalam memberi ruang yang semestinya kepada kemampuan manusia yang sebenarnya. Cara belajar justru merupakan motor penggerak atau daya kreatif kompeten dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi di dalam kehidupan.
Dengan demikian pendidikan progtesif difokuskan kepada peserta didik sebagai subyek pendidikan. Menekankan pada aktivitas dan penggalian pengalaman realitas daripada kemampuan verbal dan kemampuan membaca, dan meningkatkan aktivitas belajar bersama dibanding belajar individual. (Ali Mansur Monesa, Mahasiswa UPY, Yogyakarta)
There is no ads to display, Please add some