beritabernas.com – Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII meminta Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (M) agar memeriksa majelis hakim PN Jakarta Pusat yang mengadili perkara gugatan Parta Prima.
Apabila terbukti melanggar kode etik dan hukum maka menurut PSHK FH UII harus diberikan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Putusan PN Jakarta Pusat itu hakikatnya merupakan sebuah cacat logika dan keliru dalam praktik penyelenggaraan hukum Indonesia,” kata Yuniar Riza Hakiki SH MH, Kepala PSHK FH UII, dalam siaran pers yang diterima beritabernas.com, Jumat 3 Maret 2023.
Hal itu disampaikan Yuniar Riza Hakiki SH MH untuk menanggapi putusan PN Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst yang berkaitan dengan perkara gugatan dari Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) yang inti gugatannya menyangkut perbuatan melawan hukum (PMH).
Putusan itu dibacakan oleh Majelis Hakim PN Jakarta Pusat yang dibacakan pada Kamis 2 Maret 2023 atas perkara gugatan Partai Prima terhadap KPU.
BACA JUGA:
- PSHK FH UII: Putusan PN Jakarta Pusat Cacat Logika dan Keliru
- PN Jakarta Pusat Putuskan Tunda Pemilu, PSHK FH UII: KPU Tidak Perlu Melaksanakan Putusan
- Mahfud MD: Vonis PN Jakarta Pusat Harus Dilawan Secara Hukum
Dalam putusan itu, pada intinya Majelis Hakim PN Jakarta Pusat mengabulkan permohonan Partai Prima sebagai pihak yang dirugikan. Selain itu, menyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan PMH dan menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilihan umum 2024 selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan atau mengulang tahapan dari awal.
Menurut Yuniar Riza Hakiki, putusan PN Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst dibangun atas cacat logika hukum yakni kekeliruan kompetensi pengadilan negeri dalam memeriksa perkara kepemiluan, dan menyebabkan kerugian yang berdampak secara luas bahkan inkonstitusional. Karena itu, putusan tersebut batal demi hukum (never existed).
Dikatakan, PN Jakarta Pusat tidak berwenang memutus penundaan tahapan Pemilu, karena tahapan Pemilu tidak hanya menyangkut kepentingan hukum para pihak yang berperkara dalam sengketa keperdataan.
Sehingga meskipun putusan PN Jakarta Pusat pada aspek tertentu dinilai memulihkan kerugian Partai Prima, tetapi dengan menghukum KPU untuk menunda tahapan Pemilu justru merugikan kepentingan hukum yang lebih luas, misalnya Partai Politik yang sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024 serta rakyat selaku pemilih akan kehilangan hak pilih pada Pemilu yang seharusnya diselenggarakan setiap 5 tahun.
Yuniar Riza Hakiki mengatakan, problem yang ditimbulkan dari Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst tersebut mengindikasikan majelis hakim PN Jakarta Pusat keliru dalam menerapkan hukum saat memutus perkara.
BACA JUGA:
- PN Jakarta Pusat Kabulkan Gugatan, Ketua DPP PRIMA: Kebenaran Telah Menemukan Jalannya
- Ini Alasan DPP PRIMA Gugat KPU dan Menang di PN Jakarta Pusat
“Oleh karena itu, kami memandang perlu Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung memeriksa majelis hakim PN Jakpus yang mengadili perkara tersebut. Apabila terbukti melanggar kode etik dan hukum maka harus diberikan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata Yuniar Riza.
Untuk itu, PSHK FH UII merekomendasikan, pertama, KPU tidak perlu melaksanakan putusan PN Jakpus terkait penundaan tahapan Pemilu dan dapat mengupayakan upaya hukum banding agar putusan tersebut dikoreksi Pengadilan Tinggi.
Kedua, kepada Komisi Yudisial untuk memeriksa majelis hakim yang memutus perkara Nomor 757/Pdt.G/2022/PN. Jkt Pst. Ketiga, kepada Badan Pengawasan Mahkamah Agung agar mengawasi dan memperingatkan hakim-hakim di lingkungan Mahkamah Agung agar taat kompetensi absolut dan relatif.
Keempat,kepada Presiden agar mengawal Pemilu sesuai amanat Konstitusi yakni dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Kelima, kepada masyarakat umum agar memantau dan mengawal Pemilu agar tetap dilaksanakan pada tahun 2024 sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. (lip)
There is no ads to display, Please add some