Pendidikan Hominisasi dan Humanisasi Sebagai Problem Eksistensi Manusia

Oleh: Ali Mansur Monesa

beritabernas.com – Kamu tidak akan pernah melakukan apapun di dunia ini tanpa keberanian. Itu adalah kualitas terbesar dari pikiran setelah kehormatan (Aristoteles).

Pendidikan hominisasi dan humanisasi merupakan konsep pendidikan yang berfokus pada proses untuk memanusiakan manusia sebagaimana kehendaknya sebagai mahluk yang bereksistensi. Melalui pendidikanlah individu dapat memperoleh pengetahuan dan mengembangkanya sesuai apa yang dipikirkan dari apa yang d rasakan dari kesehariannya.

Istilah hominisasi dan humanisasi atau memanusiakan manusia muda merupakan rumusan filsafat pendidikan Driyarkara, yang mengarahkan pada proses kesadaran untuk memanusiakan manusia. Hominisasi adalah proses pemanusiaan yang pada umumnya tetapi Humanisasi adalah proses pemanusiawian manusia. Hominisasi dan humanisasi adalah konsep filsafat pendidikan yang merujuk pada proses memanusiakan manusia.

Proses pemanusiaan yang berfokus pada pemahaman bahwa manusia memiliki kelebihan akal-budi dan kehendak bebas( merdeka) memanusiakan manusia berarti melalui proses pembinaan  menggunakan akal-budi dan kehendak bebasnya dengan sebaik-baiknya. 

Humanisasi sebagai proses pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan. Humanisasi pendidikan merupakan proses pendidikan yang bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi individu atau peserta didik sebagai manusia seutuhnya. 

Konsep hominisasi dan humanisasi merupakan rumusan dasar filsafat pendidikan yang berpendapat bahwa manusia dapat mencapai tingkat kemanusiawiannya melalui pendidikan. Dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan diri melalui proses berdasarkan kecendenrungan potensi dirinya, bertindak dan bertanggungjawab atas dirinya sebagai bentuk eksistensinya sebagai mahluk yang merdeka. Problem eksistensial manusia dalam Pendidikan merupakan kajian filsafat eksistensialisme. Salah satu tokoh eksistensialisme yaitu Jean Paul Sartre. 

BACA JUGA:

Sartre fokus pada hakikat manusia dan struktur kesadarannya. Ia memiliki kepercayaan bahwa manusia adalah individu yang bebas, dan eksistensi nya mendahului esensinya. 

Dalam pandangan Sartre, ia meyakini bahwa manusia memiliki kebebasan tanpa batas, dan penilaian kebaikan dan keburukan ditentukan oleh kebebasan itu sendiri. Satre percaya bahwa kebebasan manusia adalah beban yang berat karena tidak ada pedoman objektif di luar diri manusia. 

Subjektivisme aksiologis

Sartre mendukung subjektivisme aksiologis, yang menyatakan bahwa objek merupakan pencipta dari nilai. Sartre memasukkan teori ketubuhan sebagai aspek yang penting dalam keberadaan manusia yang bebas.  Sartre juga percaya bahwa penindasan adalah hilangnya kebebasan material.

Sartre juga percaya bahwa setiap manusia bertanggung jawab atas pilihannya, bahwa tanggung jawab ini bukan bersifat individual, melainkan untuk semua manusia. Sartre juga menolak etika Kristen dan Kant, karena menurutnya tawaran mereka tidak bisa memperlakukan setiap orang sebagai pengambil keputusannya sendiri.

Maka dari itu, eksistensialisme pendidikan memberikan ruang terhadap setiap individu untuk bereksistensi secara bebas dengan mengasa pengetahuan sebagai potensi dasar. Fokus pendidikan eksistensialisme berbasis pada satu titik sentral yakni pendidikan harus menempatkan manusia pada titik sentrum dari segala relasi kemanusiaan sebab setiap manusia memiliki kebebasan dan rasa sebagai upaya untuk bangkit melawan hegemoni secara kognitif dan lain-lain demi menemukan eksistensi jati dirinya serta esensi dalam dirinya sebagai manusia.

Konsep Dasar Pendidikan Eksistensialisme 

Ketika aliran eksistensialisme diterapkan dalam dunia pendidikan akan melahirkan suatu konsep bahwa: pendidikan merupakan suatu proses atau sarana untuk individual secara merdeka (eksistensi). Adapun  panduan khusus yang harus di siapkan beragam aktivitas untuk peserta didik yang sesuai dengan potensi dan kebutuhan mereka. Guru dalam pandangan eksistensialisme pendidikan  hadir dan berperan sebagai stimulator di dalam proses pembelajaran dengan beragam aktivitas yang dapat memerdekakan siswa/peserta didik.

Dalam Pandangan eksistensialisme pendidikan menempatkan manusia sebagai titik setrum subjek yang paling utama menyakini bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya (kemerdekaan individu).

