Oleh: Ben Senang Galus
beritabernas.com – Hari Jumat, 29 Maret 2024, umat Kristiani sedunia memperingati Wafat Yesus Kristus yang dilanjutkan dengan Paskah sebagai momen kebangkitan dan kemenangan atas maut. Pada bulan lalu, 14 Pebruari 2024, masyarakat Indonesia menjalankan pesta demokrasi pemilihan umum legislatif. Permenungan kritis atas interkoneksi momen politik dan religius ini patut dilakukan.
Menarik tulisan Antonius Steven Un (2009), ijinkan saya mengutipnya, yang mengatakan, Paskah adalah wajah utuh sebuah servant leadership (kepemimpinan hamba). Dalam aroma anyir suksesi kepemimpinan nasional tahun ini, rasa-rasanya nada kepemimpinan yang melayani patut dilagukan kembali. Paskah adalah lonceng yang berbunyi memanggil manusia untuk merendahkan diri dan melayani orang lain.
Konsepsi servant leadership pernah diajarkan Yesus dalam adagium, “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya” (Markus 10:43-44).
Adagium ini diucapkan dalam konteks rivalitas di antara murid-murid Yesus sendiri, di mana 10 murid yang lain menjadi berang kepada dua murid bersaudara yakni Yohanes dan Yakobus yang lancang meminta jabatan. Namun demikian, kemarahan kesepuluh murid tersebut bukanlah didasarkan atas compassion terhadap kebenaran melainkan atas dasar ambisi despotisme dan rivalisme.
BACA JUGA:
- Ekologi Integral, Alternatif Mencegah Eksploitasi Alam
- Cacat Etika Internasional, Bagaimana Legitimasi Hasil Pemilu 2024?
Hal ini mirip dengan kejadian di mana salah seorang anggota Cynic, sebuah mazhab filsafat Yunani yang menginjak-injak baju kuda Alexander Agung sambil berseru calco fastum Alexandri (sekarang saya menginjak harga diri Alexander), pada saat yang sama dijawab dengan seruan lain, sed majori fastu (tetapi dengan kesombonganmu yang lebih besar dari Alexander).
Roh Herodes dan Pilatus
Konteks ini memberikan negasi kepada konsep kepemimpinan sejati bahwa servant leadership merupakan antitesis kepada ambisi despotisme. Ambisi jahat inilah yang sayangnya justru dipraktekkan oleh model kepemimpinan raja Herodes dan Wali Negeri Pilatus dalam Narasi Paskah.
Menjelang pemilihan legislatif, Pilpres, 2024, pertanyaan kritis-reflektif bagi para calon pemimpin adalah sesungguhnya motif apa yang melandasi akan “nafsu” para tokoh nasional untuk melaju dalam pertarungan kepemimpinan nasional. Jikalau motifnya adalah ambisi despotisme dan rivalisme maka tidak heran, roh kekejaman, roh Herodes-Pilatus akan terus “menghantui” para pemimpin, yang menyebabkan mereka dapat melakukan kekejaman kepada rakyat.
Kekejaman tersebut menurut Antonius Steven Un, 2009, antara lain, pertama, suatu bentuk dehumanisasi melalui mereduksi rakyat sekedar sebagai komoditi politik guna menghantarkan kanditat ke kursi kepemimpinan, sementara kebutuhan dan penderitaan rakyat diabaikan.
Kedua, hilangnya sense of crisis, antara lain dengan melakukan kebijakan mercusuar yang sesungguhnya tidak tepat guna dan tidak tepat nalar dalam pandangan publik, namun menguntungkan pejabat belaka.
Ketiga, hilangnya sense of crisis menyebabkan jalur komunikasi politik yang buntu sehingga memaksa rakyat kerap menggunakan aksi ekstra-parlementer yang melelahkan dan bahkan berpotensi terjadi kekerasan fisik.
Keempat, komersialisasi penderitaan rakyat, antara lain dengan komersialisasi korban bencana alam dan korban kemiskinan guna mendapatkan sumber daya finansial yang penggunaannya imun audit dan tidak mendarat pada kebutuhan rakyat banyak.
Kematian yang Menggantikan
Sebaliknya, motif dari servant leadership adalah menjadi hamba, menjadi pelayan bagi semuanya. Teolog William Lane menyebutnya sebagai vocation of the servant (1974) yakni suatu model kepemimpinan yang menegaskan eksistensi diri “bukan untuk dilayani melainkan melayani” (Markus 10:45).
Menurut Antonius Steven Un, 2009, kematian yang kerelaan Yesus Kristus memikul salib di Golgota merupakan ekspresi servant leadership dalam beberapa aspek. Terdepan, demonstrasi kasih terbesar. Salib merupakan penerjemahan motif kasih Allah kepada manusia berdosa (Yohanes 3:16).
