Oleh: Ali Mansur Monesa
beritabernas.com – Lembaga pendidikan merupakan institut sosial yang sangat menentukan kemajuan dan peradaban bangsa. Namun paradoksal, pendidikan saat ini telah mengalami disfungsional mengandung muatan-muatan nilai yang berakibat timbulnya kecemasan, ketakuran, kesombongan dan kekerasan yang telah melembaga.
Demikian pula, sadar atau tidak, pendidikan kita tetap bersifat kodian atau belum tuntas, artinya masih kurang memberi perhatian kepada pengembangan individualitas yang mandiri. Hampir seluruh kegiatan di sekolah atau kampus belum banyak usaha nyata untuk menumbuhkan minat siswa/ mahasiswa untuk cinta kepada kerja dan kerja keras.
Mentalitas jalan pintas rupanya sejalan dengan budaya bangsa kita, budaya trobosan, budaya menjilat pimpinan, budaya mediokritas. Di kalangan siswa/ mahasiswa budaya ini cukup tumbuh subur, seperti budaya menyontek, budaya plagiat, penelitian fiktif, budaya malas berpikir, budaya malas berdiskusi, budaya malas menulis, budaya suka jalan pintas.
Oleh karena itu sekolah/ kampus sejak dini perlu diajarkan bekerja keras dan jujur menurut kesanggupannya dan dijauhkan dari kebudayaan babu (babysiting culture). Sebab menumbuhkan warisan kerja keras dan jujur akan sulit tumbuh dalam kebudayaan babu. Pemikiran ini berawal dari suatu sintesa bahwa pada akhirnya pendidikan itu tidak akan bermanfaat apabila menghasilkan babysiting culture (Ben Genang Galus, 2014).
Oleh karena itu pendidikan sebagai entitas pembudayaan harus diarahkan kepada proses emansipasi para mitra didik. Non multa sed multum, bukan yang tahu banyak, tetapi yang tahu mendalam, kata adagium Romawi klasik. Yang multum (tahu mendalam) tidak muncul dari sistem drill dan hafalan. Suatu sistem yang mendasarkan pada drill dan hafalan belaka hanya menumbuhkan yang multa (tahu banyak, tetapi tak mendalam), siap pakai dalam arti siap disuruh.
Oleh karena itu, tiga sasaran emansipatorik harus kita kejar, yani manusia yang eksplorator, manusia kreatif dan manusia yang integral.
Ketiga komponen inilah yang diyakini lebih dapat menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat. Pribadi ini dihadirkan dengan mengembangkan potensi yang sejak semula sudah ada sejak lahir, punya multi potensi. Anak hadir dengan segala keunikannya yang sudah membawa daya hidup masing-masing. Untuk itu, dalam mendampingi perkembangan anak digambarkan sebagai bidan yang membantu kelahiran (Ben Senang Galus, 2024).
Dalam filsafat pendidikan kita mengenal dengan aliran filsafat perenialisme. Aliran ini hampir pasti jarang disentuh dalam proses pendidikan. Mestinya, Indonesia sebagai negara mulitikultural yang memiliki kebudayaan ideal sebagai pembentuk karakter anak bangsanya, pendekatan perenialisme dalam pendidikan menjadi suatu hal yang urgen.
Menurut kaum parenialisme, pendidikan harus lebih banyak fokus pada kebudayaan ideal yang teruji serta tangguh. Parenialisme memandang pendidikan sebagai jalan pulang atau suatu proses untuk mengembalikan manusia ke dalam kebudayaan yang ideal.
Penstudi aliran filsafat parenialisme, mengatakan: “peserta didik adalah makhluk rasional karena itu pendidik mempunyai posisi yang penting dalam kegiatan pembelajaran di kelas dan membimbing jalannya pembelajaran atau diskusi yang mempermudah para peserta didik. Peserta didik juga dianggap bahwa mereka sudah memiliki potensi dari lahir yang harus diarahkan sehingga peserta didik dapat menyimpulkan kebeneran-kebenaran secara tepat”.
BACA JUGA:
- Kritisisme Pendidikan
- Signifikansi Filsafat dalam Pendidikan
- Filsafat Sebagai Titik Tolak Mahasiswa Menjadi Cendekiawan Kritis
Perenialisme pendidikan adalah salah satu aliran dalam pendidikan yang muncul pada abad ke-20an. Parenialisme lahir sebagai reaksi terhadap pendidikan progresif. Parenialisme menentang pandangan progresivisme yang memfokuskan terhadap perubahan sesuatu yang baru. Walaupun demikian perenialisme tidak menolak suatu perubahan.