Dalam konteks ini, manusia dipandang sebagai agen yang aktif (subjek) melalui pendidikanlah manusia dapat mengolah rasa, melahirkan, menciptakan ilmu pengetahuan melalui potensinya,manusia bukan hanya sebagai objek pasif yang hanya menerima informasi, pengetahuan tetapi juga namun memiliki otiritas untuk memilih sebagai individu yang merdeka.

Dalam pendidikan formal yakni (sekolah) ruang kelas sering kali menjadi jerji bagi eksistensi manusia,  seharusnya lingkungan pendidikan formal (sekolah) menjadi sarana alternatif untuk melatih potensi serta mengarahkan menanmkan kebebasan sebagai sstimulus individu/siswa agar dapat berkenhendak sebagai mahluk yang bereksistensi secara bebas sesuai potensi yang dimilikinya serta bertanggung jawab atasnya, fungsi pendidikan menanamkan kesadaran serta memberi ruang kepada siswa untuk menjadi pioner atas dirinya dengan melaluli proses dialektis sehingga siswa dapat menemukan keaslian dirinya sendiri menjadi mahluk eksistensial ini merupakan suatu proses humanisasi, cara belajar, mengajar dalam eksistensialisme yang di dalamnya ada dialektika.

BACA JUGA TULISAN LAINNYA:

Dalam pendidikan sebagai dasar kebebasan awal, manusia berarti bahwa siswa harus didorong untuk berekpresi, mengeksplorasi minat bakat dan hasrat mereka sendiri serta mengembangkan potensi menemukan identitas diri yang unik bagi mereka sendiri.

Guru hanya  dapat mendukung mengimbangi proses dengan menciptakan suara lingkungan belajar yang aman hingga dapat mendorong siswa dan ruang belajar inklusif yang memungkinkan eksplorasi ide-ide  dan ekspresi pribadi secara totalitas.

Tujuan eksistensialisme pendidikan

Eksisitensialisme pendidikan sebagai aliran filsafat memiliki konsep khas tersendiri dalam melihat problem. Konsep pendidikan eksistensialisme Jean-Paul Sartre dapat digunakan sebagai dasar dalam kegiatan belajar mengajar.

Dalam konteks ini, kurikulum pendidikan eksistensialisme Jean-Paul Sartre memiliki beberapa ciri, yaitu:  siswa adalah manusia yang sadar akan dirinya sendiri dan kemampuannya. Siswa memiliki kebebasan dalam menentukan cara belajar dan mendapatkan pengetahuan, sementara guru berperan sebagai fasilitator untuk membantu siswa mengembangkan potensinya.

Siswa bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri. Guru harus menumbuhkan kesadaran diri dan tanggung jawab siswa, siswa harus mengembangkan komitmen terhadap nilai-nilai luhur dan bertindak untuk nilai-nilai tersebut, guru harus aktif dan menyambut tantangan ide-ide dari para peserta didik. 

Eksistensialisme adalah gerakan filosofis yang menekankan bahwa setiap orang harus menciptakan makna di alam semesta. Aliran ini lahir sebagai bentuk protes terhadap pandangan materialisme dan idealisme.

Pendidikan eksistensialisme adalah suatu konsep pembebesan kepada manusia sebagai mahluk yang bereksistensi sebagai perwujudan kemerdekaan. Melalui pendidikan otoritas individu dapat diperoleh melalui proses transformasi antar subjek sebagai upaya memproduksi potensi diri sebagai mahluk sosial yang berkecenderungan terhadap kebebebasan dan bertanggun jawab atas setiap tindakannya.

Untuk itu pendidikan eksistensialisme membantu mengembangkan ide setiap individu dalam menjalani  kehidupan eksistensial: untuk menemukan dan mengembangkan keaslian, realisasi dirinya. Dengan kualitas individu untuk membuat pilihan, bertanggung jawab atas dirinya serta mendorong kemampuan diri menghadapi situasi tragis dalam kehidupan, penyesuaian terhadap lingkungan sosial dengan keunikan pada setiap anak.

Seperti yang disampaikan Satre, eksistensialisme memiliki beberapa pandangan yang dapat digunakan sebagai dasar pijakan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, di antara lain: manusia adalah individu yang bebas, manusia bebas untuk melakukan dan mendefinisikan dirinya sendiri secara individual, belajar adalah menjadikan dirinya sendiri otonom, siswa memerlukan kebebasan dalam menentukan cara untuk belajar dan cara untuk mendapatkan pengetahuan, guru berperan aktif sebagai fasilitator untuk siswa dalam mengembangkan potensinya.

Dengan demikian eksistensialisme adalah gerakan filosofis yang menganut paham bahwa tiap orang harus menciptakan makna di alam semesta. Maka setiap guru eksistensialis harus memahami konsep kemerdekaan individu dan setiap siswa berhak untuk mengekspolerasi ide serta memiliki kebebasan untuk menciptakan hidup bahkan lebih dari itu manusia/ siswa  dalam pendidikan eksistensialis mampu memiliki otoritas melalui potensinya untuk menemukan masa depan melalui idealismenya bukan tergantung pada pendidikan formal.Setiap individu memiliki otonomi atas dirinya sendiri. (Ali Mansur Monesa, Alumni Universitas PGRI Yogyakarta)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *