Miris! Baru 6 SD yang Bebas Makanan Tidak Sehat

Oleh: Sesa Malinda, Mahasiswi Universitas Cendekia Mitra Indonesia

beritabernas.com – Ironis bukan? Di tengah gencarnya kampanye kesehatan dan janji-janji manis akan masa depan generasi penerus, kita dihadapkan pada fakta yang menohok. Yakni dari ratusan sekolah dasar yang disurvei UNICEF, hanya 6 sekolah yang benar-benar berkomitmen melarang penjualan gorengan, makanan asin dan manis. Ini bukan sekadar angka, ini adalah cermin kegagalan kolektif kita dalam melindungi anak-anak dari ancaman obesitas dan penyakit kronis sejak dini.

Bagaimana mungkin, sebuah negara dengan klaim perhatian pada pendidikan dan kesehatan, membiarkan anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang secara harfiah “obesogenik”? Survei Kesehatan Indonesia 2023 bahkan mengungkapkan bahwa 1 dari 2 anak minum minuman tinggi gula lebih dari sekali sehari.

Ini bukan hanya soal pilihan individu, melainkan sistem yang membiarkan gula, garam dan lemak menjadi norma di tempat di mana mereka seharusnya belajar dan tumbuh sehat. Kita tidak lagi dapat menutup mata. Kebijakan harus ditegakkan, dan lingkungan sekolah harus menjadi benteng pertama pertahanan kesehatan anak-anak kita, bukan justru menjadi sumber masalah.

BACA JUGA:

Poin pertama yang paling menohok dari riset UNICEF ini adalah jurang menganga antara kebijakan di atas kertas dan realitas di lapangan. Bagaimana mungkin, 221 dari 268 sekolah dasar (SD) yang disurvei UNICEF (periode akhir 2023 hingga medio 2024 di 198 SD di Jawa Tengah, 50 di Sulawesi dan 20 di Papua) mengklaim memiliki kebijakan lingkungan pangan sehat, tetapi hasilnya begitu menyedihkan. Data menunjukkan, hanya 6 dari 268 SD tersebut yang benar-benar tidak menjual gorengan, makanan asin, dan manis. Lebih parahnya lagi, hanya 4 SD yang tidak menjual minuman berpemanis.

Apa gunanya sebuah kebijakan jika hal itu hanya menjadi pajangan lisan tanpa implementasi konkret? Seolah-olah kita puas dengan sekadar memiliki aturan, padahal anak-anak kita terus terpapar jajanan tidak sehat yang beredar bebas di lingkungan sekolah. Mereka yang seharusnya dilindungi, malah secara tidak sadar “dididik” untuk menganggap gula, garam, dan lemak berlebih sebagai hal yang normal.

Mengapa komitmen untuk kesehatan anak-anak kita sebatas bibir? Apakah kita benar-benar siap menerima konsekuensi generasi yang lebih berisiko obesitas dan penyakit sejak dini, hanya karena kita gagal menegakkan kebijakan yang sudah ada? Ini bukan hanya tentang kurangnya informasi, melainkan kurangnya keberanian untuk bertindak tegas dan memastikan setiap sekolah benar-benar menjadi benteng kesehatan bagi para siswanya.

Lingkungan sekolah yang “obesogenik”

Yang tidak kalah mengkhawatirkan dari riset UNICEF (periode akhir 2023 hingga medio 2024 di 268 sekolah dasar di Jawa Tengah, Sulawesi, dan Papua) adalah bagaimana lingkungan sekolah di Indonesia, alih-alih menjadi tempat pembentukan kebiasaan sehat, justru bertransformasi menjadi lingkungan “obesogenik”.

Ini berarti, secara sistematis, sekolah-sekolah kita menciptakan kondisi yang mendorong anak-anak menuju risiko obesitas dan penyakit kronis sejak usia dini. Bayangkan, hanya 1 dari 4 sekolah yang memberikan waktu olahraga yang cukup bagi siswanya. Anak-anak membutuhkan ruang untuk bergerak, untuk berlari dan bermain, bukan hanya duduk dan mengemil makanan tidak sehat.

Fakta ini diperparah dengan temuan Survei Kesehatan Indonesia 2023 yang menunjukkan 1 dari 2 anak minum minuman tinggi gula lebih dari sekali sehari. Angka ini bukan sekadar statistik, ini adalah lonceng peringatan. Bila anak-anak kita, yang otaknya masih berkembang dan tubuhnya masih dalam masa pertumbuhan krusial, terus-menerus dijejali gula, garam, dan lemak di lingkungan sekolah, bagaimana kita dapat mengharapkan mereka tumbuh sehat?

Sekolah seharusnya menjadi tempat di mana anak-anak belajar nilai-nilai positif, termasuk pentingnya gizi dan aktivitas fisik. Namun, saat kantin sekolah menjual gorengan dan minuman manis, dan ruang gerak terbatas, kita secara tidak langsung mengajarkan mereka bahwa konsumsi makanan tidak sehat adalah hal yang normal dan dapat diterima.

BACA JUGA TULISAN LAINNYA:

CISDI dengan tepat menyoroti bahwa gizi buruk dan obesitas bukanlah sekadar pilihan gaya hidup individu, melainkan masalah lingkungan yang lebih besar. Ketika anak-anak tumbuh di sekolah yang setiap hari menawarkan “jajanan tidak sehat”, mereka akan menganggapnya sebagai bagian dari rutinitas. Ini adalah krisis yang perlu kita hadapi dengan kesadaran penuh. Sekolah, sebagai institusi yang seharusnya memegang peran sentral dalam pembentukan karakter dan kesehatan anak, justru berpotensi menjadi “pabrik” obesitas.