Dengan ungkapan lain, perenialisme memandang bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk membantu siswa dalam memperoleh dan merealisasikan kebenaran abadi. Aliran ini menilai bahwa kebenaran itu bersifat universal dan konstan. Maka jalan untuk mencapainya adalah melatih intelek dan disiplin mental.
Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialisme adalah jalan yang mundur ke belakang, yaitu dengan memakai kembali nilai-nilai serta prinsip-prinsip umum yang sudah menjadi pandangan hidup yang kuat, kokoh pada zaman kuno dan abad pertengahan. Di Indonesia banyak local genius yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar bagi guru. Local genius ini sejujurnya menjawab segala perubahan yang tidak menentu.
Oleh karena itu pendidikan harusnya tetap mengutamakan nilai-nilai kebudayaan (agama) yang ideal serta manusia sebagai fokus utama, bahwa melalui pendidikanlah manusia dapat berkembang secara kreatif sesuai potensinya, dan pendidikan harus mengajarkan budaya serta hal-hal kekal yang selalu abadi dalam kehidupan manusia.
Inti perenialisme pendidikan ialah pendidikan sebagai proses pembudayaan (enculturation). Akibat pendidikan yang begitu progresif sehingga mengabaikan entitas kebudayaan, sehingga pada akhirnya siswa mengalami apa yang disebut culture loss generation.
Tingkatan Pendidikan
Muncul pertanyaan, bagaimanakah kurikulum pendidikan perenialisme itu? Kurikulum pendidikan perenialisme, kurikulum yang berorientasi terhadap mata pelajaran (subject centered). Parenialisme juga membedakan kurikulum berdasarkan dengan tingkatan pendidikan yaitu: pendidikan dasar. Pendidikan dasar bertujuan sebagai persiapan kehidupan di tengah masyarakat. Pada pendidikan dasar ini kurikulum difokuskan pada hal-hal seperti membaca, menulis dan berhitung.
Pendidikan Menengah, kurikulum pendidikan menengah fokus pada latihan-latihan berfikir (aspek kognitif) seperti bahasa asing, logika, retorika dan sebagainya.
Pendidikan tinggi/universitas merupakan lanjutan dari pendidikan menengah. Pendidikan tinggi memiliki prinsip mengarahkan yang bertujuan untuk mencapai tujuan kebajikan intelektual the intellectual love of God.
Pendidikan orang dewasa, menurut kaum parenialisme, adalah untuk mengembangkan sikap bijaksana, agar orang dewasa mampu memerankan perannya sebagai pendidik bagi anak-anaknya.
Pendidikan Indonesia harusnya kembali melihat secara universal radikal bagaimana kultur atau konsep secara filosofi pada visi (kurikulum) pendidikan kita ke depan.
Menurut Ben Senang Galus (2014), visi pendidikan masa depan harus jelas dan setidak-tidaknya tetap menghasilkan manusia apa yang disebut “sinergis teologis”. Artinya, pendidikan tidak menghasilkan manusia robot tanpa Tuhan, pendidikan tetap menghasilkan manusia mengakui adanya kekuatan ilahi yang mengatur kekuatan jagat raya, yang berarti pula pengakuan terhadap batasan iptek (keserasihan antarrasio dan alam semesta, antarmanusia dan Tuhan, mengharmoniskan moral dan teknologi).
Dengan demikian pendidikan kita tidak hanya memikirkan bagaimana agar manusia menjadi pintar, tetapi lebih menampilkan sosok yang humanis.
Pendididikan sebagai sarana memanusiakan manusia (humanisasi). Tentu sebagai peserta didik adalah seorang manusia yang memiliki kodrat atas dirinya, yakni memiliki potensi kecenderungan serta memiliki emosi. Maka melalui pendidikanlah proses menjadi itu akan berlangsung. Dan tugas seorang pendidik, memenuhi potensinya sebagai manusia yakni secara kebebasan berpikir. Potensi-potensi tersebut akan teraktualisasi sesuai nilai-nilai di dalam masyarakat agama. Itulah pendidikan yang berhasil.
Pendidikan yang disfungsional, terisi oleh muatan-muatan nilai yang berakibat negatif seperti kesombongan, ketidakadilan, diskriminasi, ketakutan, ketidakpercaan, bahkan kurangnya harapan masa depan.
Kita perlu belajar berpikir imajiner, beradu setiap asumsi dan mencari jalan keluar. Memahami sebuah objek dengan kemampuan imajiner, abstraksi agar bisa melahirkan sebuah karya. Contoh memahami sebuah produk budaya kemudian di kembangkan sebagai karya seni. Misalnya gerabah yang bermutuh seni dan sebagainya sehingga kita menjadi negara produsen seni.
Spirit Keindonesiaan
Dalam pelaksanaan pendidikan menjadi kewajiban untuk tetap memelihara budaya indonesia. Menjalankan fungsi pendidikan yang bertolak pada spirit serta nilai-nilai keindonesiaan itu sendiri untuk merawat dan menumbuhkan para generasi muda sebagai patriot, cendikiawan yang berbudi luhur mencintai etos, etika, pathos, moral, serta menjunjung tinggi kemanusiaan.
Oleh karena itu pemerintah harus kembali melihat secara radikal praktek pendidikan kita saat inj. Jangan sampai praktek terbalik yang tidak di inginkan merusak kemanusiaan serta para calon pemimpin-pemimpin bangsa ini. Praktek terbalik atau disfungsional bukan saja pada kurikukum tetapi oknum-oknum yang lahir dan hidup dari lingkungan akademis itu.
Saat ini secara jujur dikatakan praktik pendidikan sudah mengalami disfungsional, bersiaplah mala petaka akan berkumandang. Ketakutan, kecemasan, kesombongan kurangnya partisipasi sosial, ini semua terlahir dari pola pendidikan yang tidak perenial.
Pembelajaran yang sudah pragmatis disiplin edukasi yang tidak mengakar sehingga lulusan pun seperti kehilangan arah. Disiplin edukasi merupakan proses pembebasan tanpa menghilangkan nilai, moral, etika, sebagai dasar filosofi dari pendidikan sebagai upaya sadar untuk menjadi manusia yang manusiawi dan bertanggun jawab berlaku adil memiliki kesempatan berkarier sesuai potensi alami menyakinan nilai atas kenaran roh absolut Tuhan yang maha esa.
Pendidikan perenial sangat membantu kegelisahan sosial yang dialami bangsa ini. Terutama peserta didik yang tidak belajar memamahi eksistensi budayanya sebagai pembentuk tata laku. Pendidikan harus melalui sebuah proses penghayatan, sehingga pada akhirnya pendidikan perenialis(me) menjadi pendidikan abadi atau pendidikan sepanjang hayat (long life education).
Pada aksiologi perenialisme, masalah nilai merupakan hal yang paling dasar dan paling utama, karena ia berdasarkan pada asas-asas supernatural yaitu dengan menerima kebenaran (truth) secara universal yang abadi, khususnya pada perbuatan dan tingkah laku manusia.
Perenialisme dalam filsafat pendidikan (keindonesiaan), memandang, bahwa dalam konteks pendidikan, seharusnya mampu mengelaborasi tentang pentingnya pewarisan nilai-nilai keindonesiaan kepada peserta didik untuk menanamkan sebuah kesadaran bahwa ada ketersambungan antara ajaran filsafat keindonesiaan dengan transformasi zaman dan tempat, hal itu berlangsung.
Sementara peran guru pada perenialisme pendidikan lebih dominan, sehingga seorang guru idealanya memiliki kapasitas keilmuan dan keteladanan yang baik, karena bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menyimpulkan kebenaran yang paling tepat.
Dalam aliran perenialisme ini, kurikulum pendidikan yang harus dipelajari atau yang terfokus dalam kurikulum adalah tentang subject atau mata pelajaran yang sulit dipahami oleh murid. Dan mempunyai intelegensi yang tinggi untuk dapat mengembangkan kemampuan para murid.
Perenialisme sebagai aliran yang menempatkan nilai pada kebenaran tertinggi yang bersumber dari Tuhan, sehingga dalam membicarakan pendidikan di kelas, sasaran utamanya adalah tentang kebenaran, kenyataan, nilai yang abadi, tidak terikat dengan waktu dan ruang. (Ali Mansur Monesa, mahasiswa UPY, Yogyakarta)
There is no ads to display, Please add some