Servant leadership berlandaskan kasih sejati dan itulah yang dipraktekkan di Golgota. Di luar itu, terdapat nilai altruistik, rela menderita bagi umat-Nya. Salib dalam teologi Kristen merupakan kematian yang menggantikan (substitutional death) guna melepaskan umat-Nya dari dosa dan maut.
Akhirnya, salib adalah harga kebenaran (the price of truth) karena Yesus mempertahankan kebenaran menghadapi pengadilan tidak adil dan kedengkian dari perselingkuhan kotor pemimpin agama, politik dan hukum. Seorang pemimpin harus rela memperjuangkan kebenaran dengan harga yang mahal.
Ekspresi servant leadership dalam konteks kekinian terwujud dalam beberapa hal pertama, demonstrasi kasih, dalam bentuk pengorbanan bukan manipulasi, eksploitasi dan reduksi eksistensi dan peran rakyat bagi kepentingan sempit sang penguasa. Demi kekuasaan, politisi menebar pesona di mibar debat tetapi tutup mata terhadap banjir bandang di Kudus, gemba bumi di Lawean.
Kedua, nilai altruistik berupa pembatasan fasilitas dan kemewahan diri. Ketiga, kepemimpinan hamba menuntut harga yang mahal bagi perjuangan kebenaran dan keadilan. Almarhum Munir telah melakukan itu: ia membayar harga mahal bagi kebenaran.
Bagaimana dengan pemimpin dan calon pemimpin yang mengklaim diri sebagai pemenang pada Pemilu 2024? Apakah masih meniupkan roh Herodes dan Roh Pilatus dalam menjalankan pemerintahannya? Ketika rakyat mengalami peristiwa bencana kelaparan, kekeringan, banjir ataukah masih berdiam diri dalam keheningan nikmatnya kekuasaan dan uang yang digaji dari keringat rakyat?
Antonius Steven Un, menegaskan, praktek kepemimpinan kontemporer beraroma antitesis, tanpa pengingkaran diri, sarat pengingkaran Tuhan dan rakyat. Politik menjadi panggung atheisme praktis dan dereligiositas, diskonektivitas antara konfesi (pengakuan) dan konduite (kelakuan). Pemimpin adalah kolektor simbol agama di satu sisi namun sekaligus simtom sosial di sisi lain. Tidak heran, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan pemimpin korup penuh suap busuk, mulai dari menteri, Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif), gubernur, dan bupati.
Pengingkaran diri dalam praksis kepemimpinan adalah pengingkaran terhadap fasilitas dan tunjangan superlatif, sebaliknya menunjukkan ikhtiar kinerja maksimum bagi kepentingan rakyat. Setelan baju dinas jutaan rupiah dan kendaraan dinas miliaran rupiah adalah bentuk pengkhiatan terhadap karakter pengingkaran diri.
Panggilan kepemimpinan hamba yang diwariskan Yesus, menandaskan suatu kriteria sempurna tak tergantikan, yakni kerelaan bermental babu, dan bukan prabu, guna menjadi abdi negara dan rakyat. Tanpa karakter demikian dalam diri para pemimpin kita, proses demokrasi prosedural yang berbiaya politik, sosial, dan ekonomi demikian tinggi, hanya akan mendudukan seorang oportunis bermental bos dan berdarah Herodes dan Pilatus. Pada gilirannya, orientasinya adalah menguras uang rakyat dan membonsai konstituen sekedar sebagai komoditas politik dan komersialisasi.
Yesus tidak menghendaki manusia terjebak ke dalam logika balas dendam (the logic of retaliation) dan patron kesetanan (the pattern of evil) di mana kejahatanlah yang menang dan memudarkan pengharapan bagi umat manusia. Yesus bukan hanya mengasihi musuh tetapi kemudian menelantarkan sesama-Nya. Logika either-or demikian dalam memahami perilaku Yesus, diganti dengan logika a fortiori. Musuh saja Ia cintai, apalagi sesamaNya.
Mari kita menerapkan kepemimpinan Yesus, yang mengutamakan pelayanan. Kepemimpinan Yesus Kristus adalah kepemimpinan yang menolak pola penguasaan ketundukan sebagai patokan bagi hubungan antar manusia. tidak dapat disangkal bahwa dalam pola relasional sosial secara umum, berlaku hukum, ‘yang kuat berkuasa, yang lemah tunduk. Dan harus menghindari despotisme, bentuk pemerintahan dengan satu penguasa, baik individual maupun oligarki, yang berkuasa dengan kekuatan politik absolut.
Despotisme dapat berarti tiran, atau absolutisme; atau diktatorisme. Sebab Roh Herodes dan Roh Pilatus masih menghantuai dan masih bergentayangan di negeri ini. Selamat Paskah! (Ben Senang Galus, Penulis Buku: Gereja, Kapitalisme dan Penyaliban Kaum Lemah)
There is no ads to display, Please add some