Bagi saya, ini adalah hal yang paling menghancurkan sekaligus memberi harapan dimana suara para siswa sendiri yang terabaikan. Riset UNICEF, yang melibatkan 2.680 murid SD dari 268 sekolah yang diteliti (di Jawa Tengah, Sulawesi, dan Papua, mulai akhir 2023 hingga medio 2024), dengan jelas menunjukkan bahwa anak-anak ini ingin perbaikan.

Bayangkan, 54,6% siswa sangat setuju sekolah menyediakan makanan sehat. Lebih dari separuh! Itu bukan angka yang bisa kita abaikan. Mereka paham kebutuhan dasar ini. Dan tidak hanya itu, 45,8% siswa sangat setuju ada makanan sehat yang murah. Mereka tahu bahwa kesehatan tidak boleh menjadi kemewahan yang sulit dijangkau. Yang paling krusial, 35% siswa sangat setuju dengan larangan iklan makanan dan minuman tidak sehat. Ini menunjukkan tingkat kesadaran kritis yang luar biasa untuk anak seusia mereka. Mereka melihat masalahnya, mereka merasakan dampaknya, dan mereka memiliki solusi yang jelas.

Lalu, mengapa kita, orang dewasa, para pengambil kebijakan, pendidik, dan orang tua, gagal mendengarkan suara mereka? Mengapa kita terus membiarkan mereka tumbuh di lingkungan yang justru menawarkan “gula, garam, dan lemak” setiap hari, padahal mereka sendiri sudah berteriak meminta yang sehat? Ini adalah kegagalan moral kita. Kita memiliki data, kita memiliki kesaksian langsung dari mereka yang paling terdampak, tetapi kita masih saja bersembunyi di balik alasan birokrasi atau “kebijakan lisan” yang tidak efektif.

Para siswa ini adalah masa depan kita, dan mereka sudah menunjukkan jalan. Mereka ingin makanan sehat, yang terjangkau, dan mereka tidak ingin dibombardir iklan junk food.

Yang paling krusial adalah bahwa permasalahan gizi buruk dan obesitas ini bukan sekadar tentang gaya hidup atau pilihan individu anak. CISDI dengan tepat menegaskan bahwa ini adalah masalah lingkungan. Kita tidak dapat terus-menerus menyalahkan orang tua, atau anak-anak itu sendiri, atas apa yang terjadi di sekolah mereka. Kenapa? Karena sistemlah yang gagal.

Bagaimana kita dapat mengharapkan anak-anak membuat pilihan sehat jika setiap hari, di lingkungan sekolah yang seharusnya mendidik, mereka justru dihadapkan pada godaan gula, garam, dan lemak berlebihan? Riset UNICEF secara gamblang menunjukkan hal ini. Kita tahu bahwa 1 dari 2 anak di Indonesia minum minuman tinggi gula lebih dari sekali sehari (Survei Kesehatan Indonesia 2023). Ini bukan kebetulan, ini adalah konsekuensi dari lingkungan yang permisif terhadap makanan tidak sehat.

Lebih parah lagi, ada laporan yang menyebutkan bahwa menu makanan bergizi gratis (MBG) yang seharusnya menyehatkan, justru berisi jajanan tidak sehat. Ini adalah kemunafikan yang tidak dapat ditoleransi! Bagaimana kita dapat serius mengatasi masalah gizi jika program yang dirancang untuk memperbaikinya justru menjadi bagian dari masalah?

Maka dari itu, perubahan harus datang dari intervensi sistemik. UNICEF dan CISDI telah menggarisbawahi beberapa langkah yang sangat jelas yaitu mengatur lingkungan makanan sekolah dengan panduan kantin sehat dan larangan iklan serta penjualan junk food, memperluas layanan gizi di sekolah, menguatkan edukasi gizi dan aktivitas fisik, melibatkan komunitas sekolah dari guru hingga pedagang, dan membangun sistem rujukan gizi, serta yang terpenting, memperkuat tata kelola dan pendanaan dengan koordinasi lintas sektor dan integrasi anggaran nasional.

Ini bukan sekadar saran, ini adalah tuntutan. Kita tidak lagi dapat menutup mata dan membiarkan anak-anak kita tumbuh dalam sistem yang meracuni mereka secara perlahan. Ini adalah tanggung jawab kita semua untuk memastikan bahwa setiap sekolah di Indonesia menjadi lingkungan yang benar-benar sehat, tempat anak-anak dapat tumbuh, belajar, dan berkembang tanpa ancaman obesitas dan penyakit yang dapat dicegah.

Riset UNICEF telah membukakan mata kita pada kenyataan pahit dimana sebagian besar sekolah di Indonesia gagal melindungi anak-anak dari ancaman obesitas dan penyakit kronis yang mengintai. Hanya 6 dari 268 SD yang disurvei yang benar-benar menerapkan lingkungan pangan sehat, sementara sisanya masih membiarkan jajanan tinggi gula, garam, dan lemak beredar bebas. Ini adalah pengkhianatan terhadap generasi muda kita.

Kita tidak lagi dapat bersembunyi di balik alasan kebijakan lisan atau keterbatasan. Anak-anak kita, seperti yang ditunjukkan oleh survei UNICEF terhadap 2.680 siswa, menginginkan perubahan. Mereka ingin makanan sehat, terjangkau, dan mereka sadar akan bahaya iklan makanan tidak sehat. Suara mereka harus menjadi pemicu aksi nyata.

Saatnya pemerintah, sekolah, orang tua, dan seluruh komunitas bersatu. Kita harus menuntut implementasi kebijakan yang tegas, perluasan akses gizi, penguatan edukasi, dan tata kelola yang transparan. Ini adalah pertarungan untuk masa depan anak-anak kita. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *